Semarang, NU Online Jateng
Pada pembacaan maulid (riwayat kelahiran) Nabi Muhammad saw terdapat mahalul qiyam. Lafal tersebut sesuai namanya ialah momentum orang berdiri pada saat pembacaan maulid Barzanji.
Setelah pembacaan riwayat maulid oleh orang yang dianggap cakap membaca Kitab Barzanji atau Kitab Rawi, jamaah maulid lantas berdiri dan membaca shalawat bersama.
Sebagaimana artikel yang ditulis Alhafiz Kurniawan berjudul ‘Ini Lafal Mahalul Qiyam Maulid Barzanji’. Berikut ini lafal shalawat beserta terjemahan dan transliterasi yang dibaca saat mahalul qiyam:
صَلَّى اللهُ عَلى مُحَمَّدْ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ
مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا، مَرْحَبًا جَدَّ الحُسَيْنِ مَرْحَبًا
Shallallāhu ‘alā Muhammad, shāllallāhu ‘alayhi wasallam
Marhaban yā marhaban yā marhaban, marhaban jaddal Husaini marhaban.
Artinya: Allah bershalawat untuk Nabi Muhammad saw, Allah bershalawat dan mengucap salam sejahtera untuknya.
Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang kakek dari Husain, selamat datang.
يَا نَبِى سَلَامْ عَلَيْكَ، يَا رَسُوْلْ سَلَامْ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبْ سَلَامْ عَلَيْكَ، صَلَوَاتُ اللهْ عَلَيْكَ
Yā nabī salām ‘alayka, yā rasūl salām ‘alayka
Yā habīb salām ‘alayka, shalawātullāh ‘alayka
Artinya: Wahai Nabi, salam sejahtera untukmu, wahai Rasul salam sejahtera untukmu
Wahai Kekasih, salam sejahtera untukmu, shalawat (rahmat) Allah untukmu
اَشْرَقَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا، فَاخْتَفَتْ مِنْهُ الْبُدُوْرُ
مِثْلَ حُسْنِكْ مَا رَأَيْنَا، قَطُّ يَا وَجْهَ السُّرُوْرِ
Asyraqal badru ‘alayna, fakhtafat minhul budūru
Mitsla husnik mā ra’aynā, qaththu yā wajhus surūri
Artinya: Satu purnama telah terbit di atas kami, pudarlah jutaan purnama lain karenanya
Belum pernah kulihat seperti keelokanmu, wahai wajah yang gembira
اَنْتَ شَمْسٌ اَنْتَ بَدْرٌ، اَنْتَ نُوْرٌ فَوْقَ نُوْرِ
اَنْتَ اِكْسِيْرٌ وَّغَالِى، اَنْتَ مِصْبَاحُ الصُّدُوْرِ
Anta syamsun anta badrun, anta nūrun fawqa nūri
Anta iksīruw wa ghālī, anta mishbāhus shudūri
Artinya: Kau bak mentari, kau juga laksana purnama, kau cahaya di atas cahaya
Kau laksana obat segala guna (elixir) lagi mahal, kau adalah lentera hati
يَاحَبِيْبِيْ يَامُحَمَّدْ، يَا عَرُوْسَ الخَافِقَيْنِ
يَا مُؤَيَّدْ يَا مُمَجَّدْ، يَا اِمَامَ القِبْلَتَيْنِ
Yā habībi yā Muhammad, yā ‘arūsal khāfiqayni
Yā mu’ayyad yā mumajjad, yā imāmal qiblatayni
Artinya: Wahai Kekasih, wahai Muhammad saw, wahai pengantin Timur dan Barat
Wahai Rasul yang diperkuat (oleh wahyu), wahai Nabi yang agung, wahai imam dua kiblat
مَنْ رَآى وَجْهَكَ يَسْعَدْ، يَا كَرِيْمَ الوَالِدَيْنِ
حَوْضُكَ الصَّافِى الْمُبَرَّدْ، وِرْدُنَا يَوْمَ النُّشُوْرِ
Man ra’ā wajhaka yas‘ad, yā karīmal wālidayni
Hawdhukas shāfil mubarrad, wirdunā yawman nusyūri
Artinya: Siapapun yang memandang wajahmu pasti bahagia, wahai manusia yang memiliki orang tua mulia.
Telagamu berair jernih dan sejuk, yang kelak kami datangi pada hari kebangkitan
مَا رَأَيْنَا الْعِيْسَ حَنَّتْ، بِالسُّرَى اِلَّا اِلَيْكَ
وَاْلَغَمَامَةْ قَدْ اَظَلَّتْ، وَالْمَلَا صَلُّوْا عَلَيْكَ
Mā ra’aynal ’īsa hannat, bis surā illā ilayka
Wal ghamāmah qad azhallat, wal malā shallū (shallaw pada sebagian naskah) ‘alayka
Artinya: Belum pernah kami melihat unta peranakan unggul yang bersuara sambil berjalan malam hari, kecuali menuju kepadamu
Gumpalan awan menaungimu, semua makhuk mengucapkan shalawat untukmu.
Lebih dari itu, Alhafiz Kurniawan menuliskan bahwa posisi diri yang dilakukan oleh orang tua dan para guru sebelumnya merupakan bentuk akhlak mereka terhadap Rasulullah saw. Ia juga menjabarkan telaah uraian Sayid Bakri bin Sayid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab I‘anatut Thalibin yang artinya sebagai berikut:
“Sudah menjadi tradisi bahwa ketika mendengar kelahiran Nabi Muhammad saw disebut-sebut, orang-orang akan berdiri sebagai bentuk penghormatan bagi rasul akhir zaman. Berdiri seperti itu didasarkan pada istihsan (anggapan baik) sebagai bentuk penghormatan bagi Rasulullah saw. Hal ini dilakukan banyak ulama terkemuka panutan umat Islam.”
“Posisi diri yang dilakukan oleh orang tua dan para guru kita merupakan bentuk akhlak mereka terhadap Rasulullah saw. Para orang tua kita jelas meneladani akhlak para ulama sebagai pewaris para nabi terhadap rasulnya,” tulis Alhafiz Kurniawan dilansir NU Online Jateng pada Senin (16/9/2024).