• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 19 Mei 2024

Opini

Islam 'Wasathi' dalam Bingkai Mazhab Asy’ari (2)

Islam 'Wasathi' dalam Bingkai Mazhab Asy’ari (2)
(Sumber: duniaedukasihimmahnw.weebly.com)
(Sumber: duniaedukasihimmahnw.weebly.com)

Ada beberapa titik moderat dari ajaran Mazhab Asy’ari yang menurut kami perlu untuk disuguhkan secara global saja dalam tulisan sederhana ini. Dan Insya Allah akan kami bahas secara lebih detil lagi dalam edisi selanjutnya dari serial “Kenalilah Aswajamu”. Di antara titik moderat tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

 

a. Kompromi Tanzīh dan Itsbāt

Secara sederhana, tanzīhbermakna mensucikan Allah SWT dari segala bentuk kekurangan, yang salah satu dari kekurangan tersebut adalah menyerupai makhluk. Tanzīh merupakan salah satu keyakinan yang menjadi titik temu antara Mu’tazilah dan Asyā’irah, hanya saja Mu’tazilah berlebihan dalam men-tanzīh­-kan Allah SWT sampai akhirnya mereka tidak meyakini adanya sifat-sifat ma’āni bagi Allah, sebab semua itu mereka anggap sebagai bentuk kekurangan. Dengan sikap yang demikian ini, kaum Mu’tazilah telah melewati batas tanzīh dan jatuh pada ta’thīl (mengingkari sifat-sifat Allah).

 

Sedang itsbāt secara sederhana bermakna menetapkan. Itsbāt merupakan salah satu keyakinan pokok kelompok Hasyawiyah yang meyakini bahwa semua informasi tentang sifat-sifat Allah dalam Al-Qur’an maupun hadits shahih, harus diyakini dan dimaknai apa adanya. Semisal kata yad, wajh, istiwā’ dan lain sebagainya itu harus dimaknai apa adanya sesuai dengan makna lahiriah kata tersebut. Tidak boleh ada takwīl. Sehingga memunculkan kesan bahwa Allah adalah jisim (benda). Lalu di mana dan bagaimanakah posisi Imam Asy’ari dalam menghadapi dua teologi ekstrim tersebut?

 

Melihat kondisi yang demikian, Imam Asy’ari berusaha mengompromikan antara kedua kutub ekstrim dalam beragama ini. Beliau mengompromikan (jam’u) antara tanzīh dan itsbāt. Karena dengan upaya seperti inilah, karakteristik wasathi dalam berinteraksi dengan teks-teks primer dalam Islam benar-benar bisa dipertahankan.

 

Imam Asy’ari menetapkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat sebagaimana yang ditetapkan teks Al-Qur’an maupun hadis Nabi (itsbāt), akan tetapi dalam waktu yang sama pula, beliau juga menetapkan bahwa sifat-sifat tersebut tidaklah serupa dengan sifat makhluk-Nya (tanzīh). Begitu juga sikap beliau terhadap ayat-ayat mutasyābihāt yang memperbincangkan sifat-sifat Allah, semisal kata yad, wajh, istiwā’, dan lain sebagainya.

 

Metode Imam Asy’ari yang mengkompromikan antara tanzīh dan itsbāt tersebut tidaklah diambil dari ruang hampa. Akan tetapi beliau ambil dari teori Ushul Fiqh yang sebelumnya sudah pernah dirumuskan dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i, tepatnya dalam kaidah kaifiyatul istidlāl (tatacara mengambil dalil).  Sedang Imam Syafi’i sendiri merumuskan kaidah tersebut dari riset yang beliau lakukan terhadap Grammar Arabic dan pola para ulama salaf shālih dalam memahami teks Al-Qur’an-hadis.

 

b. Kompromi antara Rasionalitas (‘Aql) dan Teks (Naql)

Allah subhanahu wata’ala  telah memberikan anugrah luar biasa kepada kita, umat Islam, dengan dua cahaya yang tidak akan pernah bertentangan, yakni cahaya wahyu dan cahaya akal sehat. Cahaya wahyu berupa Al-Qur’an dan Hadis Nabawiyah, sedang cahaya akal  adalah kemampuan kita untuk berfikir dengan benar sehingga kita bisa menarik konklusi yang benar pula dalam beragama.

 

Sejak awal, Imam Asy’ari sudah menyadari hal tersebut di atas. Oleh karenanya, beliau tidak terjebak dengan terlalu berlebihan dalam kebebasan berfikir (hurriyatul ‘aql), sehingga beliau bisa memposisikan akal pada porsinya. Akal tidak akan masuk dalam pembahasan yang bukan wilayahnya. Semisal pembicaraan tentang akhirat, surga, neraka dan semisalnya. Sebagaimana beliau tidak pula terjebak dalam sikap ekstrim dan kaku saat berinteraksi dengan teks (jumūd ‘alal manqūlât) sehingga mengabaikan fungsi akal yang memang bisa menjangkau dalam masalah tersebut. Semisal berkenaan dengan pembahasan eksistensi (wujūd) Allah yang mana akal pun bisa menangkap dan menetapkan hal tersebut, walaupun tanpa ada bantuan teks suci wahyu.

 

Lalu bagaimana jikalau antara akal dan teks bertentangan? Sebenarnya ini adalah pembahasan panjang yang tidak cukup hanya dengan dijelaskan dalam tulisan sederhana seperti ini. Namun intinya adalah bahwa teks-teks suci yang pasti secara sumber (qath’i wurūd) dan secara makna (qath’i dalālah) tidak akan pernah bertentangan dengan akal sehat manusia yang pasti (qath’i) juga. Atau kalau tidak demikian, maka wilayahnya berbeda. Semisal pembahasan tentang hari Kiamat, surga, neraka, mahsyar dan seterusnya, yang sama sekali bukan wilayah akal manusia.

 

c. Moderat dalam Menyikapi Pendosa Besar

Salah satu problematika teologi yang sampai sekarang masih terasa imbas negatifnya adalah bagaimana sikap seorang Muslim terhadap Muslim lain yang melakukan dosa besar. Dalam menyikapi pertanyaan tersebut, terjadi perbedaan pendapat yang tajam dalam tubuh umat Islam. Secara umum, ada dua kutub ekstrim yang saling berseberangan dan sulit dikompromikan. Dan keduanya memberikan imbas negatif yang tidak ringan sama sekali.

 

Kelompok pertama adalah mereka yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar dihukumi kafir dan keluar dari agama Islam. Kelompok ekstrim ini dikenal dalam sejarah Islam dengan nama “Khawārij”. Dan nampaknya pola beragama yang demikian ini masih banyak kita temukan sampai sekarang. Adalah Sayyid Qutb, seorang wartawan yang beralih profesi menjadi sosok Ulama, yang karena kepiawaiannya dalam hal tulis menulis, akhirnya dia mampu untuk menulis beberapa buku besar. Diantara bukunya yang paling terkenal adalah Fī Dzilālil-Qur’an, dan banyak disebut-sebut sebagai tafsir. Akan tetapi di dalamnya banyak faham Takfīri Khawārij yang beliau masukkan, sehingga perlu hati-hati dan ketelitian yang lebih bagi para pembaca buku tersebut. Salah satu faham ekstrim yang dimunculkan oleh Qutb adalah kufurnya penguasa yang tidak menerapkan Syariat Islam, dan rakyat yang tidak mau melakukan revolusi dengan menggulingkan penguasa tersebut, maka mereka juga disebut rakyat yang kafir pula.

 

Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok fatalis yang menyatakan bahwa tidak apa-apa seorang Muslim yang melakukan dosa, selama mereka masih memiliki Iman. Dosanya itu tidak akan mempengaruhi apapun dari orang tersebut. Kelompok kedua ini dalam sejarah peradaban Islam dikenal dengan nama “Murjiah”. Nampaknya kelompok kedua ini sudah jarang—untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali—kita temui pada era sekarang.

 

Lalu bagaimana dengan sikap Imam Asy’ari dalam melihat fenomena seperti di atas? Mazhab Asy’ari berusaha untuk tetap pada posisi tengah-tengah (wasathi). Secara tegas, mazhab Asy’ari menentang faham Khawārij yang sangat ekstrim tersebut. Sehingga sangat terkenal dalam Mazhab Asy’ari sebuah kaidah yang menyatakan bahwa seorang pendosa besar pun tetap dianggap sebagai Muslim, selama dosa yang ia lakukan tidaklah berupa menyekutukan (syirik) Allah subhanahu wata’ala . Begitu juga, faham Aswaja Asy’ari menolak pula faham Murjiah yang menyatakan bahwa cukup dengan Iman, seseorang tidak apa-apa melakukan dosa. Menurut Imam Asy’ari, pendapat yang demikian ini pun sangat berbahaya. Sebab bisa menjadikan seorang Muslim tidak perduli lagi dengan kebaikan atau kejelekan yang mereka lakukan. Disamping tentunya bertentangan dengan teks-teks Al-Qur’an yang jelas-jelas menyatakan tentang bahaya dosa yang dilakukan oleh seorang Muslim.

 

Sebenarnya masih ada banyak contoh moderat dari ajaran teologi mazhab Asy’ari yang ingin kami suguhkan dalam kesempatan singkat ini. Hanya saja, dengan menyuguhkan 3 poin di atas tersebut, kami kira sudah cukup guna mengantarkan kepada pembaca bahwa pola moderat (wasathi) sangatlah dominan dalam teologi Mazhab Asy’ari. Nah, sekarang ini yang paling penting menurut kami adalah upaya men-share pemahaman moderat tersebut dalam skala yang lebih luas dan tak terbatas hanya dalam teritorial tertentu saja. Di antaranya adalah melalui jejaring dunia maya di mana banyak faham-faham radikal yang bersorbankan agama menyebar di sana.

 

Perlu kita ketahui bersama, bahwa Mazhab Asy’ari ini adalah lawan tangguh dan sengit bagi kelompok Khawārij yang ekstrim. Mereka tidak mudah untuk mematahkan argumentasi ilmiah dari mazhab Asy’ari dalam setiap event dialog maupun diskusi terbuka, dan ini terjadi semenjak zaman baheula sampai era millenial sekarang ini. Semua itu terjadi karena memang argumentasi Mazhab Asy’ari sangatlah kokoh, terukur dan akurat. Dan sebagaimana telah kami sampaikan di atas, semua berdasarkan pada perpaduan yang elegan nan apik antara tekstual dan rasionalitas. Berbeda dari mereka yang hanya bertumpu pada teks saja, ataupun sebaliknya. Ibarat seekor burung, salah satu sayapnya telah patah sehingga tak bisa lagi terbang membumbung tinggi ke atas sana.

 

Oleh karenanya, menjadi hal yang sangat urgent dan mendesak bagi kita semua untuk kembali mengenalkan ajaran teologi moderat ini di tengah-tengah lingkungan kita. Terlebih lagi adalah lingkungan pendidikan di sekitar kita, dimulai dari tingkatan paling dasar, sampai yang perguruan tinggi. Sebab lingkungan pendidikan—terutama yang tidak punya basic pesantren—adalah tempat paling subur bagi persemaian ideologi radikal. Dengan demikian kita sudah ikut memberikan sumbangsih dalam membendung ideologi radikal yang menyebar dengan begitu masif dan merusak banyak negeri Muslim di berbagai belahan dunia manapun. Bukankah menjaga negeri ini merupakan tanggung jawab kita bersama, kawan? (habis...).

 

 

Ustadz Dhiya Muhammad, pengajar pada Pondok Pesantren Al-Misykat, Sayung, Demak.

 

 


Opini Terbaru