• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 16 Mei 2024

Opini

Tragedi Sigi Menodai Keberagaman

Tragedi Sigi Menodai Keberagaman
Menjaga kebersamaan. (Foto: Dok NU Online)
Menjaga kebersamaan. (Foto: Dok NU Online)


Keberagaman Indonesia kembali ternodai. Kasus pembantaian di Sigi, Sulawesi Tengah (27/11) yang menewaskan empat jemaat anggota gereja Bala Keselamatan serta pembakaran rumah menjadi pepiling  bahwa keberagaman masih menjadi pekerjaan yang belum tuntas. Isu moderasi yang selama ini digaungkan nyatanya belum mencapai titik ideal yang diharapkan.

 

Dilansir dari Kompas.com, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono, menyatakan bahwa dalang di balik pembunuhan sadis itu adalah kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora (29/11). Tiga hari pascatragedi pilu itu, pada Senin (30/1), presiden Jokowi mengutuk aksi tersebut.

 

Terlepas dari itu, aksi pembunuhan -apalagi dengan cara keji- adalah hal yang tidak dapat dibenarkan. Baik dalam kacamata agama maupun hukum positif Indonesia, pembunuhan adalah tindakan biadab yang menciderai kemanusiaan dan keberagaman.

 

Hal ini penting ditegaskan mengingat Indonesia bukanlah negara tunggal, melainkan negara yang memiliki komposisi matra yang beragam: suku, agama, bahasa, dan lain-lain. Kegagalan dalam mengharmonisasikan kemajemukan tersebut akan berakibat fatal. Keberagaman yang pada dasarnya adalah rahmat, dapat berubah menjadi petaka dan laknat.

 

Kasus Sigi sudah menjadi peringatan betapa keberagaman Indonesia telah robek karena dibajak oleh segelintir orang. Di sisi lain, kasus Sigi sebetulnya juga merefleksikan betapa tata beragama di Indonesia belum diatur dengan baik.

 

Luka sejarah
Indonesia mempunyai rapot merah ihwal gagapnya menyikapi keberagaman. Masih menjadi ingatan kolektif betapa tragedi berdarah antarsuku menjadi luka sejarah yang menimbulkan ekses traumatik. Misalnya kerusuhan antarentnis Pribumi-Tionghoa (1998), Ambon (1999), Sampit (2001) dan lain-lain. Tragedi semacam itu menjadi luka lama yang tidak akan terhapus dari memori bangsa Indonesia.

 

Tragedi konflik semakin heboh dengan hadirnya kekacauan atas nama agama. Bangsa Indonesia pasti tidak lupa dengan kasus Ahmadiya-Syiah hingga aksi terorisme yang mencatut agama di berbagai tempat. Bom Bali (2002) hanyalah salah satu contohnya. Dalam hal konflik agama, mungkin benar apa yang dikatakan Umberto Eco bahwa kejahatan bisa datang dari kesalehan. 
Di sisi lain, intoleransi agama dan menggeliatnya ekstrimisme menjadi tanda bahwa keberagaman Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Dalam konteks ini agama sangat dirugikan sebab citra agama menjadi burik karena ulah beberapa kelompok.

 

Penguatan Moderasi
Menurut Komarudin Hidayat, moderasi agama muncul karena ada dua kutub ekstrem, yaitu ekstrem kanan dan ektrem kiri. Dan posisi moderasi berada di tengah-tengah kutub ekstrem tersebut. Dalam bahasa Al-Qur’an, kata yang paling mendekati moderasi adalah wasathiyah, yang artinya tengah-tengah, adil, baik, utama.

 

Sebagai sebuah nilai, moderasi sangat serasi diterapkan di Indonesia yang multikultural. Moderasi memungkinkan tidak adanya pihak yang "dimenangkan" dan "dikalahkan".
Penguatan moderasi beragama juga akan menjadi counter wacana dari kelompok radikalis-fundamentalis-ekstrimis yang selama ini "membajak" agama (baca: Islam). Sehingga, narasi-narasi kebencian yang selama ini cenderung digaungkan kelompok radikalis-ekstrimis-fundamentalis dapat diredam melaui narasi-narasi kasih sayang. Pada situasi kehidupan beragama yang bersumbu pendek seperti ini, narasi kasih sayang yang memang menjadi identitas Islam sangat urgent digaungkan di tengah publik.

 

Selanjutnya, manajemen menjadi hal penting dalam upaya menggaungkan moderasi tersebut, tidak bisa asal mana-suka (arbriter). Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengucapkan perkataan yang saat ini sangat relevan, "kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir."

 

Laku kekerasan dan pembunuhan atas nama apa pun tidak dapat dibenarkan karena laku tersebut menciderai keberagaman dan merobek dasar hidup bangsa Indonesia. Kasus Sigi mewartakan kepada bangsa Indonesia bahwa penguatan moderasi perlu selalu digalakkan agar citra Islam yang damai tidak dibajak oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan jahat.

 

Rohman Abdullah, Mahasiswa Ipmafa Pati
 


Opini Terbaru