• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 19 Mei 2024

Opini

PMII, NU, dan Sains

PMII, NU, dan Sains
Foto: ilustrasi
Foto: ilustrasi

Pada sebuah forum bertajuk diskusi dengan bahasan dengan tema Islam, Anak Muda, dan Literasi—satu dari rangkaian kegiatan Festival Literasi PMII, Hamzah Sahal, penggagas situs alif.id menyampaikan beberapa lanskap pengetahuan terkait topik tersebut. Misalkan, dalam habitus literasi yang berkembang dalam PMII dan NU, barulah sebatas literasi siyasah atau politik. Itu pun tak banyak yang mendiskursuskan secara mendalam dan utuh. Kenyataan itu membawa sebuah kesadaran akan pentingnya skema pengembangan diskursus literasi secara komprehensif.

 

Itu sebabnya, mafhum saat keberadaan website alif.id dijadikan sebuah wahana untuk aktualisasi itu. Misalkan banyak konten yang disajikan membawa diskursus berupa estetika, sains, dan kebudayaan. Harus diakui, lanskap tersebut di media lain belum banyak yang menggarapnya. Menjadi menarik, akan bagaimana secara kenyataan ada sebuah realitas yang menunjukkan bahwa ada krisis yang terjadi dalam dunia literasi kita. Hal itu perlu dijadikan renungan bersama dalam situasi transformasi digital yang makin menggeliat ini.

 

Peran anak muda dalam hal ini menjadi sentral. Ia punya kekayaan akses baik itu pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman. Secara spesifik, penulis menekankan pada aspek gerakan yang ada di dalam PMII, yang bisa dikatakan mewakili satu slot “anak muda di kalangan NU”. PMII yang dalam beberapa waktu terakhir kerap menghadapi jalan buntu (kuldesak) dalam mempersiapakan gerakan, mendinamisir isu, dan memetakan sumber daya manusia yang ada di dalamnya, pada 17 April ini memasuki usia yang ke-61. Usia yang semakin bertambah, tak urung jua dibayangi berbagai tantangan dalam perubahan zaman.

 

Kerja literasi yang sunyi nan sepi, di tengah gemuruhnya dinamika zaman, penulis yakin tidak banyak dilakukan sekalipun di kalangan PMII, yang sejatinya mempunyai privilese akan akses pendidikan, jaringan, dan pengalaman. Maka tak mengherankan, saat berbagai kritik yang muncul dalam permukaan, salah satunya berupa penumpukkan sumber daya manusia dalam sebuah gerbong dan menantikan antrean panjang. Harus disebut gerbong tersebut berupa gerbong politik. Padahal, sejatinya banyak tumpuan maupun kerja-kerja di bidang lain yang sejatinya harus digarap di dalam PMII.

 

Di sisi lain, berbagai kegamangan yang kerap dihadapi dalam dinamika gerakan PMII menjadi sebuah kritik tersendiri. Kegamangan yang muncul tersebut terkait dengan perdebatan tak bertuan dalam banyak hal, baik itu sistem kaderisasi, kerangka paradigma, dan diaspora kader yang hanya berujung pada omong kosong, istilah yang digunakan Sosiolog, Ignas Kleden dalam membahas terminologi diskusi dan obrolan dalam bukunya yang berjudul Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1987). Hal itu seakan menyiratkan, reaksioner terkadang menjadi masalah yang berkepanjangan.

 

Berkaca pada hal itu, penulis teringat dengan salah satu tulisan Gus Dur yang berjudulkan PMII dan Program Prioritas NU (1991). Saat itu, Gus Dur mengawali pembahasan berupa empat transformasi yang sudah dan akan dilalui oleh NU. Masing-masing berupa: Sosial Budaya, Sosial Politik, Sosial Ekonomi, serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Lanjut dari itu, keempatnya lah juga menjadi bagian dari PMII. Gus Dur menekankan terhadap peran PMII dalam hakikatnya menjadi bagian penerus dalam NU baik secara jamaah maupun jam’iyyah.

 

Disebutkan oleh Gus Dur, PMII sudah saatnya mulai memfokuskan pada hal yang bersifat mikro, bukan pada hal yang bersifat makro lagi. Kemudian dengan kalimat yang bernada satire, Gus Dur mengungkapkan: para aktivis PMII jangan takut menjadi penganggur intelektual. PMII bisa menolong NU. Di NU banyak yang bisa dilakukan. Ungkapan tersebut rasa-rasanya bagian Gus Dur mengajak kader PMII untuk terus melakukan refleksi. Layaklah demikian, apa yang digambarkan Gus Dur terkait transformasi keempat tersbut kini benar-benar berada di depan mata. Transformasi itu berupa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

 

Paradigma Baru
Saat kecenderungan yang muncul bahwa PMII hanya berpusat pada kampus berbasis agama atau Islamic Studies, rasanya saat ini sudah tidak relevan. Dinamika perkembangan PMII hampir merata selain di kampus berbasis agama, meskipun dengan pelan mulai merambah pada perguruan tinggi umum. Bahkan, kalau mengikuti lipatan sejarah yang ada di dalam PMII, upaya tersebut telah dimulai saat PB PMII diketuai oleh KH. Ahmad Bagdja pada periode 1978 – 1981. Catatan itu misalkan termaktub dalam buku Ahmad Bagdja Sang Guru Pergerakan (Edy Budiyarso, dkk., 2021).

 

Hal tersebut terkait dengan amanah Kongres ke-VI PMII yang berlangsung pada tanggal 8 – 12 Oktober 1997 di Wisma Tanah Air, Jakarta. Amanat tersebut berupa pengembangan organisasi pergerakan kampus-kampus umum. Dalam catatan lain misalkan kerangka gerakan PMII memfokuskan di kampus umum itu lewat esai berjudul PMII, Mahasiswa, dan Perguruan Tinggi karya Muhyidin Arubusman (Ketua PB PMII 1981 – 1984). Tulisan tersebut termaktub dalam bunga rampai Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi (Aula, 1991).

 

Disebutkan bahwa terdapat dua perspektif keberadaan pendidikan tinggi. Pertama, keharusan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk terus digeluti dan dioptimalkan dalam menjawab tantangan abad teknologi. Kedua, pengembangan masyarakat sebagai manifestasi Tri Dharma Perguruan Tinggi juga harus terus digalakkan. Apa kaitannya dengan keberadaan PMII? PMII berkepentingan untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai bagian sivitas akademik untuk dapat menguasai sains dan teknologi serta mampu menghadapi persoalan masyarakat dan bangsanya.

 

Pengembangan Diskursus
Kalau kemudian pada konteks saat ini, tentulah satu jalan yang mestinya menjadi konsentrasi gerakan PMII itu berupa pengembangan isu sains dan teknologi. Dalam artian, jalan tersebut menjadi sebuah arus utama di dalam gerakan yang menaruh perhatian mendalam terhadap dinamika sains dan teknologi. Hal tersebut sejatinya sudah menjadi hakikat akan keberadaan zaman yang menunjukkan kekuatan revolusioner atas hadirnya sains.
 

PMII maupun NU perlu memiliki konsepsi dalam membangun sebuah habitus terkait hal itu. Mula-mula memang perlunya membangun gerakan seperti literasi berbasis sains yang penulis kira belum banyak digagas oleh banyak kelompok intelektual yang ada di Indonesia. Isu terkait sains dan teknologi terkadang masih kalah jauh dengan isu sosial dan politik. Itu sebabnya, terkadang keberadaan kader PMII berbasis sains dan teknologi terbawa arus besar yang ada di dalam gerakan PMII yang sedang berkembang.

 

Menarik pula saat Hamzah Sahal juga menyampaikan bagaimana keterlibatan kalangan NU saaat munculnya polemik sains yang terjadi pada masa sekitar setengah tahun pandemi Covid-19. Hanya sedikit orang dari kalangan NU yang berani mengutarakan gagasan maupun perspektif akan perdebatan panjang di banyak intelektual kala itu. Sisi menarik tersebut mestinya dimaknai bahwa ada satu hal yang perlu dibongkar dalam tradisi intelektual di kalangan NU mengenai diskursus tersebut.

 

Oleh sebab itu, layaklah saat bersama beberapa kalangan lain, Hamzah Sahal memberikan semacam konsep akan dibentuknya ruang pengembangan wacana terkait isu sains dan teknologi, dalam portal NU Online diberikan kanal sains.nu.or.id.

 

Apakah menarik? Secara mendasar tentu menarik jika dipahami keberadaan ruang tersebut sebagai wahana intelektual dalam membentuk sebuah habitus dalam lanskap sans dan teknologi. Di bidang literasi misalkan, aktivitas kepenulisan sains populer, sebuah gaya kepenulisan dengan penggunaan bahasa populer yang ditujukan sidang pembaca umum belum banyak dilakukan para kalangan intelektual kita yang sebenarnya menekuni sains dan teknologi.

 

Keran Diskursus
Harapan lebih lanjut adalah saat sebuah habitus sudah terbentuk, membuka hadirnya keran diskursus sains dan teknologi dengan pendekatan Islam. Pendekatan tersebut dalam konteks keberadaan PMII dan NU tidak lain adalah didasarkan pada kerangka pemikiran Ahlussunnah wal Jamaah An Nahdliyah. Landasan awal akan kalit-kelindan tersebut mutlak diawali dengan keterbukaan. Dalam perspektif dunia intelektualitas terkait kebebasan berpikir yang menjadi syarat lahirnya dialog pengetahuan untuk meneroka berbagai gejala yang ada di dalam tataran kosmik.

 

Ijtihad tersebut menjadi upaya mulia akan bagaimana di tengah-tengah gelombang perubahan dan perkembangan zaman dengan kompleksitasnya, kemajuan teknologi yang maju dan terbarukan, serta perubahan mendasar dalam banyak bidang di dalam peradaban. PMII, yang tidak lain merupakan generasi muda di kalangan NU mengemban amanah tersebut pada saat ini. Generasi yang memiliki akses pendidikan, relasi intelektual, dan imajinasi terhadap struktur peradaban. Tentu saja mereka lah yang diharapkan melakukan kerja-kerja dalam peradaban sains dan Islam.

 

Persebaran sumber daya manusia yang ada di dalam PMII mulai merata di banyak perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Tidak sedikit pula, kader-kader PMII yang memiliki latar belakang fokus kajian di bidang sains dan teknologi. Barangkali inilah saatnya, dimana PMII memiliki berbagai modal tersebut untuk terus menjadi organisasi yang menjawab tantangan tiap zaman. Kesadaran itu setidaknya mulai muncul saat hingar-bingar keberadaan transformasi zaman dalam fase Revolusi Industri Keempat, PMII tidak menampikkan hal itu dengan cara meramu metode dalam beberapa hal terkait di organisasi, baik itu kaderisasi, peta diaspora, dan respon pada tantangan yang ada.

 

Pada akhirnya, hal-hal itulah yang perlu menjadi bahasan secara mendalam di berbagai ruang aktualisasi pengetahuan kaitannya dengan sebuah transformasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana pernah dituliskan oleh Gus Dur di atas. Perlu dipahami juga bahwa kesadaran terhadap aspek sains dan teknologi ini bukanlah bagian besar yang justru melahirkan eksklusivitas. Melainkan dari itu, ia adalah satu bagian kecil dalam upaya mewujudkan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan secara trans-disiplin.

 

Dengan demikian, pada era zaman tafsir ini, mau, tidak mau memang harus mengetahui baik secara epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Agar memahami ilmu pengetahuan secara utuh dan lengkap. Tidak tanggung.

 

Joko Priyono, Penggagas Festival Literasi PMII


Opini Terbaru