• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

Metode Debat dalam Mazhab Asy'ariyah (2)

Metode Debat dalam Mazhab Asy'ariyah (2)
Kitab-kitab ulama Asy’ariyah memperlihatkan cara debat yang elegan: kalimat padat, tepat sasaran, tanpa sedikit pun memakai kata-kata makian ataupun debat kusir.
Kitab-kitab ulama Asy’ariyah memperlihatkan cara debat yang elegan: kalimat padat, tepat sasaran, tanpa sedikit pun memakai kata-kata makian ataupun debat kusir.

Rangkaian Debat menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari  

 

Dalam seluruh kitab-kitab para ulama mazhab Asy’ariyah terdapat rangkaian debat yang hampir seluruhnya memiliki bentuk yang sama, yaitu  

 

1. Pertanyaan mengenai pendapat lawan debat.   

 

Sebagaimana kita ketahui, dalam berdebat ada pihak yang disebut sail (penanya) dan mujib (penjawab). Pada awal perdebatan sang sail harus menanyakan mengenai pendapat mujib mengenai bahan perdebatan. Hal ini bertujuan untuk menegaskan pendapat yang diyakini mujib dan dapat disaksikan oleh segenap yang hadir. Hal ini sangat penting agar sang sail dapat mengenal lebih jelas argumentasi mujib di fase berikutnya. Contoh: sang sail bertanya “Apa pendapat anda mengenai alam semesta?” atau “Apakah anda meyakini alam semesta adalah dahulu (qadim) atau baru datang (hadits)?”  

 

2. Meminta argumentasi mengenai pendapat lawan debat.   

 

Selanjutnya setelah fase pertama, sail wajib meminta argumentasi nalar akal atas pendapat yang diutarakan oleh mujib. Hal ini sangat penting karena argumentasi yang diutarakan oleh mujib di fase ini akan menjadi pijakan oleh sail dalam fase berikutnya. Oleh karena itu, sail harus sangat teliti dalam mencatat argumentasi mujib. Dalam fase pertama dan kedua, sail tidak boleh sedikit pun memotong argumentasi mujib. Penolakan/tanggapan harus ditempatkan setelah pihak yang dituju (mujib) menyelesaikan seluruh argumentasinya, sehingga nantinya sail dapat membabat habis seluruh pemikiran mujib dengan sempurna dan mendatangkan keyakinan baru bagi mujib.  

 

 3. Meminta alasan legitimasi pendapat yang dipilih lawan debat.   

 

Setelah kedua fase di atas, sail harus meminta mujib untuk menjelaskan dasar-dasar dalil yang dapat diterima oleh segenap ulama yaitu harus berupa dalil teks Al-Qur’an, hadits shahih atau hasan, serta pendapat para shahabat dan ulama yang diakui pendapatnya oleh segenap yang hadir. Dalam fase ini, sail baru boleh memotong argumentasi mujib dengan serangkaian perlawanan argumentasi. Karena sejak fase ini, sail dapat mempertimbangkan untuk segera melangkah ke fase berikutnya yaitu fase mengkritik dan mematahkan argumentasi mujib ketika sail merasa dalil yang dipakai mujib sudah sering didengar oleh segenap hadirin atau ketika dalil yang dipakai mujib setara dan juga digunakan sail dalam membangun argumentasi pendapatnya. Misalnya saja seorang mujib yang berhaluan Mu’tazilah memakai dalil ayat “Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya” (QS Zalzalah: 7) sebagai legitimasi pendapatnya bahwa perbuatan hamba tidak terikat dengan kuasa Allah; maka dalam posisi ini sail bisa langsung mematahkan argumentasi dalil yang diutarakan mujib karena sail juga memakai ayat ini sebagai fondasi pemikirannya akan tetapi dengan sudut penafsiran yang berbeda.  

 

4. Mematahkan argumentasi lawan debat.   

 

Dalam fase terakhir ini, sang sail memiliki kesempatan penuh untuk mematahkan seluruh argumentasi dan landasan dalil yang diutarakan oleh mujib. Dalam fase ini, sail harus berhati-hati dalam memilih diksi kalimat yang akan diutarakan. Karena ia dituntut untuk meyakinkan bahwa pendapat mujib adalah salah atau kurang tepat dengan argumentasi yang tetap menjunjung tinggi akhlak dan adab dalam berdebat. Dalam hal ini, ada dua bentuk model mematahkan argumentasi mujib. 

 

Pertama, mengukur landasan argumentasi lawan debat. Model ini bertumpu dengan memakai landasan argumentasi lawan debat sebagai bahan untuk mematahkan pendapat lawan debat dan menegaskan bahwa landasan argumentasi lawan debat tidak memadai untuk mendukung pendapatnya. Misal mujib yang berhaluan ateis mengatakan “Saya meyakini alam semesta ini dahulu (qadim), karena kita meyakini tidak mungkin ada jism/bentuk yang terbentuk dari ketiadaan dan saya meyakini bahwa semua yang ada ini adalah proses yang terjadi secara alamiah menurut apa yang saya tangkap dari panca indra saya”. Maka sail berhak menjawab “Kalau begitu, anda juga meyakini bahwa alam semesta ini hadits (baru datang) karena anda juga tidak bisa memastikan dengan panca indra dan akal anda akan adanya jism/bentuk dari alam semesta yang ada sejak zaman azali”.  

 

Kedua, menguji landasan argumentasi lawan debat. Model ini bertumpu dengan menguji landasan argumentasi lawan debat secara akal dan menegaskan bahwa landasan argumentasi lawan debat tidak layak untuk diutarakan di meja debat. Misal mujib mengatakan, ”Saya meyakini bahwa seluruh manusia berkulit hitam, karena saya melihat dengan mata saya bahwa manusia yang saya temui berwarna hitam”. Maka sail berhak menjawab “Bagaimana mungkin anda menyatakan seluruh manusia berkulit hitam hanya dengan sebatas penelitian yang dilakukan dengan mata penglihatan anda? Apakah hasil penglihatan anda dapat menjadi dasar bahwa seluruh manusia berkulit hitam?”  

 

Dalam proses mematahkan pendapat lawan debat, ada dua model pendukung argumentasi, yaitu:  

 

1. Memberikan keraguan kepada lawan debat.   

 

Model ini sering dipakai untuk mengunci lawan debat yaitu dengan cara membuat ragu lawan debat. Teknik ini digunakan agar mujib merasa ragu dengan jawaban dan landasan argumentasinya. Misal mujib yang ateis mengatakan, “Menurut panca indra saya, jism/bentuk selalu memiliki runtutan kelahiran. Misalnya saja manusia yang leluhurnya berevolusi dari kera dan seterusnya, semua berasal dari berkembangnya alam semesta. Karena itu, saya meyakini alam semesta adalah dahulu (qadim) dan sebab dari seluruh yang ada di dunia”. Maka, sail mengatakan, “Argumentasi anda berlandaskan dari akal dan panca indra anda, apakah anda meyakini hal ini disebabkan akal dan panca indra anda?”.   

 

Seandainya mujib mengatakan “Benar, saya meyakini alam semesta dahulu (qadim) dengan sebab apa yang saya tangkap dari akal dan panca indra saya”. Maka, di sini sang mujib telah meragukan landasan argumentasinya sendiri karena tidak mungkin akal dan panca indra manusia biasa dapat memastikan dan membuktikan bahwa alam semesta adalah pencipta segala makhluk.   

 

Seandainya mujib mengatakan, “Tidak, saya menyatakan hal ini bukan disebabkan akal dan panca indra saya”. Maka, di sini sang mujib telah meragukan jawabannya sendiri karena ia memberikan jawaban tanpa menjelaskan darimana dia mendapatkan jawaban tersebut.  

 

2. Menyanggah landasan argumentasi lawan debat.   

 

Model ini sering dipakai sebagai bantahan bahwa teori mujib tidak dapat dipakai dalam bahan pembahasan karena tidak dapat dipakai dalam kasus lain yang setara dengan bahan pembahasan. Teknik ini digunakan ketika mujib memberikan sebuah landasan argumentasi berupa kaedah atau hukum pasti. Misal mujib yang penganut sekte mujassimah mengatakan “Saya meyakini Allah memiliki bentuk tubuh seperti kita meyakini bahwa manusia yang bergerak dan berjalan pasti memiliki bentuk tubuh”. Maka, sail menjawab “Kalau anda berpendapat demikian, berarti anda juga meyakini bahwa Allah terbentuk dari bagian-bagian yang disusun sebagaimana manusia yang bergerak dan berjalan juga terbentuk dari anggota-anggota tubuh yang tersusun, lantas siapakah dzat yang menyusun anggota tubuh Allah?”. Sanggahan sail mematikan langkah lawan debat karena seketika itu mujib akan meyakini bahwa jawabannya justru menjadikan ia menyatakan bahwa ada dzat yang menciptakan Allah dan ini telah keluar dari konsep aqidah. (Habis...)  

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo  

 

Sumber: Mengenal Metode Debat dalam Mazhab Asy'ariah 

 

 


Keislaman Terbaru