• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 4 Mei 2024

Opini

Fiqih Air dan Perlindungan atas Petani

Fiqih Air dan Perlindungan atas Petani
Foto: Ilustrasi (banten.nu.or.id)
Foto: Ilustrasi (banten.nu.or.id)

Bulan Juni 2021 kemarin Pengurus Cabang (PC) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kabupaten Batang menggelar bahtsul masail membahas beberapa persoalan yang terjadi di masyarakat untuk dicarikan status hukumnya dari kaca mata fiqih. Salah satu pertanyaan yang dibahas adalah perihal hukum wudhunya petani dengan menggunakan air yang mengalir dari parit ke sawah. 

 

Jawaban dari musyawirin (nama dari peserta bahtsul masail, red) beragam lantaran keadaan air di parit sawah yang beragam pula. Ada yang menjawab sah dengan alasan bahwa air parit di sawah itu termasuk air mutlak yang suci menyucikan. Namun ada pula yang menjawab tidak sah karena banyak sawah di era sekarang yang airnya sudah tercemar oleh sampah yang mengubah sifat-sifat air sehingga mengeluarkan air dari katagori air mutlak yang suci menyucikan. 

 

Perdebatan di atas menggambarkan, kendati tidak seluruhnya, keadaan air parit sawah kita yang sudah berubah. Kalau kita merujuk data di beberapa portal berita, pencemaran sampah atas air ini benar-benar terjadi. Misalnya seperti pencemaran sampah yang terjadi di sawah Soreang Kabupaten Bandung sebagaimana dilansir detik.com (25/03/2017).

 

Bagi kita yang tidak bekerja sebagai petani, perubahan keadaan air tersebut tampak biasa saja. Namun bagi para petani, yang dari pagi hingga sore bekerja di sawah dan ditambah jarak yang cukup dari rumah, tentu akan merasakan dampaknya langsung. Kalau petani ini harus pulang ke rumah untuk menjalankan shalat, karena air di sawah sudah tercemar dan berubah sifat-sifatnya, tentu hal ini menambah beban kerjanya. Belum lagi jika dikaitkan dengan kesehatan petani yang berinteraksi secara langsung dengan air tersebut dan kesuburan sawah itu sendiri.

 

Kalau kita melihat pembahasan fiqih bersuci yang air menjadi alat utamanya, umumnya kitab fiqih secara dhahir hanya membahas perihal pembagian air: dari yang suci menyucikan, yang suci tapi tak bisa menyucikan, hingga air yang dihukumi najis. Persoalan larangan mengotori air dan menjaga air tetap dalam kesuciannya tak dibahas secara panjang lebar. 

 

Kendati demikian, kalau kita membaca teks fiqih bersuci itu dengan pembacaan arah gerah teks, akan kita dapati menjaga air supaya tetap dalam sifat suci menyucikan itu merupakan hal yang penting, dengan argumen bahwa air yang berubah, baik yang masih suci maupun najis tak bisa digunakan untuk bersuci, alias hilang fungsi pentingnya untuk mendukung terealisasinya sebuah ibadah seperti shalat. 

 

Perintah menjaga air ini bisa pula kita lihat dari sisi maqashid syariah (tujuan-tujuan syari'at). Kalau kita merujuk kepada penjelasan Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Gus Dur dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita, tujuan-tujuan syariat ini ada lima: hifdzuddin (menjaga agama), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul mal (menjaga harta), hifdzun nasl (menjaga keturunan), hifdzun nafsi (menjaga jiwa). 

 

Dalam kasus air parit sawah yang tercemar dan hukum bersuci petani dengannya bisa kita tarik kepada menjaga jiwa dan menjaga harta. Jika air parit sawah yang tercemar sampai menyebabkan airnya tidak bisa dibuat untuk bersuci, berarti petani harus mencari air lain untuk bersuci. Dan jika jaraknya jauh, berarti ada tenaga petani yang terkuras hanya untuk memperoleh air suci menyucikan yang sebenarnya bisa didapat jika air parit sawah ini tidak tercemar. Terkurasnya tenaga petani ini tentu berhubungan dengan kesehatannya secara umum.

 

Oleh karena itu, menjaga air dari ketercemaran termasuk dalam rangka menjaga jiwa. Belum lagi jika dilihat dari sisi kesehatan petani yang berinteraksi langsung dengan air yang telah tercemar itu dan kualitas tanaman pertanian yang menurut beberapa pengakuan petani terganggu. Tentu permasalahan yang terakhir ini, jika dikaitkan dengan penjagaan air, termasuk menjaga harta.

 

Selain menggunakan air di parit sawah, sebenarnya petani bisa bersuci di sungai yang berdekatan dengan beberapa sawah. Namun kalau kita lihat ke lapangan hari ini, beberapa sungai airnya sudah tak sejernih dulu, bahkan ada yang sampai berwarna coklat bercampur dengan tanah. Hal ini antara lain disebabkan oleh Galian C yang melakukan penambangan batu di sawah sekitar sungai. 

 

Mungkin dalam pandangan fiqih bersuci, perubahan air sebab tanah ini tak menghilangkan status air sebagai alat bersuci, namun jika ditinjau dari kesehatan dan keindahan, apakah air yang berwarna coklat ini tak berbahaya bagi area wajah ketika berwudhu misalnya. Oleh karena itu, menjaga kebersihan air sungai juga termasuk menjaga jiwa/nyawa. 

 

Selain galian C, limbah sampah rumahan dan limbah industri juga turut mengotori air sebagaimana dilansir kompas.com (10/01/2017) perihal limbah pabrik gula di Banyuwangi Jawa Timur. Baik pelaku galian C maupun industri, tentu tak semua, ketika disodorkan fakta tentang dampak lingkungan ini ada yang berkelit bahwa yang mereka lakukan ini juga turut meningkatkan ekonomi masyarakat dengan cara memperkerjakan warga setempat. 

 

Tentu yang demikian ini benar adanya, namun seharusnya juga memperhatikan dampak lingkungannya. Dalam hal ini saya setuju dengan Sony Keraf, Menteri Lingkungan era Gus Dur yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan itu harus mempertimbangkan tiga hal: ekonomi, sosial budaya, dan keseimbangan ekologi. Kalau kita merujuk kepada kaidah fikih: "menolak kerusakan itu lebih diutamakan dari pada menarik manfaat", maka kendati hal-hal di atas memberikan manfaat ekonomi, dampak ekologisnya juga harus diperhatikan.

 

Dengan uraian di atas, kiranya jelas bahwa fiqih air, selain memberikan label status hukum air juga mengarah kepada penjagaan air, dan yang terakhir ini tak lain adalah tugas kita sebagai pelaksana fikih. Bukankah begitu?

 

 

Zaimuddin Ahya’, kontributor NU Online, Penulis Lepas, dan Aktif di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Batang 


Opini Terbaru