Keislaman

Hukum Menikahi Ibu Mertua, Sekalipun Belum Pernah Berhubungan Badan dengan Putrinya

Kamis, 25 Juli 2024 | 09:00 WIB

Hukum Menikahi Ibu Mertua, Sekalipun Belum Pernah Berhubungan Badan dengan Putrinya

Ilustrasi ibu mertua. (Foto: NU Online/Freepik)

Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan sebuah rekaman salah seorang penceramah di media sosial. Dalam rekaman tersebut, ia menjelaskan bahwa laki-laki boleh menikahi mertua perempuannya (ibu istrinya) selama ia belum berhubungan badan dengan istri.


“Sekalipun sudah selesai akad nikah tetapi si suami hanya mencium, atau bermain-main di pusar si istri, dan belum menempelkan kemaluannya, maka si suami boleh mentalaknya kemudian menikahi ibu mertuanya,” demikian kata penceramah itu. 


Sontak saja, video tersebut membuat banyak pihak merasa kecewa karena penjelasan itu keluar dari seorang penceramah agama yang seharusnya mengajak orang lain kepada kebenaran.


Lalu, bagaimana penjelasan yang benar tentang hal tersebut dalam Islam? Apakah boleh seorang laki-laki menikahi mertuanya selama ia belum berhubungan badan dengan istrinya ?


Pada dasarnya, seorang laki-laki boleh menikahi perempuan manapun yang ia suka senyampang tidak ada larangan dalam syariat. Dalam Syariat Islam, tidak semua perempuan boleh untuk dinikahi. Ada yang boleh dan ada juga yang tidak boleh. Perempuan yang boleh dinikahi dalam hal ini dikenal dengan sebutan perempuan ajnabi. Sementara perempuan yang sama sekali tidak boleh dinikahi oleh laki-laki dikenal dengan sebutan perempuan mahrom. (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 36: 200)


Dalam khazanah Islam dijelaskan, bahwa status seorang perempuan haram dinikahi disebabkan oleh tiga hal. Pertama, hubungan kerabat, yakni perempuan-perempuan yang memiliki ikatan hubungan kekerabatan dengan laki-laki seperti ibu, nenek, anak perempuan, saudari kandung, bibi, keponakan perempuan, dll.  Kedua, hubungan sepersusuan, yakni perempuan-perempuan yang memiliki hubungan disebabkan sepersusuan seperti wanita yang menyusui si laki-laki, wanita yang menyusu kepada perempuan yang menyusui si laki-laki (saudari sepersusuan), dll. Ketiga, hubungan mertua, yakni perempuan yang mempunyai hubungan kemertuaan dengannya seperti ibu istrinya, istri anaknya, istri ayah atau kakeknya, dll. (Fiqh al-Manhaji ‘ala madzhab Imam Syafi’i 4: 26 )


Lalu, Bagaimana dengan hukum menikahi ibu mertua?


Dalam hubungan kemertuaan, salah satu perempuan-perempuan mahram (haram dinikahi), yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah perempuan yang menjadi mertua. Dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 23, Allah swt berfirman: 


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔


“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


Dari redaksi ayat ini, para ulama berpendapat bahwa status kemahraman bagi ibu mertua bersifat mutlak. Artinya, ibu mertua langsung menjadi mahram atau haram dinikahi setelah akad nikah dilangsungkan, terlepas dari apakah si suami sudah berhubungan badan atau belum dengan istrinya. (Al-Majmu’ Syarah Muhadzzab 16: 217)


Salah satu yang menjadi acuan pendapat tersebut adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi. Dalam kitabnya, disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda berikut.


أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَطَلَّقَهَا قَبْل أَنْ يَدْخُل بِهَا، أَوْ مَاتَتْ عِنْدَهُ، فَلاَ يَحِل لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ أُمَّهَا


“Barangsiapa laki-laki yang menikahi perempuan kemudian mentalaknya sebelum ia menjima’nya atau si perempuan mati, maka laki-laki tersebut tidak boleh menikahi ibu si perempuan.” (Al-Sunan Al-Kubro lil Baihaqi 14: 253)


Walhasil, seorang laki-laki tidak boleh menikahi ibu mertuanya sekalipun si laki-laki belum pernah menyentuh istrinya sama sekali. Keharaman menikahi ibu mertua tidak dikaitkan dengan hubungan seksual suami-istri tetapi dikaitkan dengan akad nikah itu sendiri. Ketika akad nikah sudah disahkan maka secara otomatis ibu mertua menjadi mahram baginya. Dan sebagai catatan bahwa kemahraman ini bersifat selamanya. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Muhammad Ahdanal Khalim, Pengurus PP. Al-Mubarokah Damaran Kudus