Taushiyah

Mengapa Kembali ke Tabiat Lama?

Rabu, 19 Mei 2021 | 17:00 WIB

Mengapa Kembali ke Tabiat Lama?

KH Ahmad Niam Syukri Masruri

Di hari lebaran ketiga arus balik mulai tampak, berbagai jenis sepeda motor dan mobil mulai memadati jalanan, semua tampak berebut untuk melintas dan saling mendahului.


Di tengah ramainya jalanan, tampak beberapa sopir menghentikan laju mobilnya, lalu ada dua sopir yang turun dan adu mulut gegara sopir yang satunya menerobos jalan hingga terjadi kemacetan.


Ketika kedua sopir yang adu mulut tidak ada yang mengalah, tiba-tiba beberapa sopir mobil yang di belakangnya  serempak turun untuk melerai, dan salah satunya ada yang berucap, "sudah mas, jangan teruskan besitegangnya, ini kan bulan syawal bulan saling memaafkan, nanti puasa kalian tidak bermakna lo!, mari saling memaafkan, mengapa kalian kembali ke tabiat lama?".


Mengapa dengan besitegang puasanya menjadi tidak bermakna?, tentu, karena tujuan diwajibkannya puasa adalah agar menjadi orang yang bertakwa, sedangkan salah satu tanda orang yang bertakwa adalah menahan marah. Nah kalau tidak bisa menahan marah, berarti tidak ada tanda takwa dan kalau usai menjalankan puasa ramadhan kok tidak bertambah takwa maka esensi puasa tidak tertera.


Allah menjelaskan bahwa di antara tanda orang yang bertakwa adalah sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 134 : 


 وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَۚ


Artinya: Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (QS Ali Imran : 134)



KH Ahmad Niam Syukri Masruri, Ketua Lembaga Kajian Informasi dan Dakwah (Elkid), Ketua PW GP Ansor Jateng 1995, dan Sekretaris RMINU Jateng