• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 19 Mei 2024

Opini

Islam 'Wasathi' dalam Bingkai Mazhab Asy’ari (1)

Islam 'Wasathi' dalam Bingkai Mazhab Asy’ari (1)
(Sumber: mwcnulosari.or.id)
(Sumber: mwcnulosari.or.id)

Sebagai sebuah agama yang bersifat universal (syumūliyyah), Islam memiliki beberapa karakteristik inti yang menjadi ciri khas dari ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Salah satu dari sekian karakteristik Islam yang paling pokok adalah sifat moderat (wasathi/tawassuth). Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala  yang secara ekplisit menyebutkan hal tersebut, Allah berfirman: “Dan begitulah, kami (Allah) jadikan kalian sebagai umat yang bersifat wasath”. (QS al-Baqarah:143).

 

Lalu, apa makna dan arti dari moderat (wasathi) itu sendiri? Dan bagaimana pula Aswaja yang dibingkai dalam mazhab Asy’ari ini mengejawantahkan karakteristik moderat Islam tersebut dalam setiap ajarannya? Moderat dalam bahasa Arab biasa dikenal dengan istilah tawassuth atau i’tidāl—sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Āsyur dalam buku Ushūl Nidzām al-Ijtimā’i fil-Islām—yang berarti memberikan hak-hak segala sesuatu kepadanya, dengan tanpa menambahi ataupun mengurangi. Sikap moderat ini muncul karena kedalaman pengetahuan seseorang akan suatu perkara, sehingga ia benar-benar mengetahui sesuatu itu secara detil dan mendalam, baik definisi, tujuan dan tentunya manfaat ataupun mafsadah yang ditimbulkan. Sikap moderat merupakan aplikasi nyata dari budi pekerti yang utama dan fitrah manusia yang indah nan sempurna. Dan karenanya, tidak salah jika ajaran Islam menjadikannya sebagai salah satu fondasi pokok dalam sikap beragama (adayyun).

 

Dalam ajaran Islam yang begitu indah, banyak kita temukan tuntunan agar pemeluknya, dan tentunya juga manusia secara umum, bersikap moderat. Dalam Al-Qur’an surat Āli Imrān ayat 63, kita diajari oleh Islam agar berfikir secara moderat tentang kemanusiaan. Coba saja perhatikan ayat yang menyatakan, “dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Dalam ayat di atas, Islam mengajari kita untuk memposisikan manusia sebagai manusia, bukan sebagai tuhan, bukan pula sebagai hewan. Karena memposisikan manusia sebagai tuhan, hanya akan membawanya pada sikap diktator, otoriter dan semena-mena pada manusia lain. Sedang memposisikan manusia sebagai hewan, hanya akan membawanya pada sikap inferior, lemah dan tertindas oleh pihak lain yang lebih kuat dan superior. Dan keduanya merupakan sikap ekstrim (ghuluw) yang dilarang oleh ajaran Islam. Inilah konsep humanisme dalam ajaran Islam, yang memang sangat menghargai kemanusiaan itu sendiri. Jadi kalau ada yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak humanis, lalu dimanakah letak dehumanisme Islam itu sendiri?

 

Hilangnya sikap moderat dalam diri sebuah bangsa dan masyarakat akan menuntun  mereka pada kehancuran dirinya sendiri. Al-Qur’an mendeskripsikan kerusakan yang muncul akibat tidak adanya sikap moderat dengan apik, yaitu melalui kisah Raja Fir’aun yang menindas rakyatnya sendiri. Hal itu sebagaimana diceritakan dalam surat al-Qashash ayat 4-6 yang menyatakan bahwa: “Sesungguhnya Fira'un telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka, dan membiarkan kaum wanita mereka hidup (untuk diperbudak)”. Munculnya sikap sewenang-wenang dan menindas adalah imbas dari tidak adanya sikap moderat dalam diri Fir’aun dan kaumnya sendiri.

 

Selain sikap moderat dalam berfikir, Islam juga mengajarkan manusia untuk bersikap moderat dalam beribadah. Tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita semua, kisah sahabat Nabi yang bernama Abdullah Bin ‘Amr bin al-‘Āsh. Dikisahkan bahwa beliau adalah salah satu sahabat yang paling giat dan kuat dalam beribadah, hingga beliau tidak pernah sama sekali meninggalkan shalat tahajud di malam hari dan puasa di siang hari. Akhirnya, apa yang telah dilakukan oleh Ibnu ‘Amr itu sampai kepada Baginda Nabi, maka beliau pun memanggilnya dan bertanya: “Wahai Abdullah, aku menerima kabar bahwa engkau selalu puasa di siang hari dan sholat di malam harinya?”. Beliau menjawab: “Benar ya Rasulullah”. Beliau berkata: “Jangan kau lakukan hal itu. (karena) Tubuhmu mempunyai hak, matamu mempunyai hak, istrimu mempunyai hak dan tamumu pun juga mempunyai hak. Jadi cukup bagimu untuk berpuasa setiap bulan 3 hari saja. Karena dalam setiap kebaikan terdapat pahala sepuluh kali lipatnya. Dan (puasa setiap bulan 3 hari) itu sama saja dengan puasa satu tahun penuh”. Beliau berkata lagi: “Ya Rasulullah, saya masih kuat”. Beliau berkata: “Kalau begitu, maka berpuasalah seperti puasanya Nabi Daud, jangan kau tambahi lebih dari itu”.

 

Bahkan Islam pun juga mengajari kita untuk bersikap moderat dan arif dalam berinteraksi dengan budaya lokal. Cerita tentang keengganan para sahabat Nabi untuk melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah yang disebabkan trauma akan budaya jahiliyah, merupakan data penting yang menguatkan penjelasan penulis di atas. Ya, para sahabat enggan untuk melakukan sa’i karena memang dahulunya sa’i adalah sebuah ritual ibadah yang bercampur dengan budaya syirik, yaitu keharusan mengusap berhala yang berada di puncak Shafa maupun Marwah. Akan tetapi Islam—melalui penjelasan Al-Qur’an—menyatakan bahwa melakukan praktek sa’i tidak apa-apa, hanya saja bentuk kesyirikannya dihilangkan.

 

Begitu juga tentang bangunan Ka’bah, baginda Nabi pernah berkata kepada Sayyidah A’isyah radhiyallau ‘anha: “Andaikan kaummu bukanlah orang yang baru saja lepas dari kekufuran, niscaya aku akan merobohkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai dengan fondasi bangunan Nabi Ibrahim dulu”. Ya, saat baginda Nabi menguasai kota Makkah, beliau tidak serta merta langsung mengembalikan bangunan Ka’bah seperti sediakala saat dibangun oleh Nabiyullah Ibrahim, padahal beliau saat itu adalah penguasa kota Makkah yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menetapkan kebijakan. Semua itu tidak beliau lakukan, karena beliau khawatir akan menjadikan penduduk Makkah yang baru saja masuk Islam, lari dari ajaran Islam itu sendiri, sedang mengembalikan bangunan Ka’bah seperti semula bukanlah keharusan yang tidak bisa ditoleransi.

 

Titik Moderat Mazhab Asy’ari

Madzhab Asy’ari adalah satu mazhab teologi yang dicetuskan dan dirintis oleh pendirinya yang bernama Al-Imam Abul Hasan ‘Ali bin Ismā’il al-Asy’ari. Beliau hidup pada sekitar tahun 260 H-324 H. Era di mana banyak bermunculan ragam pemikiran, sekte dan kelompok-kelompok beragama dalam tubuh umat Islam. Tidak hanya itu saja, bahkan ateisme pun menyebar dan dikembangkan pada era itu, baik melalui perorangan maupun melalui penterjemahan buku-buku ateis ke dalam bahasa Arab, seperti dilakukan oleh Ibnul-Muqaffa’ yang masyhur dengan julukan “Baidaba”, Hammād ‘Ajrad, dan lain-lain. Sementara itu, dalam segi politik, Umat Islam sendiri sedang mengalami banyak kemunduran (futūr). Tentunya kondisi yang sedemikian rupa ini menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam.

 

Imam Asy’ari hidup saat terjadi ketegangan yang amat sangat luar biasa antar beberapa kelompok ekstrim dalam lingkungan umat Islam itu sendiri. Sehingga tidak jarang, terjadi bentrokan fisik antar kelompok tersebut karena masalah perdebatan dan perbedaan teologis antar para pembesarnya. Ada kelompok Hasyawiyyah yang nampak terlalu tekstualis dengan mengabaikan sisi rasionalitas, berhadap-hadapan secara serius dan bahkan bermusuhan dengan Mu’tazilah yang mendewa-dewakan rasional dengan seolah mengesampingkan teks. Belum lagi ada kelompok Khawārij dan Syi’ah, yang dalam sisi politik dianggap membahayakan eksistensi Daulah Abbasiyyah pada waktu itu. Nah, dalam kondisi yang demikian inilah Imam Asy’ari muncul dengan memberikan solusi yang lebih moderat (wasathiyah) demi mendamaikan semua kelompok Islam yang sedang bertikai tersebut. Walaupun pada akhirnya, Imam Asy’ari sendiri mau tidak mau harus terlibat dalam diskusi dan perdebatan (jidāl) dengan yang lain. (bersambung...).

 

 

Ustadz Dhiya Muhammad, pengajar pada Pondok Pesantren Al-Misykat, Sayung, Demak.

 

 


Opini Terbaru