• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Selasa, 30 April 2024

Opini

Mendialogkan Pemikiran Antara Covid-19, Agama, dan Sains

Mendialogkan Pemikiran Antara Covid-19, Agama, dan Sains
foto: Ilustrasi (kids.grid.id)
foto: Ilustrasi (kids.grid.id)

Penyebaran virus Covid-19 semula menyebar pertama di Wuhan, Cina pada Desember 2019 dan dalam waktu singkat menyebar ke negara – Negara sekitar, yaitu Korea Selatan, Iran, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Perancis, Inggris dan seluruh Negara dunia tidak terkecuali Indonesia. Covid-19 ini mempengaruhi beberapa aspek kehidupan baik sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, financial bahkan pendidikan.

 

Pemerintah Indonesia akhirnya pada bulan April 2020 mengeluarkan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bertujuan untuk mencegah kerumunan orang banyak, karena kerumunan disebut sebagai salah satu sumber penyebaran virus Korona. Peraturan PSBB menganjurkan untuk Dirumah Saja (Stay at Home), Kerja dari Rumah (Work at Home), dan Ibadah di Rumah (Pray at Home), serta rajin mencuci tangan, menggunakan masker, bersin atau batuk dengan cara yang benar, dan menjaga daya tahan tubuh.

 

Peraturan pemerintah tersebut ada yang bersentuhan dan bertabrakan langsung dengan basis ajaran, kepercayaan dan keimanan agama serta aturan peribadatan umat beragama pada umumnya, seperti shalat berjamaah di masjid bagi umat Islam  atau misa dan kebaktian di gereja bagi umat Kristiani dan sinagog bagi Yahudi. Ibadah umrah di Makkah dan ziarah di Madinah juga sempat ditutup oleh pemerintah Saudi Arabia.

 

Pada situasi seperti ini, perdebatan teologis selalu muncul ke ruang publik. Misalnya pemikiran tentang tidak perlu takut dengan corona jika berada di masjid. Bahwa sakit dan kematian sudah ditetapkan, sehingga tidak perlu takut. Beberapa orang mengklaim bahwa virus Corona adalah tentara Tuhan untuk menghancurkan dan membinasakan manusia yang tidak mengenal Tuhan. Klaim tersebut mengesampingkan realita tentang adanya virus yang secara objektif memang menyebar dan membunuh pasien yang terjangkit, virus yang dapat dilihat dan ditemukan oleh para peneliti bidang kedokteran di ruang laboratorium.

 

Hal tersebut berbeda dengan pesantren-pesantren yang relasinya lebih diatur antara santri dengan kiai. Jika meniadakan ruang public keagamaan seperti salat, wiridan, tahlilan dan lainnya, maka akan kehilangan otoritasnya. Santri juga demikian, hubungannya dengan kiai ikut menentukan keberadaannya dalam pesantren. Jadi tidak mungkin, kiai dan santri seluruhnya tunduk kepada peraturan formal. Misalnya peraturan yang dibuat oleh negara, bahkan untuk alasan kesehatan sekalipun. Hal itu dapat dilihat dari unsur penting dalam menopang otoritas keagamaan, yaitu pesantren yang masih berperan penting dalam kehidupan masyarakat sampai sekarang.

 

Pada ilmu biologi, terdapat istilah Survival for the fittest (Makhluk yang dapat bertahan hidup adalah makhluk yang paling dapat menyesuaikan diri) itulah yang paling menonjol. Hubungan antara ilmu yang berbasis pada hokum sebab dan musabab serta agama yang berbasis pada makna dan nilai merupakan hubungan semi permeable, yakni, antara keduanya saling menembus. Sedangkan di sisi lain timbul konflik antara penafsiran agama dan penafsiran ilmu pengetahuan terhadap realitas karena hubungan antara keduanya tidak saling berkomunikasi. Masing-masing menganggap bahwa tafsir keilmuannya sendirilah yang paling benar dan menganggap tafsir yang lain tidak benar. Perbedaan posisi inilah yang menimbulkan konflik yang sulit untuk didamaikan.

 

Apabila membaca sikap-sikap masyarakat yang diungkapkan melalui media sosial, nalar keberagamaan masih kurang begitu baik. Ilmu pengetahuan belum sepenuhnya dijadikan panduan. Padahal agama harus sejalan dengan ilmu pengetahuan. Beriman pada qada dan qadar belum utuh dipahami. Sikap bersabar dan bertawakal tak sepenuhnya dijalankan. Agama Islam tak hanya menekankan ibadah pada aspek individual. Secara sosial, sikap peduli sesame dan taat pada ulama juga pemerintah menjadi bagian penting dalam upaya mempercepat hilangnya wabah ini. Fatwa yang dihasilkan adalah untuk kemaslahatan umat.

 

Sebagai masyarakat harus bisa menakar kredibilitas sumber informasi yang tersebar di media sosial, jangan sampai termakan berita hoaks yang banyak beredar di sisuasi sekarang ini, agar tidak terlalu panik. Bersikap tidak panik itu sangat penting. Tetapi jangan sampai dilakukan dengan cara yang salah. Misalnya, jangan ada ajakan untuk berkumpul. Selain itu kita harus menyeimbangkan antara ilmu agama dan sains dengan cara beriman kepada qada dan qadar, bersikap sabar dan tawakal. Harap diingat bahwa usaha–usaha itu hanya akan berpengaruh kalau diikuti secara serentak oleh semua orang. Jika sebagian melaksanakan dan sebagian tidak, maka tidak akan efektif. Titik ini adalah kelemahan kita. Kita terbiasa tidak disiplin, ikhtiar, sabar, dan tawakkal.


 

Yuliani Farikha, Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang


Opini Terbaru