• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 3 Mei 2024

Tokoh

KH Saelan Pendiri Pesantren Grogolan Pekalongan

KH Saelan Pendiri Pesantren Grogolan Pekalongan
Almaghfurlah KH Saelan pendiri Pesantren Ribatul Muta'allimin, Landungsari, Kota Pekalongan (Foto: Dokumen keluarga)
Almaghfurlah KH Saelan pendiri Pesantren Ribatul Muta'allimin, Landungsari, Kota Pekalongan (Foto: Dokumen keluarga)

 

Pesantren Ribatul Muta’allimin, Landungsari, Kota Pekalongan atau yang biasa juga disebut Pondok Grogolan, didirikan oleh almaghfurlah KH Saelan pada tahun 1921 M. Beliau adalah putra dari Kiai Muchsin bin Kiai Abdulloh (Syekh Tholabuddin) bin Kiai Chasan. Kiai Chasan ini adalah seorang kiai dari Kerajaan Mataram.

 

Semasa muda, KH Saelan mengaji dan menuntut ilmu kepada Kiai Maliki (Landungsari) dan Habib Hasyim (Pekalongan). Beliau juga nyantri kepada KH Dimyati Tremas, Pacitan, Jawa Timur dan Syaikhona KHR. Cholil bin Abdul Latif atau biasa disebut Syekh Cholil Bangkalan (Madura).

 

Setelah berguru kepada kedua ulama besar tersebut, KH Saelan kemudian mendirikan Pesantren di Desa Landungsari. Pada mulanya KH Saelan mendirikan pesantren dengan membangun sebuah surau (mushala) kecil yang sederhana dengan atap daun rumbia dan lantainya masih berupa tanah.

 

Di surau inilah KH Saelan mengajar santri-santrinya dengan sistem pengajian sorogan dan bandongan. Mula-mula santri beliau berasal dari Desa Medono. Setelah jumlah santri yang belajar bertambah banyak, maka pada tahun 1928 dengan bantuan H Abdussalam (Grogolan) didirikan bilik atau kamar untuk menginap para santri. Dengan adanya santri yang menginap, maka untuk metode pengajaran digunakan sistem tingkatan atau kelas. Sementara itu, pengajian sistem sorogan dan bandongan tetap dipertahankan.

 

KH Saelan mempunyai istri Nyai Hj Khaulia binti Kiai Abdul Mukti (masih keturunan Mbah Nur Anom, Kranji-Pekalongan). Dari istrinya tersebut, Kiai Saelan dikaruniai empat orang putra-putri, yaitu Hj. Khadhiroh, KH Hamid Yasin, Hj Bariroh, dan Hj Jauharoh.

 

KH Saelan menikah lagi dengan Hj Masrurotun setelah Nyai Hj Khaulia wafat. Dari istrinya yang kedua, Kiai Saelan dikaruniai seorang putra bernama KH Hasan Rumuzi Yasin.

 

Pada tahun 1938 M KH Saelan wafat, untuk selanjutnya kepemimpinan pesantren digantikan oleh KH Nachrawi bin Chasan dan KH Hamid Yasin (putra KH Saelan). KH Nachrowi Chasan adalah santri dan sekaligus menantu dari KH Saelan. Selain belajar kepada KH Saelan, KH Nachrowi juga belajar pada KH Dimyati, Tremas, Pacitan. Beliau juga pernah belajar kepada KH Romli Tamim, Jombang.

 

Sementara itu KH Hamid Yasin, selain belajar kepada ayahnya, juga belajar kepada Mbah Maksum Lasem dan di Kaliwungu, Kendal. Pada masa iti, salah seorang santri almarhum KH Saelan, yaitu Habib Muhammad memberi nama Pondok Pesantren dengan nama ‘Ribatul Muta’allimin’.

 

Selama kepemimpinan KH Nachrawi Chasan dan KH Hamid Yasin, Pesantren Ribatul Muta’aalimin mengalami perkembangan yang cukup pesat. Jumlah santri yang mengaji bertambah banyak. Oleh karenanya sarana fisk juga baik berupa gedung/bangunan untuk kegiatan belajar-mengajar maupun bangunan bilik untuk menginap para santri semakin bertambah.

 

Metode pengajaran dengan sistem kelas dan kurikulumnya juga semakin baik, dari tingkat Sifir, Ibtidaiyah Diniyah, Tsanawiyah Diniyah, dan Aliyah Diniyah. Sementara itu, pengajian sorogan dan bandongan yang dilaksanakan di mushala tetap dipertahankan sampai sekarang.

 

Pada tahun 1981 KH Hamid Yasin wafat, selanjutnya Pesantren Ribatul Muta’allimin tetap diasuh oleh KH Nachrowi Chasan dengan dibantu oleh KH Hasan Rumuzi (putra KH Saelan), KH Dja’far Nachrowi (putra KH Nachrowi Chasan) dan KH Abu Khalid (menantu KH Saelan).

 

Pesantren Ribatul Muta’allimin semakin maju. Salah satu kemajuan yang sangat dibanggakan adalah diadakannya pendidikan Madrasah Tsanawiyah dengan kurikulum Departemen Agama (setingkat SMP) dan Madrasah Aliyah kurikulum Departemen Agama (setingkat SMU).

 

Pada Hari Rabu tanggal 12 Juni 1996 KH Nachrowi Chasan wafat. Selanjutnya Pesantren Ribatul Muta’allimin diasuh oleh KH Dja’far Nachrowi, KH Hasan Rumuzi, dan KH Abu Khalid dengan dibantu oleh putra-putri KH Nachrowi yang lain. Namun baru sekitar satu tahun mengasuh pesantren menggantikan ayahnya, tepatnya Hari Senin tanggal 21 April 1997 KH Dja’far Nachrowi wafat. Dan selanjutnya Pesantren Ribatul Muta’allimin diasuh oleh KH Hasan Rumuzi, KH Sa’dullah Nachrowi, dan KH Najib Nachrowi.

 

Untuk memperingati wafatnya almarhum KH Saelan selaku pendiri pesantren, maka pada setiap tanggal 12 Sya’ban, di Pesantren Ribatul Muta’allimin diadakan kegiatan Khoul KH Saelan dan para pengasuh lainnya, di mana kegiatan tersebut bertepatan dengan kegiatan akhirussanah dan wisuda santri tingkat Aliyah Diniyah Pesantren Ribatul Muta’allimin.

 

Pada Tahun 1955, di atas tanah waqaf milik H Syamsuri telah dibangun sebuah gedung madrasah yang terdiri dari 4 lokal dan sebuah ruang guru dengan perlengkapannya yang kesemuanya menelan biaya Rp83.000,- di luar harga tanah. Mengingat kekurangan areal tanah untuk pembangunan gedung madrasah, maka tanah milik Kasdani yang berada di belakang tanah milik H Syamsuri diwaqafkan pula.

 

Pada Tahun 1958, atas usaha KH Nachrawi Chasan dengan dibantu masyarakat, dibangun sebuah bangunan yang terdiri 4 kamar yang dilengkapi dengan serambi yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Pembangunan tersebut menelan biaya Rp100.000

 

Pada Tahun 1961, atas usaha H Juned (PPIP) dan H Ridhwan (Ketua PCNU Kota Pekalongan), dibeli tanah beserta bangunannya seluas 1000 m² yang bersebelahan dengan komplek Pesantren. Bangunan tersebut digunakan juga untuk kegiatan sekolah (Komplek B).

 

Pada Tahun 1963, Pesantren Ribatul Muta’allimin mendapat musibah akibat banjir dari sungai yang berada di belakang Pondok Pesantren yang mengakibatkan robohnya bangunan yang terdiri 4 kamar. Pada Tahun itu pula dibangun sebuah bangunan yang terdiri dari 6 kamar beserta serambinya yang digunakan untuk kamar para santri dan sekaligus untuk kegiatan belajar mengajar (Komplek C).

 

Pada Tahun 1969, H Juned dan H Ridhwan memprakarsai pembelian tanah seluas 600 m² yang berada di seberang komplek Pondok Pesantren. Pada Tahun 1972, atas prakarsa H Ridhwan dan H Juned, dibeli sebidang tanah di seberang Pesantren seharga Rp200.000 dibangun sebuah gedung berlantai 2 yang terdiri 6 lokal kelas (khusus putri). Adapaun sisa tanah dari pembelian tanah tersebut, tepatnya di samping masjid, diberikan kepada KH Nachrawi Chasan yang kemudian dibangun sebuah rumah. Biaya keseluruhan dari pembangunan Madrasah Banat beserta rumah tersebut menghabiskan dana Rp9.000.000.

 

Pada Tahun 1974, atas usaha H Juned, H Ridhwan, dan H Tamim, dibangun gedung lantai 2. Untuk lantai atas digunakan kegiatan belajar Madrasah Diniyah Tsanawiyah, sedangkan lantai bawah digunakan untuk kamar para santri (6 lokal) dan 1 ruang guru (Komplek D).

 

Masa Perkembangan Pesantren Tahap Kedua

Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, di samping keinginan sebagian besar orang tua atau wali santri yang menginginkan anaknya memperoleh pendidikan formal sekaligus pendidikan agama, maka atas prakarsa dan usaha dari KH Dja’far Nachrawi dan Kiai Syatibi serta dorongan dari Bapak Wahyudi dan para ustadz/guru lainnya, maka pada Tahun 1983 didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dengan kurukulum Departemen Agama, setingkat SMP. Untuk melengkapi fisik dengan didirikannya MTs tersebut, maka pada Tahun 1985 dibangun sebuah gedung berlantai 2 yang digunakan sebagai sarana perkantoran, ruang ketrampilan dan ruang OSIS.

 

Pada Tahun 1986, atas swadaya dan bantuan dari masyarakat, Pesantren Ribatul Muta’allimin berusaha mengembangkan sarana belajar dan penginapan para santri yang dirasakan sangat mendesak untuk segera dipenuhi mengingat semakin bertambahnya jumlah santri yang menetap. Usaha pengembangan tersebut adalah dengan membeli sebidang tanah milik OE NGE BOEN (papa mbun) seharga Rp8.500.000. Di atas tanah tersebut dibangun sebuah gedung berlantai 3 yang selesai dibangun pada Tahun 1989 dan menghabiskan dana Rp91.040.000.

 

Untuk menampung para siswa yang telah lulus dari MTs Ribatul Muta’allimin dan lulusan Sekolah Menengah Pertama yang akan melanjutkan pendidikan formalnya sekaligus memperoleh pendidikan agama dengan mengaji di Madrasah Diniyah Ribatul Muta’llimin, maka atas usaha KH Dja’far Nachrowi pada tahun 1989 dibuka Madrasah Aliyah Ribatul Muta’allimin dengan kurikulum Departemen Agama, setingkat SMU. Adapun untuk kegiatan belajar-mengajar Madrasah Aliyah tersebut, digunakan gedung lantai 3 yang telah selesai dibangun pada Tahun 1989.

 

Masa Perkembangan Pesantren Tahap Ketiga

Untuk lebih mengefektifkan kinerja dari pengasuh dan pengurus pesantren serta untuk lebih terjalinnya koordinasi di lingkungan pesantren, mengingat lembaga yang bernaung di bawahnya sudah berkembang, maka pada tanggal 4 Oktober 1993 dibentuk suatu yayasan yang bernama ‘Yayasan Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin’ atau YPPRM oleh KH Nachrowi Chasan, KH Dja’far Nachrowi, dan KH Hasan Rumuzi.

 

Hubungan antara Pesantren Ribatul Muta’allimin dengan NU

Ibarat mata uang, NU dan pesantren merupakan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Sejarah membuktikan bahwa NU lahir dari komunitas pesantren. Oleh karena itu, Pesantren Ribatul Muta’allimin, seperti halnya pondok-pondok pesantren yang lain di Indonesia, khususnya di Jawa, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan NU. Hubungan baik ini ditandai dengan aktifnya para pengasuh dalam kepengurusan NU Cabang Pekalongan.

 

Saat ini kepengurusan Yayasan Pesantren Ribatul Muta’allimin diketuai salah satu cucu pendiri Pesantren Ribatul Muta’allimin KH Saelan yakni HM Saelany Mahfudz yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Pekalongan.


Tokoh Terbaru