• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 28 April 2024

Tokoh

Patriotisme Kiai Muslih Mranggen

Patriotisme Kiai Muslih Mranggen
Almaghfurlah KH Muslih Mranggen, Demak, Jateng (Foto: Istimewa)
Almaghfurlah KH Muslih Mranggen, Demak, Jateng (Foto: Istimewa)


Di masa penjajahan, para kiai, guru tarekat, dan santri merupakan kelompok yang tak henti-hentinya melakukan perlawanan. Menurut Agus Sunyoto (2013), dalam kurun waktu satu abad, tahun 1800-1900, terjadi 112 pemberontakan yang dipimpin oleh guru tarekat dan pesantren. Salah satu guru tarekat dan kiai yang getol melawan penjajah adalah Kiai Muslih Mranggen, Demak, Jawa Tengah.

 

Kiai Muslih adalah Mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dan Pengasuh Pesantren Futuhiyyah. Mranggen sendiri secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Demak, namun secara geografis lebih dekat dengan Semarang. 

 

Pada masa penjajahan, Mranggen berada di bawah Markas Medan Tenggara (MMTG) Semarang yang menghubungkan jalur komando Hizbullah menuju Purwodadi (Kiai Muslih Mranggen Sang Penggerak dan Panutan Sejati, 2020: 96). 

 

Menjadi Anggota Hizbullah


Seperti dicatat KH Saifuddin Zuhri, pada permulaan tahun 1944 Hizbullah sudah terbentuk di seluruh Jawa dan Madura. Markas tertinggi Hizbullah berada di Jakarta, dengan Zainul Arifin sebagai panglimanya. Anggota pimpinan yang lain diambilkan dari unsur Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PSII, dan lain-lain. Waktu itu, pusat latihan Hizbullah berada di Cibarusa, suatu desa di perbatasan antara Bekasi dan Cibinong, dekat Jakarta Bogor (Guruku Orang-Orang Dari Pesantren, 2008: 315). 

 

Kiai Muslih merupakan salah satu kiai yang ikut dalam pelatihan tersebut, bahkan ia dipercaya sebagai ketua regu yang salah satu anggotanya adalah Kiai Abdullah Abbas Buntet Cirebon. Saudara Kiai Abdullah Abbas, Kiai Mustamid Abbas yang pernah nyantri bersama Kiai Muslih di Tremas Pacitan menceritakan bahwa Kiai Muslih mirip Sentot Ali Basya, salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro.

 

Sepulang dari latihan di Cibarusa Kiai Muslih segera mengonsolidasikan Hizbullah di Mranggen dengan merekrut santri-santri seniornya dan pemuda-pemuda Mranggen. Tercatat, beberapa pemuda Mranggen seperti Suroso dan Sukaimi menjadi anggota laskar Hizbullah. Sukaimi bahkan gugur dalam sebuah pertempuran di Semarang Tenggara dan dimakamkan di belakang Masjid Besar Mranggen.

 

Kiai Cholil Luthfi Patebon Kendal dalam satu kesempatan mengatakan bahwa karamah Kiai Muslih pernah disaksikan oleh regu tembak tentara ketika menundukkan kesaktian seseorang. Pada masa perang kemerdekaan, ada seorang perempuan yang dicurigai melakukan kegiatan spionase untuk kepentingan militer Belanda. Perempuan itu ditangkap oleh tentara dan dijatuhi hukuman mati. 
Anehnya, saat dieksekusi oleh regu tembak perempuan itu tidak terluka sedikit pun. Akhirnya tentara tersebut mengadu pada Kiai Muslih dan atas izin Allah beliau dapat menghilangkan kekebalan dan kesaktian mata-mata itu.

 

Membekali dengan Doa


Seperti halnya peran Kiai Subeki Parakan Temanggung yang memberikan bekal berupa doa “Bismillahi, Ya Hafidzu, Allahu Akbar” kepada para laskar Hizbullah dan Sabilillah sembari berbaris dengan bambu runcingnya, Kiai Muslih juga memberikan doa-doa tertentu kepada santri-santrinya. Doa-doa tersebut selain memberikan ketenangan juga meningkatkan kepercayaan diri santri dalam menghadapi musuh.

 

Doa-doa tertentu yang diberikan Kiai Muslih bahkan mengandung kejadukan sehingga selain bisa menghilang, pengamal doa tersebut juga dapat melumpuhkan lawan hanya dengan sekali pukulan. Murid Kiai Muslih seperti Kiai Shodiq Hamzah Semarang sampai sekarang masih menyimpan doa-doa tersebut.

 

Di tahun 1965, saat meledak peristiwa G30S/PKI, banyak anggota PKI yang mengincar para santri Futuhiyyah sehingga mereka ketakutan. Menyikapi hal itu, Kiai Muslih mengumpulkan seluruh santrinya di masjid pesantren sembari berkata: “Para santri tenang, tidak usah khawatir, tidak usah takut. Saya kasih ijazah ini, baca ‘maliki yaumiddin’ tiga kali tidak bernafas, hentakkan kaki ke tanah, nanti kamu bisa menghilang. Musuh tidak melihat kamu. Tulis lafaz Allah di telapak tanganmu dengan lidah, terus genggam. Kalau dipakai untuk memukul musuh dia akan tersungkur.” 

 

Demikianlah patriotisme Kiai Muslih. Beliau turut berjuang ke lapangan menghadapi musuh, ikut bergabung dalam laskar Hizbullah, dan memberikan doa-doa yang meningkatkan kepercayadirian para santri dalam menghadapi musuh. 

 

Ketika Indonesia telah merdeka dan banyak anggota Hizbullah diangkat menjadi tentara, Kiai Muslih dan banyak kiai di Indonesia lebih memilih kembali ke pesantren, kembali berkutat dengan ilmu dan mengajarkan serta mengamalkan keikhlasan. Wallahu A’lam Bis Shawab.
          

Moh Salapudin, Kontributor NU Online Jateng, Santri Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak 


Tokoh Terbaru