Muharram dan Refleksi Hijrah: Saatnya Menyulam Harapan dan Memperbarui Langkah
Jumat, 27 Juni 2025 | 15:00 WIB
Oleh: Ari Irfan Fahruddin
Tahun Baru Hijriyah kembali hadir. Tanpa hiruk pikuk pesta kembang api atau hitung mundur penuh terompet seperti pada pergantian tahun masehi, 1 Muharram datang dengan hening yang mengajak kita merenung: sudah sejauh mana perjalanan hidup ini ditempuh sebagai insan beriman dan bagian dari umat?
Dalam keheningan itu, Muharram menyapa kita dengan ajakan untuk melakukan muhasabah—meninjau kembali perjalanan diri selama setahun terakhir dan mulai merangkai harapan untuk menjadi pribadi yang lebih baik di tahun baru. Bukan sekadar pergantian kalender, melainkan kesempatan untuk memperbarui arah hidup, menata ulang niat dan langkah.
Hijrah Lebih dari Sekadar Perpindahan Tempat
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah yang menjadi tonggak penanggalan Hijriyah bukanlah sekadar perpindahan geografis. Ia merupakan transformasi nilai dan peradaban. Sebuah ikhtiar strategis yang penuh visi, untuk membangun tatanan masyarakat baru yang dilandasi semangat kasih sayang, keadilan, dan nilai-nilai ketauhidan.
Dalam konteks ini, hijrah tidak hanya bermakna pindah tempat, tetapi juga pindah sikap, arah, dan nilai. Dari apatis menuju peduli, dari diam menjadi bergerak, dari egosentris menuju kepedulian sosial. Maka hijrah bukan hanya sejarah, tetapi juga spirit yang mesti hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Muhasabah: Menggali Diri di Tengah Arus Zaman
Saat Muharram tiba, pertanyaan-pertanyaan mendalam seharusnya mulai kita ajukan pada diri sendiri: Sudah sejauh mana kita memperbaiki hubungan dengan Allah SWT? Apakah amal ibadah kita semakin bermakna? Apakah hati kita kian lapang atau justru penuh prasangka?
Baca Juga
Keistimewaan Bulan Muharram
Dalam Islam, muhasabah adalah jalan menuju kesadaran spiritual. Sebagaimana pesan Sayyidina Umar bin Khattab R.A:
"Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum ditimbang oleh-Nya." (Aidh Al-Qarni, La Tahzan, hlm. 284)
Hisab bukan hanya soal akhirat. Ia juga relevan untuk kehidupan sehari-hari, sebagai pengingat agar kita tidak terbuai oleh rutinitas dunia yang melalaikan.
Menyulam Harapan: Optimisme Spiritual di Awal Tahun
Setelah muhasabah, saatnya menyulam harapan. Dalam Islam, harapan bukan sekadar mimpi kosong. Ia adalah bentuk optimisme spiritual—keyakinan bahwa Allah SWT membuka jalan bagi siapa pun yang bersungguh-sungguh.
Doa, niat baik, dan amal kecil yang terus dijaga adalah bentuk nyata dari harapan itu. Sebagaimana hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari (no. 6465):
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،... "أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: «أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ».
Artinya: Nabi ﷺ pernah ditanya, “Amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Yang paling terus-menerus meskipun sedikit.”
(HR. Bukhari, no. 6465)
Maka, tak perlu menunggu sempurna untuk memulai. Mulailah dengan langkah kecil, tetapi istiqamah. Setiap niat baik, walau sederhana, jika dikerjakan dengan ikhlas dan konsisten, akan membuka jalan menuju perubahan besar.
Muharram: Pintu Awal untuk Hijrah Diri
Tahun Baru Hijriyah bukanlah seremoni semata. Ia adalah momen yang menyiratkan undangan untuk membuka lembaran baru. Muharram adalah gerbang hijrah menuju diri yang lebih baik, lebih lembut, lebih bijak, dan lebih dekat dengan Allah.
Kita mungkin tidak berhijrah seperti Nabi, tetapi kita bisa memulai dengan memperbaiki akhlak, menata niat, dan memperkuat ibadah. Kita mungkin tak mampu mengubah dunia, tetapi kita bisa memulai dari mengubah diri.
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan menemukan di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak." (QS. An-Nisa: 100)
Mari songsong Muharram dengan semangat hijrah dan niat memperbaiki diri. Tahun baru ini, semoga menjadi awal dari langkah-langkah kecil menuju cahaya, menuju keberkahan, dan menuju ridha Allah SWT.