Khutbah Jumat: Mengenali Sifat Riya’ agar Penghambaan Diri menjadi Lebih Baik
Kamis, 29 Agustus 2024 | 13:00 WIB
Khutbah Jum'at pada Minggu ini menerangkan tentang riya' atau sifat pamer. Sifat yang perlu untuk dijauhi karena akan merusak kemurnian dalam beribadah. Dalam naskah khutbah Jum'at ini mengajak kita untuk mengenali sifat riya', gejala-gejalanya dan cara untuk menghindarinya.
Khutbah I
الحمدُ للهِ الْبَارِئِ المُصَوِّرِ الْخَلَّاقِ، الْوَهَّابِ الْفَتَّاحِ الرَّزَّاقِ، الْمُبْتَدِئِ بِالنِّعَمِ قَبْلَ الْإِسْتِحْقَاقِ، وَصَلَاتُهُ وَسَلَامُهُ عَلَى رَسُوْلِهِ الَّذِيْ بَعَثَهُ لِيُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ، وَفَضَّلَهُ عَلَى كَافَّةِ الْمَخْلُوْقِيْنَ عَلَى الْإِطْلَاقِ، حَتَّى فَاقَ جَمِيْعَ الْبَرَايَا فِي الْآفَاقِ، وَعَلَى اٰلِهِ الْكِرَامِ الْمَوْصُوْفِيْنَ بِكَثْرَةِ الْإِنْفَاقِ، وَعَلَى اَصْحَابِهِ اَهْلِ الطَّاعَةِ وَالْوِفَاقِ، صَلَاةً دَائِمَةً مُسْتَمِرَّةً بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ. اما بعد.
فَيَا اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ الكِرَامُ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ، إِتَّقُوْا اللهَ الْمَلِكَ الْعَالَمِ تَدْخُلُوْا جَنَّةَ رَبِّكُمْ بِسَلَامٍ.
قال اللهُ تعالى في كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم، وَما أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاةَ وَذلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Jama’ah shalat Jum’at yang dirahmati Allah
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kita dapat berjumpa dan berkumpul di tempat yang mubarak ini untuk menunaikan shalat Jumat.
Shalawat serta salam selalu kita haturkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad saw. alladzi turja syafa’atuhu min yaumi hadza ila yaumil qiyamah.
Pada siang hari ini, di atas mimbar ini, saya berwasiat untuk diri saya sendiri, juga jamaah sekalian, untuk terus meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah swt. dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Karena dengan ketakwaan itu, kita termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung, baik di dunia maupun di akhirat.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah
Sebagai umat Islam dengan syariat-syariatnya, kita tidak lepas dari berbagai amal ibadah dan perbuatan baik yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seringkali tanpa kita sadari, terdapat niat yang tersembunyi yang justru dapat mengurangi atau bahkan menghapus pahala dari amal-amal ini. Salah satu penyakit hati yang paling halus dan berbahaya dalam hal ini adalah riya’ atau pamer. Karena riya’ bisa merusak amal ibadah kita, meski secara lahiriah amal tersebut tampak baik dan mulia. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Bayyinah ayat ke-5:
وَما أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاةَ وَذلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas lagi hanif (istiqomah) dalam menjalankan agama, dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, itulah agama yang lurus (benar)”.
Berdasarkan ayat ini, Syaikh Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani (Syaikh Nawawi, Banten) dalam kitab tafsirnya Murah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid (Juz 2, hlm. 458) mengungkapkan, orang-orang kafir itu tidak diperintahkan dalam Taurat dan Injil kecuali untuk menyembah Allah dengan ketulusan beribadah hanya kepada-Nya, tanpa menginginkan riya’ ataupun sum’ah (mencari pujian), serta menjaga diri dari kepercayaan yang menyimpang menuju Islam. Ketulusan dalam penghambaan diri kepada Allah, mendirikan shalat, dan memberikan zakat, inilah agama yang lurus.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah
Ayat ini menuntun kita untuk menyatukan niat tanpa menyekutukannya menyatukan niat kepada yang kekal tanpa menyekutukannya dengan segala yang fana menjaga niat dalam beribadah dan memastikan bahwa semua perbuatan baik dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allah. Sehingga, kita dapat beramal tanpa penyertaan riya’ dan mencapai taraf ikhlas, sebagaimana keterangan tentang ikhlas oleh Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwir al-Qulub-nya (hlm. 484). Juga dengan demikian, kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang munafik. Sebagaimana digambarkan dalam QS. An-Nisa’ ayat 142, Allah swt. berfirman:
اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka sendiri). Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.
Allah swt sama sekali tidak membutuhkan sekutu. Dia tidak memerlukan bantuan atau keterlibatan dari siapapun atau apapun dalam mengatur alam semesta dan menerima ibadah dari hamba-Nya. Segala bentuk syirik, baik yang jelas maupun yang tersembunyi, dapat menghilangkan nilai dari amal baik yang kita lakukan.
Imam Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi menulis suatu hadis dalam Riyadl ash-Shalihin-nya. Hadis tersebut berbunyi:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: قَالَ اللهُ تعالى اَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ. رواه مسلم.
Artinya: Diceritakan dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: Allah Ta’ala berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan di mana dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku meninggalkannya dan kesyirikannya.” (HR. Muslim).
Hadis tersebut diikuti dengan catatan kaki yang tertulis bahwa Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim berkata: makna hadits ini adalah Aku (Allah) tidak membutuhkan sekutu atau lainnya, maka siapa saja yang melakukan sesuatu untuk-Ku dan untuk selain-Ku, Aku tidak akan menerimanya, bahkan Aku akan meninggalkannya untuk selain-Ku itu. Hal ini mengartikan bahwa amalan orang yang riya’ adalah batil, tidak ada pahala di dalamnya, dan dia berdosa karena itu (lihat: Riyadhus-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, hlm. 348).
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah
Berhati-hatilah terhadap hal-hal yang halus dari riya’, karena itu yang menimbulkan kegelapan hati di samping hilangnya pahala. Syaikh Abdul Wahab asy-Sya’roni menyebutkan beberapa bentuk yang halus dari riya’ dengan analisis kritisnya dalam kitab Syarh al-Minah as-Saniyyah ‘ala al-Washiyyah al-Matbuliyyah (hlm. 6-8).
Di antara hal-hal yang halus dari riya’ yang pertama adalah merasakan kenikmatan dalam beribadah. Ini adalah racun yang mematikan, yang menggugurkan amal. Seandainya bukan karena penglihatan orang-orang lemah terhadap penghormatan mereka di hadapan manusia ketika mereka menghabiskan malam-malam dengan beribadah, mereka tidak akan mampu menghabiskan satu malam pun dengan ibadah, apalagi melakukannya terus-menerus.
Sayyid Abdul Qadir ad-Day Thuthi rahimahullah berkata, wajib bagimu untuk memurnikan niatmu hanya untuk Allah swt dan jangan meremehkan hal ini serta merasa puas dengan tipu daya diri sendiri, karena itu akan membinasakanmu. Misalnya, jika dorongan dalam melakukan ibadah terdiri dari dua perkara: yang fana dan yang kekal, ini adalah salah satu bentuk riya’ yang paling sulit bagi para pemula, karena bentuk ini mirip dengan ketulusan dan sulit bagi mereka untuk menghilangkan riya’ tersebut, berbeda dengan riya’ yang murni, yang bisa dipahami dengan sedikit perenungan.
Lebih lanjut, Sayyid Abdul Qadir ad-Day Thuthi berkata: Jika dorongan untuk yang kekal (ikhlas) lebih kuat daripada yang fana (riya’), maka amal tersebut tetap dianggap riya’. Sebagian ulama mengatakan, jika dorongan yang kekal lebih dominan, maka yang dihukumi adalah dorongan tersebut. Hanya saja, pernyataan ini berlaku bagi orang-orang awam yang notabennya belum mampu menempuh jalan spiritual. Sementara bagi mereka yang mampu menempuh jalan spiritual, tidak ada toleransi lagi dalam kondisi semacam itu. Namun, para ulama sepakat bahwa menyatukan niat adalah wajib, agar mereka hanya memiliki satu tujuan, yaitu Allah swt.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah
Kedua, di antara bentuk lain adalah beribadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, karena hal itu mirip dengan bekerja untuk upah. Para ulama berkata bahwa ini adalah alasan yang paling tersembunyi dan seseorang yang mengalaminya bisa saja merasa dekat dengan kehadirat Allah, tetapi kemudian dikatakan kepadanya, “Kembalilah, kamu bukan termasuk orang yang pantas berada di sini. Sesungguhnya, orang yang pantas berada di sini adalah mereka yang menyembah Allah karena menjalankan perintah-Nya dan menunaikan hak-hak-Nya.”
Ketiga, di antara bentuk lembutnya riya’ adalah mengklaim memiliki maqam (tingkatan spiritual) sebelum mencapainya atau setelah mencapainya tetapi tidak berwenang untuk menunjukkannya. Orang yang mengklaim maqam seperti ini akan dijatuhi konsekuensi dengan dicabutnya maqam tersebut sehingga dia tidak akan pernah mencapainya lagi, sebagaimana telah terbukti dalam banyak pengalaman.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah
Keempat, di antara bentuk riya’ lainnya adalah menyukai perhatian orang terhadap ibadah dan hal-hal lain yang dilakukan. Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili berkata: “Salah satu hal yang paling berbahaya bagi para murid adalah memperbanyak amal saleh dengan harapan agar dipuji, karena tidak akan ada yang didapatkan dari memperbanyak amal tersebut kecuali penolakan dan kebencian.” Ini sering kali samar dari para murid, sehingga mereka diwajibkan untuk merahasiakan amal mereka sebisa mungkin sampai mereka kuat dan mantap. Amal yang pada awalnya tidak diniatkan untuk mencari pujian orang lain saja bisa tergolong riya’ bila orang-orang memujinya dan murid terpengaruh akan pujian itu.
Kelima, di antara bentuk riya’ lainnya adalah meninggalkan suatu amalan karena manusia. Syaikh Fudhail bin Iyadh berkata: “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, dan melakukan amal karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” Artinya, jika seseorang berniat melakukan ibadah tetapi meninggalkannya karena takut dilihat oleh orang lain, maka dia telah berbuat riya’ karena meninggalkannya demi manusia. Berbeda halnya jika dia meninggalkan suatu amal untuk dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka itu dianjurkan. Namun, jika amal tersebut adalah kewajiban seperti shalat fardhu atau zakat yang wajib dikeluarkan atau jika dia adalah seseorang yang diikuti oleh orang lain, maka menampakkannya lebih baik.
Bentuk-bentuk riya’ yang samar masih sangat banyak. Semoga Allah Swt. menyelamatkan kita dari penyakit hati ini, baik yang sharih maupun yang samar. Dan semoga Allah memberikan kesempatan dan kekuatan bagi kita untuk ikhlas beramal hanya kepadaNya.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. اَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah II
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَاعلَمُوْا إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَواْ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ. قَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ الْأَحْيآءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اَللّٰهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ بُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرُكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Abdullah Muhammad Alfatih, Alumni Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Mantenan, Udanawu, Blitar dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.
Terpopuler
1
Amalan yang Dilakukan pada Malam Nisfu Sya’ban
2
Doa Mustajab di Malam Nisfu Sya’ban yang Dibaca Syekh Abdul Qadir Al-Jilani
3
Muslimat NU Rayakan Nisfu Syaban di Kongres Ke-18 dengan Pemberian Ijazah Amalan
4
Kiai Aniq Muhammadun: Jangkar Fiqh NU , Sang Penjaga Tradisi
5
Rutinan Muslimat-Fatayat Padasari: Semangat Berjam’iyah Sambut Ramadhan
6
Pengukuhan Ranting Fatayat NU Juwiring Klaten, Awal Berkhidmah dan Mendakwahkan Islam Ahlusunah wal Jama’ah
Terkini
Lihat Semua