Keislaman

Membaca sisi spiritual Gus Dur: Dimensi tasawuf dalam kehidupan sang Guru Bangsa

Selasa, 31 Desember 2024 | 10:00 WIB

Membaca sisi spiritual Gus Dur: Dimensi tasawuf dalam kehidupan sang Guru Bangsa

Gus Dur (Foto: NU Online)

Gus Dur, atau KH. Abdurrahman Wahid, wafat pada 30 Desember 2009, meninggalkan warisan yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia, beliau dikenal sebagai sosok pemersatu, pembela keberagaman, dan pejuang kemanusiaan. Pemikirannya yang progresif dan sikapnya yang humanis menjadikan Gus Dur panutan lintas agama dan budaya.


Di balik pengabdiannya sebagai pemimpin negara, beliau juga merupakan ulama besar yang memimpin Nahdlatul Ulama dengan penuh dedikasi. Kepergiannya menjadi kehilangan besar bagi rakyat Indonesia, tetapi nilai-nilai yang ia perjuangkan tetap hidup dan menjadi inspirasi hingga kini.


Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang memiliki kedalaman spiritual luar biasa, menjadikannya bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga seorang tokoh yang memahami hakikat kehidupan melalui pendekatan tasawuf. Kehidupan spiritualnya tercermin dalam sikapnya yang penuh toleransi, kebijaksanaan, dan keberanian menegakkan keadilan. 


Oleh karena itu, membaca sisi spiritual Gus Dur, terutama dalam dimensi tasawuf, membuka wawasan tentang bagaimana ia memadukan spiritualitas dengan praktik kepemimpinan yang humanis dan inklusif, menjadikannya Guru Bangsa yang membawa nilai-nilai universal dalam setiap langkah perjuangannya.


Kehidupan KH. Abdurrahman Wahid, dikenal sebagai Guru Bangsa, sangat dipengaruhi oleh aspek spiritual tasawuf. Setiap aspek kehidupan Gus Dur mencerminkan ajaran tasawuf dalam pandangan dan perilakunya yang penuh kasih sayang, toleransi, dan kepedulian terhadap kaum lemah. Gus Dur melihat agama sebagai perangkat normatif dan sebagai jalan pembebasan dan transformasi sosial. 


Dimensi tasawufnya menghubungkan spiritualitas pribadi dengan perjuangan sosial yang lebih luas. Dalam perjalanan hidupnya, Gus Dur menunjukkan bagaimana tasawuf dapat menjadi landasan bagi terciptanya harmoni di tengah keberagaman. Ia kerap berbicara tentang pentingnya memahami hakikat manusia sebagai makhluk yang terhubung dengan Tuhan dan sesama, sebuah prinsip yang sejatinya menjadi inti ajaran tasawuf. Kehadirannya di tengah masyarakat lintas agama dan budaya adalah bukti nyata dari penerapan nilai-nilai tasawuf yang mendalam. 


Gus Dur tidak hanya membawa tasawuf sebagai wacana intelektual, tetapi juga sebagai praktik kehidupan yang nyata, yang membimbingnya dalam membangun hubungan sosial yang inklusif. Dimensi tasawuf yang dijalani oleh Gus Dur tidak hanya membimbingnya dalam perjalanan spiritual pribadi, tetapi juga memberinya landasan yang kokoh untuk memperjuangkan keadilan, pluralisme, dan kemanusiaan. Dengan memahami dimensi tasawuf dalam kehidupan Gus Dur, kita dapat melihat bagaimana spiritualitas Islam mampu menjawab tantangan zaman dan menjadi inspirasi bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik.


Tasawuf, sebagai aspek penting dalam tradisi Islam, mengedepankan pencarian spiritual dan hubungan langsung dengan Tuhan. Menurut Nasr didalam bukunya “The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperSanFrancisco. (1996), tasawuf tidak hanya berfungsi sebagai praktik religius, tetapi juga sebagai cara untuk memahami dan menjalani kehidupan yang lebih dalam. 


Gus Dur, dalam perjalanan spiritualnya, mengintegrasikan prinsip-prinsip tasawuf ke dalam kehidupan sehari-hari dan kebijakan publiknya. Hal ini terlihat dalam sikap toleransinya terhadap berbagai kelompok agama dan pandangan yang berbeda.


Dalam konteks ini, Gus Dur sering mengutip ajaran-ajaran tasawuf yang menekankan pentingnya cinta dan kasih sayang. Salah satu nilai penting dalam tasawuf yang ditekankan oleh Gus Dur adalah toleransi. Dalam pandangannya, toleransi bukan sekadar menerima perbedaan, tetapi juga menghargai dan merayakan keragaman yang ada. Dalam bukunya Islam dan Pluralisme (Wahid, 2006), Gus Dur menegaskan bahwa Islam mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan. Prinsip ini menjadi landasan bagi berbagai kebijakan yang mendukung pluralisme dan harmoni di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.


Gus Dur sering kali mengadakan dialog antaragama, yang menunjukkan komitmennya terhadap toleransi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa dialog antaragama dapat memperkuat hubungan antar komunitas dan menciptakan harmoni sosial. 


Gus Dur percaya bahwa melalui dialog, masyarakat dapat saling memahami dan mengurangi potensi konflik. Dialog tersebut bukan hanya bentuk pendekatan sosial, tetapi juga manifestasi dari ajaran tasawuf yang menekankan pentingnya cinta, perdamaian, dan saling pengertian.


Dari sinilah figur ulama tasawuf dalam kehidupan Gus Dur tampak yang secara teratur menekankan dialog antar agama sebagai bagian dari pendekatan tasawuf yang terbuka dan penuh kasih sayang. Gus Dur melihat dialog sebagai cara untuk membangun hubungan yang harmonis di tengah masyarakat yang beragam dan memahami perbedaan secara menyeluruh daripada sekedar pertemuan formal. 


Dalam setiap langkahnya, yang mendorong percakapan antar agama, nilai cinta kepada sesama manusia tercermin. Hal ini menunjukkan komitmennya terhadap toleransi dan upayanya untuk mengatasi prasangka, yang sering menyebabkan konflik sosial. Gus Dur percaya bahwa dialog dapat mengajarkan orang untuk saling menghormati, menghargai perbedaan, dan bekerja sama untuk membangun kehidupan yang damai.


Salah satu contoh konkret dari pendekatan ini adalah ketika Gus Dur secara aktif terlibat dalam mendukung komunitas minoritas Tionghoa di Indonesia. Pada masa Orde Baru, diskriminasi terhadap komunitas ini sangat kuat, baik secara politik maupun sosial. Gus Dur membuka ruang dialog dengan tokoh-tokoh Tionghoa untuk memahami permasalahan yang mereka hadapi. 


Salah satu langkah berani yang diambil Gus Dur adalah memperjuangkan pengakuan Imlek sebagai hari libur nasional. Bagi Gus Dur, ini bukan hanya langkah politis, tetapi juga simbol penting dari penghormatan terhadap keragaman budaya dan agama. Upayanya tersebut berhasil memulihkan martabat komunitas Tionghoa dan memperkuat persatuan di tengah keberagaman Indonesia.


Gus Dur juga terkenal karena upayanya untuk membangun hubungan dengan orang Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Dengan menghadiri acara keagamaan lintas agama dan menyampaikan pesan-pesan damai, Presiden Indonesia menunjukkan kepedulian kepada semua agama. Hak komunitas Kristen untuk beribadah tanpa gangguan adalah peristiwa yang sering dikenang oleh Gus Dur. 


Ia menyatakan bahwa kebebasan beragama merupakan bagian penting dari kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada Pancasila. Langkah-langkah ini tidak hanya meningkatkan toleransi di Indonesia, tetapi mereka juga menunjukkan bagaimana nilai-nilai tasawuf dapat digunakan untuk menciptakan harmoni di antara orang-orang yang beragam.


Perjalanan spiritual dan pendekatan Gus Dur terhadap tasawuf memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana nilai-nilai spiritual dapat mempengaruhi kebijakan dan perilaku sosial. Gus Dur menggunakan prinsip-prinsip tasawuf dalam kebijakan publiknya, yang ditandai dengan sikap toleran dan inklusif terhadap berbagai kelompok. 


Selain itu, kontribusinya terhadap pemikiran tasawuf modern menunjukkan betapa relevansi tasawuf dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat modern. Kajian dan kebijakan Gus Dur ini membantu kita memahami bahwa tasawuf bukan hanya aspek religius; itu adalah cara untuk membuat masyarakat yang lebih adil dan harmonis.


Sumber 
Faur Rasid "Gus Dur dan Agama Khonghucu di Indonesia" Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


Alfaed Thaib dan Rizky Yazid "Teologi Pluralisme (Telaah atas Konsep Toleransi Gus Dur dalam Diskursus Kerukunan Umat Beragama di Indonesia)" Universitas Islam Negeri Jakarta