• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 29 April 2024

Opini

HARLAH NU

Perjalanan NU dalam 6 Dasawarsa Pertama

Perjalanan NU dalam 6 Dasawarsa Pertama
Harlah ke-95 NU (nu online)
Harlah ke-95 NU (nu online)

Ahad, 31 Januari nanti NU akan menapaki usianya yang ke-95 berdasarkan kalender masehi. Usia yang tidak muda. NU telah melakukan banyak hal untuk bangsa dan negara, baik di sektor agama, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Tentu saja banyak dinamika yang mengiringi NU di dalam menjalankan peranannya tersebut. 

 

Tulisan ini akan mencoba mengemukakan dinamika-dinamika yang terjadi di tubuh NU selama enam dasawarsa pertama.

 

Kita mulai dari NU pada masa kolonialisme Belanda (1926-1942). Pada masa ini NU lebih fokus pada kajian keagamaan dan fokus berdakwah mengajak masyarakat Muslim untuk bergabung ke dalam organisasi. Pada tahun kedua, sebagaimana tampak dalam muktamar ke-2 (1927) cabang NU yang hadir ada 36, muktamar ke-4 (1929) ada 62, dan muktamar ke-13 (1938) sudah mencapai 99 cabang. Cabang-cabang itu bukan hanya dari Jawa Timur (tempat NU lahir), melainkan juga dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

 

Pada masa ini, sikap politik NU cenderung abstain. NU menahan diri dari terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. Bisa dikatakan, NU tidak aktif melawan pemerintah Belanda. Alasannya adalah karena Belanda tidak terlalu ikut campur dalam kehidupan keagamaan.

 

Ketika penguasa Hindia-Belanda memberikan prioritas pada hukum adat atas hukum Islam di pengadilan dan membuat draft hukum perkawinan yang secara langsung bertentangan dengan syariat, NU baru menentang. NU pada dasarnya sejalan dengan tradisi politik Islam Sunni yang biasanya bersikap sangat akomodatif terhadap pemerintah, namun ketika urusan Islam 'diganggu', maka ia bisa dengan sangat 'radikal' menentang. 

 

Tahun 1943 era berubah dan pemerintahan beralih dari tangan Hindia-Belanda ke tangan Jepang. Di era ini, pada satu sisi bisa dikatakan NU lebih 'anteng', apalagi Jepang waktu itu dinilai mampu mengakomodasi kepentingan umat Islam yaitu dengan mendirikan sejenis kementerian agama (Shumubu). Namun di sisi lain, era Jepang diwarnai dengan protes keras para kiai terhadap 'saikeirei', penghormatan terhadap Kaisar Jepang berupa membungkukkan badan yang sangat menyerupai ruku' dalam shalat. Karena penolakan saikeirei ini, Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Machfoedz Siddiq dipenjara. 

 

Era Jepang tidak lama karena secara global negeri matahari terbit itu kalah dari sekutu. Indonesia kemudian memanfaatkan kekalahan Jepang untuk memerdekakan diri dan Soekarna dipilih sebagai presiden. Belanda ingin kembali menguasai Indonesia namun mendapatkan perlawanan yang luar biasa dari rakyat. NU menjadi salah satu kelompok paling getol melawan Belanda. 

 

Di pelbagai daerah timbul perlawanan-perlawanan yang dipimpin para kiai pengasuh pesantren dan pemimpin tarekat. Di Semarang pecah apa yang kemudian dikenal dengan pertempuran lima hari di Semarang dan di Surabaya juga terjadi perlawanan arek-arek Surabaya. Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa 'Resolusi Jihad' yang mewajibkan muslim laki-laki atau perempuan berperang melawan penjajah bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dan dengan segera membakar semangat Bung Tomo dan pasukannya di Surabaya. 

 

Dengan bekal pendidikan militer yang diperoleh pada masa Jepang melalui 'Hizbullah' dan 'Sabilillah' serta dukungan moral dari para kiai, NU terus menunjukkan perlawanannya terhadap Belanda. Sayangnya, ketika perlawanan telah usai dan kondisi negara cukup stabil, secara politik NU justru dirugikan. 
Komposisi pejabat dalam kepengurusan Masyumi tidak menguntungkan NU sehingga kemudian NU menjadi partai politik tersendiri. 

 

Pemilu 1955 adalah pertama kali NU ikut terlibat sebagai partai politik mandiri. Hasilnya cukup sukses, namun waktu itu NU masih menghadapi masalah klasiknya, yaitu belum banyak kader NU yang terampil dalam ilmu manajemen. Para kiai NU dinilai hanya 'penggerak masa' yang baik, bukan 'administrator'. Inilah barangkali yang di kemudian hari NU mendorong kader-kadernya untuk sekolah sampai tinggi bahkan hingga ke luar negeri. 

 

NU di Masa Orde Baru

Indonesia dipimpin oleh seorang otoriter Soeharto dan hubungan NU dengan rezim sungguh-sungguh tidak harmonis. Di tahun-tahun awal Orde Baru, NU diperlakukan dengan penuh kecurigaan. NU membalas dengan bersikap sebagai partai paling kritis terhadap pemerintah pada pelaksanaan pemilu Orde Baru pertama yang diselenggarakan pada 1971.

 

Kepemimpinan NU waktu itu telah berpindah dari Kiai Wahab Hasbullah ke Kiai Bisri Syansuri yang terkenal memiliki sikap yang tegas. Pertentangan demi pertentangan terus terjadi. NU benar-benar menjadi pengkritik pemerintah paling vokal.

 

Pada saat Sidang Umum MPR 1978 membicarakan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di antara item-itemnya menyebutkan bahwa aliran kepercayaan berdampingan dengan agama-agama resmi dan karenanya memberikan pengakuan secara implisit terhadap aliran kepercayaan sebagai agama tersendiri, Kiai Bisri memprotesnya dengan keras. 

 

NU secara demonstratif meninggalkan tempat sidang (walk out). Tindakan ini oleh pemerintah dianggap sebagai bentuk penghinaan dan pertentangan antara pemerintah dengan NU makin menguat. Namun jangan lupa, pertentangan ini tidak abadi. 

 

Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984 yang menetapkan Kiai Ahmad Shidiq sebagai Rais Aam dan Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua umum PBNU menandai adanya 'rekonsiliasi' antara NU dengan pemerintah. 

 

Di muktamar itu NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Tokoh penting di balik keputusan itu adalah Kiai Ahmad Shidiq. Tak hanya itu, NU juga memutuskan untuk tidak terlibat politik praktis, kembali ke khittah. 

 

Kiai Ahmad Shidiq memberi fatwa bahwa memilih PPP tidak wajib dan memilih PDI atau Golkar tidak haram. Tentu ada beberapa pengurus NU yang tidak setuju terhadap keputusan ini, namun keputusan ini menjadi keputusan resmi organisasi. Duet Gus Dur dengan Kiai Ahmad Shidiq merupakan periode transisi NU dari terlibat politik praktis ke kembali ke khittah. 

 

Sampai di sini tampak bahwa pertentangan NU dengan pemerintah mereda dan memang faktanya demikian. Pada saat itu Gus Dur dan Kiai Ahmad Shidiq dikenal sebagai tokoh yang cenderung kompromistis terhadap Soeharto. Mengambil sikap terlalu berseberangan dengan pemerintah menimbulkan banyak kesulitan terutama bagi pengusaha-pengusaha NU. 

 

Persoalan dengan pemerintah mereda, giliran persoalan internal timbul. Meskipun secara resmi telah kembali ke khittah ternyata masih ada beberapa kelompok yang ingin NU kembali berpolitik. Dalam muktamar ke-28 di Krapyak Yogyakarta tahun 1989 banyak yang mempertanyakan efektivitas program-program Gus Dur. Gus Dur menjawab bahwa ketidakefektifan programnya dilatari oleh ketidaksolidan pengurus yang tidak bisa bekerja sama dengannya. Muktamar Situbondo menghasilkan pengurus yang merupakan orang-orang Kiai As'ad. 

 

Di muktamar ke-28 tersebut, pengaruh Kiai As'ad tidak begitu tampak dan Wakil Rais Aam diduduki oleh Kiai Ali Yafie yang dikenal sebagai orang dekat KH Idam Chalid. Kiai As'ad tampak tidak suka dengan kepemimpinan Gus Dur karena dinilai sering melontarkan pernyataan dan gagasan kontroversial.  Akibatnya, Kiai As'ad 'mufarraqah' menyatakan memisahkan diri dari NU selama dipimpin oleh Gus Dur. Meski demikian, sebelum Kiai As'ad wafat beliau berhasil dibujuk untuk kembali ke NU. 

 

Pada muktamar 1989 itu juga sebuah format baru dalam bahtsul masail NU diperkenalkan. Adalah Kiai Sahal Mahfudz, Kiai A Mustofa Bisri, dan beberapa kiai muda NU yang menginisiasi hal itu. Menurut mereka, NU selama ini terlalu tekstualis sehingga kurang bisa memberi solusi atas problem sosial kemasyarakatan. Sejak itu diusulkan untuk mendatangkan ahli-ahli lain seperti ahli kesehatan dan ahli ekonomi dalam forum bahtsul masail NU. Sejak muktamar Krapyak NU semakin memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi. 

 

Keberadaan LP3ES kemudian P3M, adalah pemicu awal, di masa pesantren dianggap sebagai salah satu elemen masyarakat yang berpotensi, khususnya dalam usaha pemberdayaan masyarakat. Banyak kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pemberian pelatihan-pelatihan pada warga sekitar pesantren. Gus Dur bahkan sempat bekerja sama dengan pengusaha China dengan membangun Bank Nusuma.

 

Walhasil, selama enam dasawarsa awal, NU telah melalui perjalanan yang begitu dinamis. Mulai dari bersikap kompromistis terhadap penguasa Hindia-Belanda lalu melawannya dengan sangat radikal, bergandengan dan berseberangan dengan pemerintah Indonesia, hingga melakukan konsolidasi internal dan pemberdayaan masyarakat. Perjalanan NU pada menjelang dan pasca-reformasi tentu juga sangat menarik untuk disimak. Wallahu a'lam bish shawab.

 

Moh Salapudin, Santri Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak dan kontributor NU Online Jateng


Opini Terbaru