Keislaman

Bolehkah Menikahi Saudara Ipar dalam Pandangan Fiqih

Rabu, 13 November 2024 | 08:00 WIB

Bolehkah Menikahi Saudara Ipar dalam Pandangan Fiqih

Ilustrasi menikah (Freepik)

Menikahi saudara ipar dalam Islam adalah salah satu topik yang menarik perhatian karena menyentuh batas-batas hubungan keluarga dan aturan mahram dalam syariat. Islam sangat memperhatikan aturan tentang siapa saja yang boleh dan tidak boleh dinikahi demi menjaga kehormatan dan struktur keluarga. Dalam aturan Islam, istilah mahram digunakan untuk merujuk pada orang-orang yang haram dinikahi karena hubungan darah, persusuan, atau pernikahan tertentu. Saudara ipar, secara hukum Islam, tidak termasuk dalam kategori mahram tetap, yang berarti pada kondisi tertentu pernikahan dengannya bisa menjadi sah.


Meskipun demikian, menikahi saudara ipar tidak bisa dilakukan sembarangan dan ada ketentuan yang harus diperhatikan. Pernikahan dengan saudara ipar hanya diperbolehkan jika tidak ada ikatan pernikahan yang masih berlaku antara seseorang dengan saudara kandungnya. Misalnya, jika seorang istri meninggal atau terjadi perceraian, barulah suami diperbolehkan menikahi saudara perempuan istrinya. Hal ini diatur demi menjaga keharmonisan keluarga dan menghindari fitnah atau konflik dalam hubungan keluarga besar.


Melalui Al-Quran surat An-Nisa ayat 23, terdapat larangan menikahi saudara kakak beradik dalam waktu bersamaan.


وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ 


Artinya, “(Diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau,” (QS An-Nisa’ [4]: 23).


Ayat diatas bermakna bahwa dalam syariat Islam dilarang untuk menggabungkan dua saudara perempuan sebagai istri dalam waktu yang bersamaan. Artinya, seorang pria tidak diperbolehkan menikahi seorang perempuan sekaligus saudara perempuannya dalam satu pernikahan, karena hal ini bisa menimbulkan perselisihan dan ketegangan dalam keluarga. 


Namun, ayat ini memberikan pengecualian terhadap hal-hal yang terjadi di masa lalu, yaitu sebelum Islam datang dengan aturan yang jelas ini. Dengan kata lain, jika hal tersebut sudah terjadi sebelum ajaran Islam datang atau sebelum perintah ini turun. Larangan ini adalah bagian dari aturan untuk menjaga hubungan kekeluargaan dan keharmonisan dalam pernikahan sesuai dengan prinsip syariat.


Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa larangan menikahi dua perempuan yang bersaudara mencakup hubungan saudara baik melalui nasab (garis keturunan) maupun persusuan. Larangan ini berlaku untuk saudara kandung seayah dan seibu, maupun saudara tiri yang seayah atau seibu saja. Apabila seorang pria menikahi dua perempuan bersaudara tersebut secara bersamaan, maka pernikahan dengan keduanya menjadi batal. Namun, jika pernikahan dilakukan secara berurutan, maka pernikahan kedua yang batal, dan yang pertama tetap sah. Pendapat Imam An-Nawawi ini didasarkan dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi


لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا الْعَمَّةُ عَلَى بِنْتِ أَخِيهَا وَلَا الْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا وَلَا الْخَالَةُ عَلَى بِنْتِ أُخْتِهَا لَا الْكُبْرَى عَلَى الصُّغْرَى وَلَا الصُّغْرَى عَلَى الْكُبْرَى


Artinya: “Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibinya (dari pihak ayah), juga seorang bibi (dari pihak ayah) bersama dengan keponakannya, juga seorang perempuan bersama dengan bibinya (dari pihak ibu), juga seorang bibi (dari pihak ibu) bersama dengan keponakannya, juga seorang kakak bersama dengan adik perempuannya, juga seorang adik bersama dengan kakak perempuannya,” (HR at-Tirmidzi).


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah saw melarang pernikahan yang menggabungkan dua perempuan yang memiliki hubungan keluarga dekat. Tidak boleh seorang laki-laki menikahi seorang perempuan bersama bibinya dari pihak ayah (bibi paternal), atau menikahi bibi paternal bersama dengan keponakannya. 


Begitu pula, tidak diperbolehkan menikahi seorang perempuan bersama bibinya dari pihak ibu (bibi maternal), atau menikahi bibi maternal dengan keponakannya dalam satu pernikahan. Selain itu, hadits ini juga melarang seorang pria menikahi dua perempuan bersaudara, seperti kakak dan adik perempuan, dalam waktu bersamaan. 


Dari keterangan diatas dapat disimpulkan menjadi tiga hal.


Pertama, menikahi perempuan dengan saudaranya dalam waktu bersamaan hukumnya haram, artinya pernikahan keduanya menjadi batal.

Kedua, apabila menikahi dua perempuan bersaudara dalam waktu yang berbeda, berarti pernikahan dengan yang kedua dibatalkan.

Ketiga, suami boleh menikahi iparnya apabila sudah bercerai dengan istrinya.

Keempat, maksud dari dua perempuan bersaudara tersebut tidak hanya perempuan yang memiliki saudara kandung, melainkan juga perempuan dengan bibinya atau dengan saudara se-ayah atau se-ibunya.