• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 25 April 2024

Mitra

Sejarah Semarang adalah Sejarah Santri 

Sejarah Semarang adalah Sejarah Santri 
Foto: Ilustrasi (Foto: semarangkota.go.id)
Foto: Ilustrasi (Foto: semarangkota.go.id)

Sejarah Semarang adalah sejarah para santri. Patokan hari jadi daerah ini adalah pelantikan Pangeran Made Pandan menjadi adipati, ngepasi peringatan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad. Yaitu pada 12 Rabiul Awal atau 12 Maulud tahun 945 Hijriyah. 

 

Dengan gelar Sunan Pandanaran, ia dinobatkan oleh Sultan Hadiwijaya dan penobatannya didoakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Nama Semarang sendiri diberikan oleh Sunan Kalijaga, setelah melihat daerah medan dakwah Made Pandan ini ditumbuhi pohon asam yang jarang. Asem Arang (Jawa). 

 

Sayang sekali, pemerintah Kota Semarang sejauh hanya memperingati hari jadi mengambil penanggalan masehi dari peristiwa penobatan Sang Adipati bergelar Sunan itu. Yaitu 2 Mei 1547. 

 

Dengan bukti empirik dan telah diakuinya santri secara resmi oleh pemerintah, yaitu peresmian Hari Santri, perlu kita minta pemerintah Kota Semarang juga menggelar peringatan hari jadi versi tahun hijriyah. Karena di masa Kasultanan Demak Bintara, yang dipakai adalah kalender hijriyah. 

 

Momentumnya sekarang sungguh tepat. Karena peringatan Hari Santri 2020 ini terjadi di bulan Rabiul Awal alias bulan Maulud. Pemerintah Kota Semarang setiap tahun selalu mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad. Maka sangat tepat kita kita gelar peringatan Maulid Nabi tahun 1442 ini sekaligus memperingati ulang tahun hari jadi kota Semarang.   

 

Sungguh momen yang istimewa. Mengapa Pangeran Made Pandan digelari Sunan? Karena dia berhasil berdakwah. Dia berhasil menyebarkan Islam di kawasan dan memimpin masyakarat. Bermula dari membangun kawasan Pragota (Bergota), putra Ki Ageng Wanasaba (pendiri Kabupatan Wonosobo) bin Brawijaya V dan Dewi Nawangsih ini berhasil mengajak masyarakat hidup guyub rukun dengan akhlak Islam, dan kawasan itu hijau subur dan makmur. Sehingga dia disebut Ki Ageng Pandanaran. 

 

Itulah gambaran santri yang paripurna. Yang berhasil menjadi pemimpin daerah dengan restu Sunan Kalijaga. Sehinga berjuluk Kyai Gede, lalu Kyai Ageng, lalu menjadi Sunan. Setelah beliau wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya. Biasa disebut Sunan Pandaranan II. 

 

Berdasarkan arsip De Gouverneur Van Java, adipati kedua ini dikenal sebagai Sultan Bayat atau Sunan Bayat. Itu karena beliau bersama istrinya meninggalkan jabatan dan memilih laku ngelmu sekaligus mengemban misi dakwah hingga akhirnya menetap di Bayat, Klaten. Makamnya ada di Gunung Jabalkat. Makam beliau dibangun megah oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam di tahun 1620. 

 

Jadi, sesungguhnya, sejarah Semarang adalah sejarah santri. Sejarah dakwah Islam. Ini tidak boleh kita lupakan. Harus kita ingat dengan penuh kebanggaan. Karena kota ini maupun negeri ini, didirikan oleh para santri. Dan kemerdekaannya dipertahankan oleh santri. Kita harus bangga mengaku sebagai santri. Dan kita harus bangga memperingati para pemimpin kita yang merupakan sosok santri. 

 

Berlanjut pada sejarah perjuangan. Usai  proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, kaum penjajah mengeroyok bangsa Indonesia. Bala tentara Jepang masih bercokol di Semarang. Sampai bisa meracun Dokter Kariadi. Lalu pecah pertempuran Lima Hari pada 14-19 Oktober 1945 yang heroik itu. 

 

Di saat sama, tentara Sekutu (Allied Force) yang dipimpin terdrii dari Inggris, Amerika, dan Belanda, datang dengan misi hendak menjajah pula. Hendak mengembalikan Belanda sebagai penguasa di Indonesia. 

 

Para pemuda Semarang yang didominasi santri, kala itu berjihad mempertahankan kemerdekaan. Markas mereka ada di masjid-masjid dan pondok-pondok pesantren. Barisan kiai tergabung dalam Sabilillah, sedangkan barisan santri dalam barisan Hizbullah. 

 

Mereka berani mengorbankan nyawa melawan tentara penjajah yang jauh lebih unggul persenjataannya, karena menyambut seruan Fatwa Jihad dari KH Hasyim Asy’ari. Fatwa Jihad yang dikeluarkan pada 17 September 1945 itu kemudian dikukuhkan dalam Resulusi Jihad Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945. 

 

M Shodri, anggota DPRD Kota Semarang Fraksi PKB (Foto: Dokumen pribadi)

 

Resolusi yang menyebut bahwa membela negara dan mempertahankan kemerdekaan adalah sama dengan membela agama, yaitu bernilai jihad fi sabilillah, membuat seluruh santri dan kiai, para pemuda Semarang, Surabaya, dan semua daerah di Indonesia, bangkit melawan Sekutu maupun sisa tentara Jepang yang masih bercokol. 

 

Terjadilah peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya, yang diperingati sebagai Hari Pahlawan. Dan peristiwa pertempuran 5 hari di Semarang, yang setiap bulan Oktober diperingati pula. Para santri Kota Semarang setiap peringatan Panitia Hari Santri selalu mengagendakan ziarah di makam Syuhada di Bugen dan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Mugas. Serta ziarah di Makam Sunan Pandaranan dan Kiai Sholeh Darat. 

 

Pejabat pemerintah Kota Semarang dan Kabupaten Semarang juga berziarah di Makam Sunan Pandanaran dan di Makam Sunan Bayat serta terlibat dalam peringatan Haul Sunan Pandanaran. Setiap ketika kita menyebut tentang Islam, ini bukan berarti menegasikan agama lain yang pemeluknya juga banyak di Semarang. 

 

Penyebutan sejarah ini untuk meneguhkan jati diri bahwa sejak dulu sampai sekarang Kota Semarang adem ayem, tentrem sentosa, itu karena Islam terwujud sebagaimana misi diturunkannya. Yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam. Rahmat bagi semua manusia. 

 

Terbukti, ada tradisi khas Semarang yang menggambarkan betapa rukunnya umat beragama dan etnis di Semarang. Yaitu tradisi Dugderan yang diisi kirab patung hewan imajiner bernama Warak Ngendog. 

 

Dugderan adalah momentum menyambut puasa Ramadhan, tetapi dirayakan dengan acara budaya yang melibatkan seluruh elemen rakyat dari semua agama maupun golongan. Sosok Warak Ngendog berupa patung hewan berkepala mirip naga, berbadan mirip kambing dan bertelur, adalah gambaran peleburan budaya China, Arab dan Jawa dalam satu simbol adiluhung yang dibuat oleh pemimpin berjiwa santri, tentu saja. 

 

Naga adalah simbol kultur China, kambing adalah simbol kultur Arab dan endog alias telur adalah simbol kultur Jawa. Betapa hebatnya para pemimpin kita terdahulu. Bulan puasa, bulan Ramadhan, sejak penyambutannya saja dibuat begitu menyenangkan. Gembira ria, dengan pawai budaya. 


 

M Shodri, Anggota DPRD Kota Semarang Fraksi PKB pernah menjadi santri di Pesantren Al-Anwar, Futuhiyyah Mranggen, Demak, dan Al-Falah, Ploso, Kediri 


Mitra Terbaru