Ahmad Niam Syukri
Penulis
Saya pernah mendapatkan cerita tentang seorang kiai yang mendapatkan hadiah seekor burung beo dari salah satu santrinya. Saking senangnya, burung beo itu selalu dibawa ke mana saja terutama pada saat mengajar santri.
Suatu ketika, sang kiai mengajarkan tentang kalimah tauhid yang selalu diulang-ulang, bahkan pada saat membaca kalimah laa ilaaha illallaah, para santri disuruh menirukan dan mengulangnya berkali-kali.
Khusus untuk pelajaran kalimah tauhid ini berlangsung hingga berhari-hari sehingga para santri fasih melafalkannya, begitu pun burung beo yang selalu bersama kiai juga fasih menirukannya.
Hampir setiap saat burung beo itu melafalkan kalimah laa ilaaha illallaah sehingga membuat senang setiap telinga yang mendengarnya. Tapi di sore yang kelabu, tiba-tiba ada seekor kucing yang menerkanya dan terdengar suara “kiek ... kiek .... kiek” lalu burung beo itu mati.
Melihat burung beo mati diterkam kucing, bersedihlah sang kiai sehingga menaruh iba para santri, “kiai, ijinkan kami mencarikan ganti burung beo yang mati biar kiai tidak bersedih lagi,” ucap para santri untuk menghibur.
Dengan meneteskan air mata, sang kiai menjawab dengan lirih “aku sedih bukan karena burung beo kesayanganku mati, tapi aku sedih karena burung beo yang setiap saat mampu melafalkan kalimah laa ilaaha illallaah justru pada saat kematiannya burung itu tidak bisa mengucapkannya dan hanya kata kiek ... kiek ... kiek yang keluar dari mulutnya.
Mendengar jawaban kiai yang penuh makna, para santri saling berpandangan lalu menunduk. Belum ada satu pun santri yang berucap, buru-buru kiai meneruskan penjelasannya “kita harus selalu berdo’a dan memohon perlindungan kepada Allah SWT agar di akhir hidup kita husnul khatimah jangan seperti burung beo itu.
Mengapa burung beo yang setiap saat fasih melafalkan kalimah laa ilaaha illallaah tapi pada akhir hidupnya tidak bisa mengucapkannya? Karena burung beo itu melafalkan kalimah laa ilaaha illallaah hanya hafalan di mulutnya dan tidak menembus ke dalam hatinya. Naudzu billahi min dzalik.
Sesungguhnya kalimah tauhid itu harus diucapkan oleh lisan, diyakini dalam hati, dan dinyatakan dalam bentuk perbuatan. Maka barang siapa yang bisa merealisasikannya dan mati dengan meyakininya beruntunglah dia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Artinya: Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (mati) dengan membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan memasukkannya ke surga. (HR Muslim)
KH Ahmad Niam Syukri Masruri, Ketua Lembaga Kajian Informasi dan Dakwah (Elkid), Ketua PW GP Ansor Jateng tahun 1995, dan Sekretaris RMINU Jateng
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pelajaran Yang Tersirat Dalam Ibadah Haji
2
Gelorakan Dakwah Lewat Tulisan, NU Online Kumpulkan Jurnalis Muda Nahdliyin se-Jateng dan DIY
3
NU Online dan LAZISNU Gelar Workshop Jurnalistik Filantropi, Cilacap Jadi Tuan Rumah
4
NU Care-LAZISNU Dukung Penyelenggaraan Workshop Jurnalisitik Filantropi di Cilacap Jateng
5
Jelang Konfercab, PCNU Klaten Persiapkan Rekomendasi Isu Pertanian Ramah Lingkungan
6
Ketua PBNU: Jurnalis NU Adalah Saksi Sejarah Perjuangan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua