Nasional

Maadah Serukan Solidaritas Anti-Kekerasan #SantriMemanggil, Tanggapan atas Kasus Kekerasan Santri Krapyak Yogyakarta

Kamis, 31 Oktober 2024 | 14:00 WIB

Maadah Serukan Solidaritas Anti-Kekerasan #SantriMemanggil, Tanggapan atas Kasus Kekerasan Santri Krapyak Yogyakarta

Ketua Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Kabupaten Tegal, Maadah

Tegal, NU Online Jateng

 

Ketua Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Kabupaten Tegal, Maadah, menyampaikan kecaman keras atas tindakan kekerasan yang menimpa dua santri di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

 

Terlebih kejadian tersebut terjadi tak lama setelah peringatan Hari Santri Nasional. Peristiwa itu sontak mengejutkan publik di berbagai platform media sosial. Ramai tagar #SantriMemanggil sebagai reaksi atas kasus kekerasan, memunculkan gelombang solidaritas dari berbagai kalangan. 

 

Menanggapi hal itu, Maadah secara tegas menyebut bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tidak bisa ditoleransi. Menurutnya, kejadian ini merupakan bentuk premanisme yang harus dihentikan.

 

“Kerasan terhadap santri di Krapyak merupakan bentuk premanisme yang harus dihentikan dan diselesaikan melalui jalur hukum,” ujar Maadah saat diwawancarai NU Online Jateng di kediamannya di Desa Penyalahan, Kecamatan Jatinegara, Rabu (30/10/2024).

 

Maadah menjelaskan bahwa kasus kekerasan seperti ini mencerminkan pentingnya perlindungan terhadap anak-anak di berbagai lapisan masyarakat. 

 

“Kami merasakan betul adanya banyak kekerasan yang menimpa anak-anak, khususnya perempuan. Ini telah menjadi pekerjaan sosial dan kemanusiaan kami di RPA untuk terus memberikan pendampingan serta pencegahan,” tambahnya.

 

Di Kabupaten Tegal, RPA telah melakukan sosialisasi intensif kepada komunitas, sekolah, dan masyarakat desa untuk mencegah kekerasan anak. Melalui program ini, RPA bertujuan menciptakan kesadaran masyarakat agar aktif dalam menjaga dan melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan. 

 

“Mendidik anak-anak dengan memberikan perlindungan dari kekerasan adalah tanggung jawab kita bersama sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat,” kata Maadah.

 

Menurutnya, pengawasan terhadap anak-anak, baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan pesantren, adalah langkah awal untuk memutus rantai kekerasan. Maadah berpesan agar masyarakat lebih peka dan peduli terhadap kondisi anak-anak di sekitarnya.

 

“Pantau dan awasi anak-anak kita di rumah, sekolah, dan tempat-tempat lainnya. Anak-anak perlu perlindungan dan advokasi dari ancaman kekerasan,” imbau Maadah.

 

Sebagai Ketua RPA, Maadah juga berbagi pengalamannya dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. Ia menyampaikan bahwa RPA sering menerima laporan tentang kekerasan di lingkungan keluarga dan komunitas. 

 

“Kasus-kasus ini terus mengingatkan kami bahwa pencegahan kekerasan terhadap anak adalah prioritas utama,” jelasnya.

 

Maadah meyakini bahwa dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, kasus kekerasan terhadap anak dapat dicegah dan diatasi secara efektif. Ia optimis bahwa kolaborasi semua pihak di Kabupaten Tegal, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas, akan berdampak signifikan dalam menurunkan angka kekerasan pada anak.

 

“Kekerasan bukan solusi, dan perlindungan terhadap anak-anak harus menjadi prioritas kita bersama. Kesadaran dan tanggung jawab kita sebagai orang dewasa sangat diperlukan agar anak-anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman,” tegasnya.

 

Lebih dari itu, Maadah menyatakan harapannya agar kasus kekerasan di Krapyak ini menjadi pelajaran bagi masyarakat luas. Ia juga berharap bahwa momentum Hari Santri dapat memperkuat komitmen bersama untuk menolak kekerasan terhadap santri dan anak-anak di mana pun mereka berada.

 

Melalui gerakan #SantriMemanggil, masyarakat diimbau untuk turut ambil bagian dalam mewujudkan lingkungan yang aman dan damai bagi para santri serta anak-anak Indonesia. 

 

“Dengan komitmen bersama, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik, bebas dari kekerasan, untuk generasi penerus bangsa," tegas Maadah.

 

Aksi ini tidak hanya menjadi respons terhadap satu kasus, namun juga sebagai bentuk kampanye berkelanjutan untuk menghentikan kekerasan pada anak-anak dan santri di seluruh Indonesia.