• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 19 Mei 2024

Opini

Pentingnya Belajar dari Ramadhan Tahun Lalu

Pentingnya Belajar dari Ramadhan Tahun Lalu
foto: ilustrasi (nu online)
foto: ilustrasi (nu online)

Alhamdulillah bulan Suci Ramadhan kembali telah tiba. Bulan di mana para umat muslim sangat menanti dan merindukan kedatangannya. Mungkin bulan Ramadhan kali ini akan terasa lebih menyenangkan, jika dibandingkan dengan tahun lalu. Mengapa demikian? Karena tahun kemarin itu pergerakan kita sangat dibatasi, sehingga kita tidak dapat bergerak secara bebas dan leluasa. Bahkan semua hal harus diperhitungkan, demi timbulnya suasana patuh protokol kesehatan. 


Bertepatan dengan bulan Ramadhan ketika pandemi Covid-19 memang sangat meresahkan. shalat tarawih berjarak, buka bersama dibatasi, ngabuburit pun sangat jarang, dan rondha dilarang karena aktivitas malam harus dikurangi. Padahal hal tersebut yang semestinya menimbulkan banyak perhatian dari masyarakat. Namun harus sesuai dengan keadaan, tapi secara tidak langsung ruang gerak kita sangat terbatas.


Masih berbau puasa tahun lalu, yang mana pandemi saat pada puncaknya korban semakin banyak, masyarakat luas yang enggan untuk keluar dari rumah. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Jika dirasakan memang aneh, justru nikmatnya bulan Ramadhan itu ketika kita bisa keluar dari rumah, lalu bertemu dan berbincang-bincang dengan banyak orang. Salah satu tradisi yang selalu ada pada bulan Ramadhan yaitu ngabuburit. Tradisi di mana semua umat Islam ketika puasa, jalan-jalan sore untuk sekadar mencari takjil. Tapi hal tersebut sudah jarang kita temui karena peraturan pemerintah melarang untuk kita berkerumun. Memang jika dirasakan ada sesuatu yang hilang.


Berbicara ramadhan tahun ini, tentunya ada sedikit perubahan dibandingkan tahun lalu. Yang mana kita hidup di masa transisi. Keadaan sektor ekonomi yang kian membaik. Dapat ditafsirkan bahwa akan ada sedikit angin segar, walaupun kita harus patuh dengan protokol kesehatan. Para pedagang jajanan kecil atau takjil, kini mulai memenuhi pinggir jalan. Kondisi masjid pun semakin ramai, tapi tetap jaga jarak ketika melakukan ibadah shalat. Sepanjang jalan mulai rame orang yang ngabuburit.


Kita juga perlu belajar dari puasa pandemi tahun kemarin, yang mana puasa kala itu mengaung-gaungkan tentang kesehatan. Tahun lalu banyak orang tidak puasa sampai penuh karena banyak kendala kesehatan, mungkin tahun ini bisa dikurangi. Semua orang pasti mengharapkan bisa berpuasa sampai akhir tanpa bolong. Sudah banyak dampak positif yang kita dapatkan dari bulan ramadhan tahun lalu tentang kesehatan. Ketika kita ingin berpuasa, hendaknya kita sahur terlebih dahulu, lalu jangan lupa kita harus berolahraga untuk kesehatan jasmani, dan berbukalah dengan cukup jangan berlebihan. Tentunya yang paling itu harus banyak mengkonsumsi air putih sebanyak 8 gelas per-hari, supaya kita tidak mengalami dehidrasi. 


Malas merupakan penyakit yang sering melanda saat kita berpuasa. Padahal kita harus tetap semangat dan produktif, meskipun sedang puasa. Kita tidak akan pernah tahu, produktif kita akan membawa dampak positif atau berkah dalam bulan suci Ramadhan tanpa kita sadari. Justru ketika kita produktif dalam puasa, tak terasa waktu akan berjalan begitu cepat. Tiba-tiba sudah mendekati waktu mau Maghrib. Dibandingkan kita 'mager' atau malas gerak ketika menunggu waktunya berbuka. Hal tersebut justru akan terasa sangat membosankan dan melelahkan.


Berbicara tentang aktivitas, saya jadi teringat orang yang ada di desa. Walaupun mereka sedang berpuasa, mereka masih melakukan aktivitas sehari-harinya. Bertepatan dengan ramadhan tahun ini, desa sedang musim panen. Mereka sangat bersemangat saat bekerja di sawah, sembari menahan teriknya matahari dan dahaga yang kian melanda tenggorokan. Walau kondisi sangat panas, tak sedikitpun menurunkan api semangat yang berkobar demi sesuap nasi. Bahkan mereka bekerja melampaui batas kemampuan. Tapi dibalik kerja keras tersebut, mereka melakukannya secara ikhlas. Dengan hal itu mereka yakin akan diberikan kelancaran dan kekuatan.


Hikmah dari tahun lalu, walaupun pandemi silahturahim tetap berjalan. Bahkan dari awal Ramadhan hingga lebaran pun, pandemi juga belum usai. Meskipun begitu silahturahim tetap berjalan, walau tidak bertatap muka, karena mudik dilarang. Alhasil hanya via daring. Menurut sebagain orang, silahturahim secara daring itu hanya berfungsi mengurangi rasa rindu. Sebelum pandemi melanda, rasa rindu bisa diluapkan dengan cara berpelukan. Tradisi yang sering dilakukan ketika bertemu keluargapun kini mulai luntur.


Berbicara tentang sebuah rasa, saya juga mempunyai cerita antara seorang anak dan ibu. Seharusnya anak itu bisa pulang kampung lebih awal, tapi sebelum ia pulang malah pandemi menyerang. Rasa rindu untuk bertemu ibunya pun terpaksa harus ia pendam. Namun ia tidak kehabisan akal, sebagai gantinya ia tidak bisa bertemu, lalu ia menelfon ibunya. Setiap sahur dan berbuka, ia selalu menghubungi sang ibu. Begitu pula saat lebaran. Hanya mampu bertemu via daring.


Kondisi pandemi yang tak kunjung usai. Membuat sebagian orang resah. Semoga Ramadhan saat ini bisa mempertemukan yang jauh dan mempererat yang dekat. Jangan sampai ada jarak yang mampu memisahkan, kesehatan yang sering kali diremehkan, dan rindu yang tak kunjung bertemu. Selain itu, semoga kondisi jalanan di saat sore mulai ramai kembali, dipenuhi dengan raut wajah yang gembira dan bahagia, sampai akhir bulan ramadhan.


Rahmat Ade Putra, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang


Opini Terbaru