• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 17 Mei 2024

Fragmen

Kisah Perjuangan Wali Joko dan Masjid Agung Kendal

Kisah Perjuangan Wali Joko dan Masjid Agung Kendal
Pintu masuk makam Wali Joko, (Foto: Mahbub)
Pintu masuk makam Wali Joko, (Foto: Mahbub)

Indonesia dahulu dikenal sebagai ‘Nusantara’. Masyarakat Nusantara mulai mengenal Islam sejak abad ke-7 M. Sebelum Islam hadir, masyarakat Indonesia mempunyai keyakinan sesuai agama nenek moyang mereka yaitu Hindu dan Budha. Tidak sedikit pula masyarakat yang menyembah –sesuatu yang mereka yakini sebagai- roh nenek moyang mereka.

 

Seiring berjalannya waktu, Islam mulai masuk ke Nusantara dan mengalami persebaran yang sangat pesat. Hal ini tidak lepas dari peran ulama dengan perjuangan yang luar biasa. Salah satu ulama yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Nusantara adalah ‘Wali Joko’. Ia lebih banyak bergerak di wilayah Kendal dan sekitarnya.

 

Wali Joko yang mempunyai nama lain Raden Panggung lahir tahun 1463 M. Dia merupakan putra bungsu dari Raja Majapahit terakhir, Raja Brawijaya V (Prabu Kertabumi) dari hasil pernikahannya dengan Sri Muradaningrum (Candrawati).

 

Wali Joko hidup di tegah-tengah kerajaan Majapahit. Ia berperan sebagai Pangeran Majapahit dengan seorang kakak kandungnya yang bernama Sri Batoro Katong. Raden Panggung mempunyai satu saudara kandung dan sembilan saudara tiri. Sembilan saudara tirinya adalah putra dari Prabu Kertabumi hasil pernikahan dengan istri pertamanya yaitu Putri Campa yang mempunyai nama asli Dewi Kian yang berasal dari tanah Canyu Thailand (Muangthai). Kesembilan kakak tirinya adalah Pangeran Nariyo Damar, Pangeran Bantian Rejawi Lembu Peteng, Raden Patah, Pangeran Joko Sengkoro, Pangeran Lembu Gugur, Pangeran Somad Guto Darmono, Pangeran Jarot Pamulih, Pangeran Parta Lengan, dan Pengeran Adipati Karang Gawong.

 

Perjuangan Pangeran Panggung menyebarkan Islam dimulai sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit yang mengalami kekalahan dalam perang melawan Kerajaan Kediri di bawah pimpinan Prabu Girindrawardana. Setelah kalah perang, Prabu Brawijaya ayah dari Pangeran Panggung melarikan diri ke Bojonegoro, Desa Singorojo, di bawah kaki Gunung Lawu yang kemudian meninggal dan dimakamkan di desa tersebut dengan julukan baru yaitu Pengeran Singorojo.

 

Pangeran Panggung atau Wali Joko dalam masa pelarian, karena kekalahan Kerajaan Majapahit, terpisah dari ayahnya dan melarikan diri ke arah timur, tepatnya ke Bonang, Tuban.

 

Selama dalam pengungsiannya di Tuban, Wali Joko bertemu dan berkenalan dengan seoranng mubaligh di desa Bonang, Tuban yang juga murid dari Sunan Ampel, namanya Syekh Ibrahim Asmoro atau Syekh Ibrahim Asmoroqondi. Di Bonang, Tuban, Raden Joko (panggilan Wali Joko di mata teman-temannya) banyak belajar agama Islam dengan teman barunya, Syekh Ibrahim hingga kemudian memeluk agama Islam.

 

Seiring runtuhnya Kerajaan Majapahit, berdirilah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, di samping kerajaan Islam yang sudah berdiri berupa kerajaan Samudra Pasai Perlak, Sumatera. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Demak yang didirikan oleh kakak tiri Wali Joko yaitu Raden Patah yang merupakan putra Sulung dari Prabu Kertabumi V. Di kemudian hari Raden Patah diberi julukan Syeikh Sultan Alam Akbar.

 

Mendengar kabar di Desa Bintoro-Demak telah berdiri sebuah Kerajaan dengan pendirinya yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, Raden Patah, maka menjadikan Wali Joko mempunyai keinginan pergi ke Demak. Keinginan Wali Joko kali ini tidak untuk menjadi prajurit atau pamong praja lagi, namun sudah merasakan kejenuhan dengan kedua pekerjaan tersebut. Wali Joko ingin bergabung dengan kakaknya dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan batin dan memperdalam ilmu agama.

 

Wali Joko diantar oleh teman barunya yang sekaligus guru spiritualnya, Syekh Ibrahim Asmoroqondi untuk menuju ke Demak dan menemui Raden Patah untuk mengutarakan niatnya dalam memperdalam agama Islam.

 

Setelah bertemu dengan kakaknya, Raden Patah, Wali Joko diberi titah dan arahan untuk berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Di luar dugaan, ternyata di sana banyak mantan punggawa Majapahit, termasuk kakak kandungnya, Sri Batoro Katong, yang nyuwita (nyantri) kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.

 

Setelah beberapa lama nyantri dengan Kanjeng Sunan, Pangeran Panggung diberi julukan (laqab) oleh Kanjeng Sunan dengan panggilan Syekh Rafi’udin. Kanjeng Sunan memberikan julukan kepada Pangeran Panggung demikian bertujuan untuk mengokohkan agar Pangeran Panggung menyadari bahwa dirinya kini bukanlah Raden Suwityo sebagai Punggowo Majapahit lagi, namun sudah berganti baju dengan Rafi’udin yang berarti penegak Syari’at. 

 

Pemberian julukan ini juga sebagai simbol bagi seseorang yang telah mengecap ilmu dari seorang guru dan sebagai pengukuhan atau pertanda bahwa dia sudah selesai dalam menimba ilmu kepada guru tersebut sehingga sudah terwisuda.

 

Setelah dipandang cukup menguasai ilmu agama yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga, bersama dengan kakak kandungnya Sri Batoro Katong, Wali Joko ditugaskan untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Wali Joko ditugasi menyebarkan Islam di daerah Kendal dan kakaknya di daerah Kaliwungu yang kemudian dikenal di sana dengan sebutan Sunan Katong.

 

Ketika sampai di Kendal, Wali Joko tidak langsung berdakwah. Ia memiliki cara tersendiri untuk menarik masyarakat di sekitar Kendal. Cara tersebut adalah dengan menciptakan lingkungan yang teduh, asri, nyaman dan indah, sehingga masyarakat akan merasa senang, nyaman dan kerasan ketika berkunjung ke rumahnya. Ia juga menarik perhatian masyarakat dengan membangun sarana perhubungan, irigasi, dan membangun masjid.

 

Pengajaran pertama yang diajarkan oleh Wali Joko kepada masyarakat adalah pelajaran tauhid, yaitu pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’la. Kemudian mengajarkan aqa’id Ahlussunnah wal Jamaah, mengajarkan Al-Qur’an serta thariqah Qadiriyah dan Naqsyabandiyah kepada masyarakat.

 

Seiring dengan berjalannya waktu, santri yang ikut mengaji semakin banyak dan bahkan ada santri yang datang dari berbagai daerah mulai dari Gringsing, Limpung, dan Pekalongan. Dengan semakin tambahnya santri, rumahnya yang kecil tidak cukup menampung para santri.

 

Pada usia sekitar 30 tahun, Wali Joko dengan dibantu para santrinya, membangun masjid kisaran pada tahun 1493 M sehingga cukup untuk menampung santri yang mengaji di sana. Masjid tersebut adalah masjid Agung Kendal yang kini berada di pusat kota. Bangunan masjid yang pertama dibangun berukuran 27 x 27m2 dengan 16 saka dan atapnya bersusun tiga dibuat dari sirap dan tempat wudhu yang berbentuk kolam pendem yang mendapat aliran air dari sungai Kendal yang dibuat sendiri oleh Wali Joko dengan menggoreskan tongkat dari kedung pengilon, Desa Magangan.

 

Untuk memenuhi kebutuhan para santri dan pemeliharaan masjid, Wali Joko dibantu para santri dan kaum muslimin di daerah tempat tinggalnya, ia membuka lahan pertanian di Desa Kauman, Karangsari, Langenharjo, dan Sukolilang yang memiliki luas sekitar 49 Ha. Tanah tersebut diolah oleh para santri dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka dan sebagian lagi digunakan untuk pemeliharaan masjid. Kini tanah tersebut menjadi bondo Masjid Agung Kendal dengan status wakaf bersertifikat.

 

Seluruh kehidupan Wali Joko, ia persembahkan untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Bahkan, ia rela untuk tidak melepas masa lajangnya dan tidak menikah hingga meninggal pada usia sekitar 63 tahun pada tahun 1526 M demi tersebar luasnya agama Islam. Karena itu, ia dikenal dengan Wali Joko (perjaka). Setelah meninggal, ia dimakamkan di rumahnya yang terletak di sebelah tenggara Masjid Agung Kendal.

 

Cerita di atas bersumber dari KH. Ma'mun Amin, Ketua Tamir Majid Agung Kendal.

 

Kolomnis: Fina Mahbub

Editor: Ahmad Mundzir


Fragmen Terbaru