• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Rabu, 15 Mei 2024

Opini

Menanti Masa Depan Bersama Stoikisme dan Sufisme

Menanti Masa Depan Bersama Stoikisme dan Sufisme
(Sumber: lsfdiscourse.org)
(Sumber: lsfdiscourse.org)

“....belum tentu orang yang sudah tua dan keriput berarti sudah hidup lama, bias saja ia hanya “ada” untuk waktu yang lama. Itu sama sepert ipria yang berlayar dan terjebak dalam badai saat ia meninggalkan dermaga. Ia terhempas ke segala sisi. Itu berarti ia bukan lama berlayar, tapi terempas kesana dan kemari dalam waktu yang lama.” (Seneca: Tentang Hidup yang Singkat). 


Memang sulit jika harus menilik kembali waktu-waktu yang pernah berlalu, apalagi waktu yang penuh dengan hal kosong dan tidak berharga. Semua orang hampir merasakan demikian. Sering kali menggunjing ihwal ketidakpuasan hidup dua puluh empat jam sehari atau satu jam penuh terasa sepanjang hari. Pada akhirnya waktu yang dinanti tidak pernah datang, lantas menyesali menit-menit yang telah berlalu.


Lucius Annaeus 

Seneca seorang filsuf babon aliran stoic membedakan pemahaman antara waktu hidup  dengan sekadar waktu. Nyatanya lebih sedikit orang yang mampu merealisasikan waktu hidup dibanding sekadar waktu. Jika rasa malas masih menjadi bagian dominan dalam hidup atau pikiran belum menemukan kedamaian-jawaban atas segala kesibukan, boleh jadi bagian paling kecil dari waktu hidup belum dapat dirasakan.


Pada hakikatnya keberlangsungan manusia hanyalah lahir lalu hidup dan pasti mati. Oleh kaum stoa - penganut stoikisme, tahapan tersebut merupakan entitas Ilahiah yang tidak dapat terelakkan. Keyakinan akan hal itu membuat mereka sadar bahwa manusia sebagai wujud dari skenario besar Sang Khaliq, mempunyai peran yang sungguh luar biasa. Sadar akan peran dan ketidak pastian waktu hidup dihantui kematian, lantas membuat mereka hidup  seutuhnya. Cara hidup menjalani peran yang terbatas dengan bahagia tanpa ragu sewaktu-waktu kematian datang menghampiri.


Agaknya konsep semacam itu semakin muram dilihat dari kondisi manusia sekarang ini. Secara objektif tidak hilang akan tetapi semakin tergerus karena kurang tangguh menghadapi kecenderungan manusia yang semakin kompleks. Sebagian orang terjerembab dalam dinamika kepentingan personal dan enggan menyadari peran universal yang sudah ditakdirkan. Sebagian lagi masih tetap mempertahankan konsep ini sebagai tanggung jawab lahir yang harus diselesaikan. Bahkan ada segelintir orang yang asing terhadap konsep ini sehingga waktu mereka habis dengan hal sia-sia tanp amakna dan tujuan yang mulia. Menariknya fenomena ini sudah diprediksi oleh kaum stoa lebih dari 20-abad yang lalu.


Meminjam istilah Cep Subhan KM dalam resensi buku “Seneca, Tentang Hidup yang Singkat” yang berjudul “Seneca, Kawan Lama yang Hadir Kembali”,… kita menyambut Seneca seperti menyambut seorang kawan lama yang suatu hari pergi lalu kembali lagi kini sebaga isi bijak yang siap membantu kita menghadapi zaman kacau, siap menuntun kita menjalani hidup dengan bahagia.


Pergeseran budaya yang semakin tak terbendung oleh maraknya paham- paham barus ebagai dampak dari luapan informasi, membuat gelombang kebangkitan stoikisme modern semakin menemukan titik terang. Kedamaian pikiran dan hidup bahagia ala stoikisme menjadi jalan alternatif kejumudan kondisi masyarakat sekarang ini.


Prinsip Stoikisme yang meyakini adanya kuasa besar atau logos dan sifatnya yang praktikal, membuat stoikisme mampu berdampingan dengan doktrin agama tanpa ada kecenderungan fanatik. Tidak heran mulai muncul interpretasi dari paham stoic di Indonesia seperti buku“Filosofi Teras : Filsafat Yunani-Romawi Kunountuk Mental Tangguh Masa Kini” oleh Henry Menampiring, “Ataraxia: Bahagia menurut Stoikisme” karangan A. Setyo Wibowo dan salah satu seri hidup bahagia “Seneca, Tentang Hidup yang Singkat” terjemahan oleh Penerbit Basabasi.


Masa Depan yang Tak Kunjung Datang

Waktu itu sangat cukup bagi manusia untuk menemukan pencapaian tertinggi yang lua rbiasa. Akan tetapi waktu itu sangat singkat bagi kecemasan, ketakutan, ekspektasi, hasrat yang sering menetap dalam diri manusia. Dalam bukunya Senece berkata, “... mereka menghabiskan siang untuk menantikan malam, dan menghabiskan malam karena takut akan pagi yang datang”. Menyadari bahwa setiap menit tidak akan terulang sangatlah mudah, tetapi berpaling untuk tidak membuang- buang waktu atau membiarkan kendali luar mengambil waktu kita, amat sangat sulit.


Misalnya, waktu jeda sering disalah artikan sebagai kekosongan hidup alih- alih mendapatkan hiburan atau kesenangan yang realitanya semu. Kekeliruan ini yang seharusnya kita waspadai mengingat banyak dari kita yang terlelap dan masuk dalam jurang kesia-siaan karena tanpa sadar membiakkan hiburan dan kesenangan untuk menghabiskan waktu kita. Gejala seperti itu yang harus dibuang jauh sebelum kita menyadari bahwa kita telah mati sebelum waktunya. Sangat pelik memang bahwa terkadang kita baru siap untuk menjalani hidup di penghujung waktu. Menjalani hidup seutuhnya saat kematian tidak lama lagi menghampiri kita.


Penyakit itu yang sering mengaburkan kita lantas mencampuradukkan masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Menurut Seneca, “... semua orang hidup dengan tergesa- gesa dan mendambakan masa depan serta merasa lelah dengan masa sekarang”. Hidup dengan rasa takut dihantui masa lalu dan/atau terbelenggu oleh hasrat tak terpuaskan, dengan bahagia menanti masa depan yang belum tentu datang. Kita adalah makhluk fana dengan pikiran dan fisik yang sungguh terbatas tetapi merasa bahagia melangkahi kuasa besarYang Maha Kuasa. Besok, bulan depan, tahun berikutnya niscaya diluar kendali kita.


Masa sekarang adalah satu hari dengan setiap menitnya. Masa lalu adalah tempat keburukan terpendam sebagai penasihat laku hidup kita sekarang. Banyak orang larut dalam hidup yang singkat karena selalu teralihkan oleh banyak gangguan tanpa ada ujungnya. Sungguh orang bijak yang menghargai hari- hari yang sudah diberikan. Menikmati proses dan bijaksana menghadapi kegagalan serta berserah diri untuk takdir yang lebih besar.
 

Seneca juga percaya,“... life, if well lived, is long enough”. Tetapi sungguh pencapaian besar itu hanya mampu dilakukan oleh orang bijak. Orang yang berani merenungi betapa banyak kesia-siaan yang berlalu dalam hidupnya. Waktu berlalu begitu cepat, pergi dengan diam dalam kesunyian. Jika enggan berlari mengimbanginya yang tersisa hanyalah penyesalan. Manusia semakin menuat api pikiran tetap kekanak-kanakan. Masa tua akhirnya dipenuhi dengan ketidakpastian.


Seneca melanjutkan, “... a person will not receive the result of efforts except by practicing and being consistent toward his goal”. Manusia memiliki ambisi tetapi juga abai dan cenderung malas. Coba bayangkan apa yang sudah kita bayar untuk menggapai suatu impian. Impian yang nyatanya butuh pengorbanan besar tetapi apa jawaban kita? Mungkin besok adalah waktu yang lebih tepat untuk memulai.


Manusia sering kali mencari pembenaran dengan landasan- landasan kurang logis sebagai pembelot ketidakmampuannya dalam mewujudkan suatu keinginan, padahal manfaatnya secara sadar sangat terlihat. Otak cenderung mencari kesimpulan yang menenteramkan, tak peduli walau tanpa dasar dan penuh kebodohan. Akhirnya kita baru siap memulai hidup saat waktu sudah mencapai titik penghabisannya.


Ṭul al-Amal: Terperdaya oleh Impian Semu

Dalam disiplin ilmu tasawuf, angan-angan panjang atau juga disebut tul al-amal merupakan penyakit ruhani yang mengerikan, karena menjadi tabir yang menutup pandangan kepada Allah subhanhu wa ta’ala . Seperti definisi tul al-amal dalam Mausuah Nadarah al- Na’im fi Makarimi Akhlaqi al-Rasul al-Karim, yakni keinginan yang kuat akan dunia yang bersifat kontinyu dan terus-menerus dan diikuti dengan banyaknya berpaling dari akhirat.


Literatur lain menyebutkan bahwa tul al-amal tidak selalu berkaitan dengan hasrat duniawi,dengan syarat keinginan itu menjadi sebab untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Jadi angan- angan itu tidak lebih dari sebuah refleksi terhadap keagunganYang Maha Pencipta. Selain itu Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa sebab munculnya tul al-amal adalah kebodohan yang membuat seseorang terbelenggu dalam keterperdayaan.


Kebodohan itu sendiri muncul karena rasa cinta terhadap dunia yang dihadirkan oleh hawa nafsu sehingga sifat dzati (tabiat setiap manusia) untu kselalu dekat dengan Allah subhanhu wa ta’ala menjadi hilang. Nafsu tersebut dengan samar menjelma menjadi kenikmatan, kesibukan, kemaksiatan sehingga membuat manusia terperdaya.  Satu hadits dari Imam al-Bukhari yang relevan dengan tul al-amal berbunyi ;


“Menceritakan kepada kami ‘Ali ibn ‘Abdillah, menceritakan kepada kami Muhammad ibn ‘Abdirrahman Abu Munzir al-Tafawi dari Sulaiman al-A’masyi berkata :Menceritakan kepadaku Mujahid (dari ‘Abdullah ibn ‘Umar r.a. berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  Memegang kedua pundaknya dan bersabda: “Hiduplah di dunia seakan-akan kamu menjadi orang asing atau hanya sekadar lewat).


Dan Ibn ‘Umar berkata: “Apabila kamu berada di sore hari maka jangan menunggu sampai datangnya pagi hari dan apabila kamu berada di pagi hari maka jangan menunggu sampai datangnya sore hari, dan ambillah sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu”. (HR. al-Bukhari).


Secara tekstual, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberikan pelajaran dengan menggambarkan kehidupan seperti orang yang sekadar lewat. Kebiasaan menunda-nunda, merupakan segelintir kerapuhan manusia yang tergambar jelas dalam hadits tersebut. Lewat kebiasaan itu secara tidak sadar kita telah main- main dengan aset paling berharga dalam hidup, yaitu waktu. Sedikit demi sedikit waktu kita semakin berkurang karena angan- angan palsu (tul al-amal) yang lebih dulu dibangun oleh hawa nafsu. Jadi demikianlah adanya bahwa kita bukan diberi hidup yang singkat tetapi kita yang menjadikan hidup itu singkat.


Hadits di atas juga mempunyai korelasi dengan gagasan Seneca; antara sekadar waktu dan waktu hidup. Keduanya mengandung kritik dan nasihat tentang penggunaan waktu yang bijak.  Barang kali buah pikir kaum stoa masih harus diabadikan untuk satu atau dua abad mendatang, kalaupun tidak, gagasan-gagasan baru semoga dapat muncul sebagai prinsip moral demi mengantarkan manusia untuk menjalani hidup seutuhnya.

 

Muhammad Ilham Sofyan, mahasiswa - PMII Rayon Ushuluddin Wali Songo Semarang


Opini Terbaru