Regional

Kelas Intensif 16 HAKTP PW IPPNU Jateng Bahas Pemahaman Gender Tidak Hanya untuk Perempuan 

Ahad, 8 Desember 2024 | 18:00 WIB

Kelas Intensif 16 HAKTP PW IPPNU Jateng Bahas Pemahaman Gender Tidak Hanya untuk Perempuan 

Kelas Insentif Perspektif Gender dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), berlangsung di Universitas Surakarta pada Ahad (8/12/2024).

Surakarta, NU Online Jateng 

Pimpinan Wilayah (PW) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Jawa Tengah menggelar Kelas Insentif Perspektif Gender dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Kelas yang berlangsung di Universitas Surakarta tersebut, menghadirkan Koordinator Puan Penulis 2021-2022, Masithoh Azzahro Lutfiasari sebagai narasumber, pada Ahad (8/12/2024).


Pada kesempatan itu, Masithoh Azzahro Lutfiasari menjelaskan tentang makna gender secara kompleks. Menurutnya, gender merupakan sebuah tindakan di mana sebuah tubuh menunjukkan atau memproduksi makna kulturalnya. Bagi Masithoh, pemahaman tentang gender tidak hanya diperuntukkan kepada perempuan, tapi juga laki-laki ataupun jenis gender yang lain.


“Gender tidak dimaknai sebagai perempuan harus bisa memasak dan laki-laki harus bisa angkat karung semen, karung beras atau galon,” katanya.


Lebih dari itu, ia juga menerangkan tentang ideologi feminis. Dikatakan bahwa feminis merupakan gerakan yang mengadvokasi hak-hak sosial, politik, hukum dan ekonomi perempuan agar setara dengan laki-laki. Secara khusus, feminisme menarik perhatian pada bagaimana perempuan menghadapi berbagai bentuk diskriminasi berdasarkan faktor-faktor, seperti ras, kelas, etnis, agama, dan orientasi seksual.


“Banyak perempuan yang menghadapi berbagai bentuk diskriminasi bukan hanya ras, kelas, etnis dan agama. Tapi karena dia berorientasi seksual perempuan,” ucap Masithoh.


Kemudian, Masithoh mengatakan bahwa orang dapat secara otomatis menempatkan laki-laki sebagai pihak yang dominan, sementara perempuan sering kali dianggap lebih rendah atau subordinat. Ia menyebut, internalisasi ini sering terjadi akibat pengaruh lingkungan, budaya, pendidikan, dan media, yang memperkuat pandangan tersebut sejak dini.


“Perempuan sering ditempatkan lebih rendah dari laki-laki karena pengaruh lingkungan, budaya, pendidikan dan media. Pandangan itu sudah ada sejak dulu, sejak dini,” ujarnya.


Lebih lanjut, Masithoh mengajak seluruh peserta kelas insentif tersebut untuk mencatat bersama pengalaman perempuan dari sudut pandang pribadi. Hal itu dilakukan guna mengetahui beragam pengalaman perempuan yang terkungkung oleh sistem, tradisi dan lingkungan sosial seperti anggapan tabu terhadap perempuan menstruasi.


“Pembahasan tentang menstruasi sering dianggap tabu, padahal itu pengalaman yang sudah menjadi kodrat biologis perempuan dari Allah swt,” pungkasnya.