• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Dinamika

Kader PMII Harus Paham Sejarah Perjuangan Bangsa

Kader PMII Harus Paham Sejarah Perjuangan Bangsa
Logo PMII.
Logo PMII.

Surakarta, NU Online Jateng

Mempelajari sejarah amatlah penting, sebab dengan itu siapapun bisa mengetahui serta mempelajari peristiwa lampau yang sehingga bisa bijak dalam mengambil keputusan dan tindakan.

 

Hal ini disampaikan oleh Ajie Najmuddin dalam forum tindak lanjut pasca Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) yang digelar oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Pertanian Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah secara daring pada Selasa (3/11).

 

"Dari sejarah kita dapat membingkai, membuat konsep dan merumuskan masa kini dan masa mendatang," ungkapnya dalam diskusi yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas yang ada di UNS serta beberapa peserta yang berasal dari Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta itu.

 

"Melalui rentetan sejarah baik berupa tulisan, suara, video, atau prasasti kita dapat mengetehaui masa lalu mulai dari kesuksesan dan kesalahan, sehingga kita tidak mengulangi lagi dan kita menjadi manusia yang bijak dalam mengambil keputusan dan bertindak," lanjutnya.

 

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Surakarta itu menjelaskan bahwa materi yang ada dalam pelajaran sejarah Indonesia yang diterima ketika sekolah tidak bisa lepas dari para penguasa yang memiliki legitimasi dalam menyusun narasi sejarah tersebut.

 

Oleh karena itu, dirinya mengajak agar para peserta diskusi untuk tidak serta merta menerimanya sehingga akan menjadikan tidak subyektif dalam menilai suatu sejarah yang ada.

 

"Apabila kita hanya terpacu pada sejarah yang dibuat oleh penguasa, maka kita akan terjebak pada subyektifitas serta ketidakbenaran sejarah atau peristiwa yang sesungguhnya terjadi pada masa lalu. Seperti dalam adagium sejarah dibuat oleh para penguasa atau pemenang," terang Ajie, sapaan akrabnya.

 

Ia kemudian memberikan contoh mengenai peristiwa Resolusi Jihad yang menjadi latar belakang ditetapkannya peringatan Hari Santri 22 Oktober. Menurutnya narasi sejarah mengenai peristiwa tersebut baru ramai disuarakan sekitar lima tahun belakang ini yang mana sebelumnya peristiwa Resolusi Jihad tidak pernah diajarkan pada pelajaran sejarah.

 

"Sebelum itu tidak ada peringatan Hari Santri atau bahkan Resolusi Jihad tidak diajarkan pada pelajaran sejarah. Yang disajikan dalam kurikulum yaitu narasi para penguasa pada saat itu yang bertujuan untuk memperkuat kekuasaannya," ujarnya.

 

"Seperti contoh ketika masa orde baru berkuasa, video G30S/PKI menjadi narasi tunggal yang harus dipercayai oleh semua orang," tambahnya.

 

Dikatakan, setelah masa reformasi bergulir, sedikit demi sedikit mulai muncul narasi baru dalam G30S/PKI, yaitu adanya intrik dari angkatan darat dan realita-realita lain yang disembunyikan dalam narasi sejarah.

 

"Terkait Resolusi Jihad ternyata peran santri dalam kemerdekaan sangat vital. Para pejuang perang tidak hanya tentara melainkan juga santri sampai membentuk Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi aktor penting dalam sejarah perjuangan bangsa," tukasnya.

 

Tiga hal yang harus diperhatikan dalam memahami narasi sejarah

Lebih lanjut, dirinya mengatakan bahwa penyajian narasi sejarah yang beredar di tengah masyarakat jika terdapat unsur-unsur yang tidak disukai oleh penguasa, bahkan mampu melemahkan kedudukannya maka akan dihilangkan.

 

Ia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami narasi sejarah. Pertama adalah mengedepankan aktor sejarah dari kalangan penguasa, sehingga seolah-olah perubahan sejarah hanya muncul dari kelompok penguasa atau kalangan elit dan bukan dari rakyat biasa.

 

"Alih-alih rakyat kecil hanya sebatas pelengkap saja. Sejarawan Sartono Kartodirdjo membantah dengan menyatakan bahwa rakyat kecil bisa menjadi aktor sejarah, termasuk kita bisa melahirkan sejarah baru, dan menuliskan sejarah kita sendiri," urainya.

 

Kedua, jika sejarah dikuasai oleh pihak penguasa maka akan terjadi monopoli kebenaran. Ketiga, media-media digunakan untuk indoktrinasi.

 

"Jika narasi yang disajikan berbeda dengan penguasa akan dibredel atau dibubarkan. Yang keempat yaitu adanya penyebarluasan sejarah tersebut yang sesuai dengan penguasa bertujuan untuk mencuci otak masyarakat, agar masyarakat tidak memiliki kesadaran," bebernya.

 

Di akhir, Ajie mengajak kepada para peserta, khususnya para kader PMII untuk banyak membaca dari berbagai referensi, berdiskusi untuk mempelajari hal-hal yang sudah berlalu atau yang disebut sejarah.

 

"Selain itu agar memperluas pandangan dalam menanggapi berbagai persoalan atau tantangan zaman. Dari sejarah kita harus merefleksikan kepada kehidupan kita saat ini dan akan datang," tegasnya.

 

"Seperti dalam kaidah Ushul Fiqih yang berbunyi Al-Muhafadhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah yang memiliki arti memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik," pungkasnya.

 

 

Kontributor: Lismira

Editor: Ahmad Hanan


Dinamika Terbaru