• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 5 Juli 2024

Keislaman

4 Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Niat Shalat Fardhu

4 Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Niat Shalat Fardhu
Ilustrasi orang tengah niat melaksanakan shalat. (Foto: NU Online/Freepik).
Ilustrasi orang tengah niat melaksanakan shalat. (Foto: NU Online/Freepik).

Shalat terdiri dari rukun, sunnah ab’adl, dan sunnah haiat. Niat menjadi bagian dari rukun-rukunnya, karena wajib ada dan merupakan awal dari shalat itu sendiri. Karena itu, niat dianggap sebagai rukun, seperti halnya takbir dan rukuk. Namun, ada yang menganggap niat sebagai syarat. Al-Ghazali mengungkapkan, niat lebih mirip dengan syarat, karena dianggap harus terus ada sampai akhir shalat, sehingga niat lebih mirip dengan wudhu dan menghadap kiblat. Ini adalah pendapat yang kuat (Lihat: Kifayah al-Akhyar, Juz 1, hlm. 83).


Niat adalah bagian penting dalam setiap ibadah karena menentukan tujuan dan maksud dari pelaksanaan ibadah itu sendiri. Niat menuntut ketegasan hati dan pikiran dalam menjalankan suatu tindakan. Hal ini mengartikan bahwa seseorang harus memiliki niat yang jelas dan pasti ketika melaksanakan ibadah. Ibnu Nujaim telah merumuskan ini pada kaidah pertama di bawah Qawa’id al-Kulliyat-nya, bahwa tidak ada pahala kecuali dengan niat (la tsawaba illa bi an-niyat) dan kaidah kedua: segala sesuatu tergantung pada niatnya (al-umur bi maqashidiha) (Lihat: al-Asybah wa an-Nadhair, hlm. 17 dan 23). Abd al-Muhsin al-‘Ubbad juga menulis hal serupa dalam kitab syarah atas Sunan Abi Dawud.


وبالمناسبة القصد الحسن يؤجر الإنسان عليه، ولكن ما اشتهر من أن: (نية المرء خير من عمله) هذا ورد فيه حديث ضعيف: (نية المرء خير من عمله) ولكن كون النية والقصد الحسن يؤجر الإنسان عليه هذا لا شك فيه؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنما الأعمال بالنيات).

Dan terkait dengan hal ini, niat yang baik akan mendapatkan pahala bagi seseorang, tetapi yang terkenal dari ucapan: "Niat seseorang lebih baik daripada amalnya," sebenarnya terdapat dalam hadis yang lemah (dhaif): "Niat seseorang lebih baik daripada amalnya." Namun, mengenai niat dan maksud yang baik, seseorang akan mendapatkan pahala atasnya, ini tidak diragukan lagi; karena Nabi Saw. bersabda: "Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya." (Lihat: Syarh Sunan Abi Dawud li al-‘Ubbad, bagian ke-78, hlm. 4).


Al-Mawardi juga menjelaskan, meski derajat hadis di atas tidak memenuhi kriteria sahih ataupun hasan, paling tidak ada tiga tafsiran mengenai hal ini: pertama, niat seseorang dalam berijtihad lebih baik daripada kesalahannya dalam berijtihad; kedua, niat seseorang lebih baik daripada amal-amal baiknya; dan ketiga, niat itu lebih luas daripada amal, karena niat mendahului ucapan dan perbuatan, sehingga pahala diberikan dengan segera atas niat tersebut (Lihat: Al-Hawi al-Kabir, Juz 16, hlm. 130). Demikian, niat menempati kesakralannya dalam berbagai hal.


Ada 4 hal yang perlu diperhatikan niat dalam shalat. Pertama, menyengaja untuk melakukan shalat untuk membedakan dari perbuatan lainnya. Hal ini biasa diwujudkan dalam kalimat ushalli.


Kedua, menentukan shalat yang akan dilakukan, apakah itu shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, Subuh, atau Jum'at. Kedua hal ini (menyengaja melakukan shalat dan menentukan shalat yang hendak dilakukannya) harus dilakukan. Jika seseorang berniat melakukan shalat fardhu waktu sebagai pengganti shalat Dzuhur atau Ashar, maka tidak sah menurut pendapat yang lebih kuat, karena shalat yang terlewat (qadha) juga dianggap sebagai fardhu waktu.


Ketiga, niat untuk melakukan fardhu. Menurut mayoritas ulama, hal tersebut merupakan pandangan yang lebih sahih. Penyebutan fardhu ini harus dilakukan dalam niat shalat, baik orang dewasa maupun anak-anak, baik shalat tersebut dilakukan sebagai qadha (mengganti) atau ada' (dalam waktu). Namun, dalam Syarh al-Muhadzab disebutkan, anak-anak tidak perlu berniat fardhu. Kemudian, ada dua pendapat mengenai syarat menambahkan niat karena Allah dengan mengatakan 'lillahi', pendapat yang lebih sah adalah tidak disyaratkan.


Keempat, hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam niat shalat, apakah perlu membedakan antara ada' (melaksanakan dalam waktu) dan qadha (mengganti)? Ada dua pendapat di sini. Pendapat yang lebih sah menurut ar-Rafi'i adalah tidak disyaratkan, karena keduanya memiliki makna yang sama. Sementara itu, Imam Nawawi mengatakan, tidak membedakan ada’ dan qadha dalam niat hanya berlaku bagi orang yang tidak tahu bahwa waktu telah habis karena mendung atau sejenisnya. Imam Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab menjelaskan, para ulama sepakat jika seseorang berniat melaksanakan shalat ada' di waktu qadha atau berniat melaksanakan qadha di waktu ada’, maka tidak sah. Misalnya, saya hendak melaksanakan shalat Dzuhur. Diketahui waktu shalat Dzuhur belum habis, tetapi saya meniatkan qadha pada shalat ini. Hal ini tidak sah. Sebaliknya, misalnya, saya hendak melaksanakan shalat Dzuhur. Diketahui waktu shalat Dzuhur telah habis, tetapi saya meniatkan ada’ pada shalat ini. Hal ini juga tidak sah. 


Selain itu, tidak disyaratkan untuk menyebut jumlah rakaat atau arah kiblat secara eksplisit, tetapi jika seseorang berniat melakukan shalat Dzuhur lima rakaat atau tiga rakaat, maka tidak sah. (Lihat: Kifayah al-Akhyar, Juz 1, hlm. 83). 


Syaikh Taqiy ad-Din al-Hisni mengingatkan, niat dalam semua ibadah diperhitungkan dengan hati, sehingga tidak cukup dengan pengucapan lisan tanpa kehadiran hati. Ketidaksesuaian lisan tidak berpengaruh terhadap kesahan shalat asalkan yang disebut hati sudah tepat. Seseorang ketika shalat Dzuhur telah ia niatkan dalam hatinya, misalnya, tetapi lidahnya mengucapkan Ashar, maka tetap sah shalat Dzuhurnya. Wallahu a’lam.


Ustadz Abdullah Muhammad Alfatih, Alumnus Pondok Pesantren Sirajuth Thalibin, Brabo, Grobogan, Jawa Tengah.


Keislaman Terbaru