• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Sosok

Rofiqoh Darto Wahab, Penyanyi Gambus Legendaris Asal Pekalongan

Rofiqoh Darto Wahab, Penyanyi Gambus Legendaris Asal Pekalongan
Hj Rofiqoh Darto Wahab penyanyi gambus asal Kabupaten Pekalongan (Foto: Istimewa)
Hj Rofiqoh Darto Wahab penyanyi gambus asal Kabupaten Pekalongan (Foto: Istimewa)

Hj Rofiqoh Darto Wahab qariah di Harlah NU 1966 pada 21 April 2017 lalu menyambangi kantor redaksi NU Online di Gedung PBNU Lantai 5 Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat. Ia terkenal dengan 'Hamawi Ya Mismis' dan 'Ya Asmar Latin Sani' serta puluhan lagu yang terkumpul pada belasan album.   

 

Meski usianya tak muda lagi, ia masih bisa bepergian sendiri, termasuk bersilaturahim dengan pengurus-pengurus NU di Gedung PBNU pada Hari Kartini itu.  

 

Hj Rofiqoh adalah istri dari mendiang Darto Wahab, wartawan NU yang juga pengacara sezaman dengan H Mahbub Djunaidi. Menurut dia, harlah NU pada waktu sangat semarak sekali. Dia menyaksikan warga NU dari berbagai penjuru tanah air memenuhi lapangan itu. Bahkan banyak Nahdliyin yang sengaja menginap di sekitar lapangan sejak dua hari sebelum acara. Menyambut kedatangannya, saya langsung mencium tangannya.  

 

"Kamu kangen saya tidak?" tanyanya. Ternyata ia masih mengingat saya meski pertemuan terakhir dengannya empat tahun lalu di Darus Syifa, Jombang, Jawa Timur. "Kangen, Bu."  "Alhamdulillah, saya senang kalau ada yang kangen," katanya sambil tersenyum. “Saya sekarang tidak Jombang lagi, tapi di Pondok Gede,” lanjutnya. 

 

Kemudian saya mengajak dia untuk mendatangi Personal Computer (PC) saya untuk mendengarkan salah satu lagunya yang lain, saya temukan tahun lalu, 'Balada Nabi Saleh'.  Dia mendengarkan sebentar. "Saya tak punya satu pun koleksi lagu saya," katanya. Kemudian penyanyi yang dijuluki Ummu Kultsumnya Indonesia itu bercakap dengan salah seorang pengurus Lembaga Dakwah PBNU Syaifullah Amin. Tak lama kemudian, kemudian ia berpamitan kepada awak redaksi NU Online.  

 

Rofiqoh lahir 18 April 1945, di Kranji, Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Ayahnya, KH Munawwir adalah pengasuh Pesantren Munawwirul Anam Kabupaten Pekalongan yang memiliki ribuan santri, dan ibunya Hj Munadzorah berasal dari keluarga Pesantren Buntet, Cirebon.  Ia menempuh pendidikannya di Muallimat Wonopringgo Pekalongan, Pesantren Lasem Rembang, dan Pesantren Buntet Cirebon.  Di pesantren terakhir inilah ia banyak belajar dan mengasah kemampuannya membaca Qur’an secara tepat dan indah, yang kelak menjadi modal pentingnya menjadi penyanyi kasidah. 

 

Sejak muda Rofiqoh telah menekuni dan mengikuti lomba tilawatil Qur'an dari tingkat kecamatan hingga provinsi. Pada tahun 1960-an, saat organisasi Islam ditekan oleh pemerintahan Orde Baru, Rofiqoh memperkenalkan genre musik gambus atau kasidah berbahasa Arab kepada masyarakat. Liriknya berisi pujian-pujian kepada Tuhan yang diiringi oleh alat musik. 

 

Tampilannya menggunakan kebaya, kerudung, dan batik ciri khas perempuan Jawa pada masanya. Ia muncul pertama kali di depan publik pada tahun 1964 dan pergi ke Jakarta pada tahun 1965. Pada tahun yang sama ia menikah dengan Dharto Wahab seorang wartawan yang beralih profesi menjadi pengacara.

 

Ia pernah tampil di Istana Negara membawakan kasidah 'Habibi Ya Rasulullah' dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad, sebelum meletusnya pergerakan G30S/PKI. Perjalanan kariernya beberapa kali mengalami ketidakstabilan. Karyanya pernah diklaim oleh kelompok Manikebu (seniman dan sastrawan sayap kanan) dalam sengketa melawan Lekra (seniman dan sastrawan sayap kiri) karena pada masa ini Islam dianggap sesuatu yang bertentangan dengan PKI.

 

Ia sering melantunkan syair Arab dengan musik gambus dan lebih dari 100 keping album rekaman telah diproduksi. Menurut Moeflich Hasbullah dalam Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara, bersama Al-Fatah, Rofiqoh banyak menelurkan labum, seperti Libarokallah, Hamawi Ya Mismis, Baladi, Habib Qalbi, Semoga di Surga, dan Lagu-lagu Gambus. Enam album itu terdiri dari 30 lagu kasidah gambus berbahasa Arab dan Indonesia. Namanya tetap melambung hingga tahun 90-an. Ia pernah menjadi pemimpin pengajian yang diselenggarakan oleh Ittihatul Ummahat (Persatuan Ibu-Ibu) di Kota Legenda, Bekasi Timur dan menjadi salah satu pengelola kelompok pengajian Rofiqoh, Munawwir, dan Munadzorah (Romuna), serta Yayasan Gadi Fi Muna sebagai naungan bagi majelis taklim, taman kanak-kanak, dan kegiatan Islami lainnya. 

 

Hj Rofiqoh Darto Wahab penyanyi gambus legendaris asak Kabupaten Pekalongan (Foto: Istimewa)

 

Penyanyi Kasidah Modern Generasi Pertama

 

Musik kasidah memang sudah banyak yang mengenali apalagi di zaman sekarang musik kasidah dipadukan dengan aliran musik modern. Karir Rofiqoh sebagai penyaanyi kasidah dimulai sejak ia menduduki bangku kanak-kanak ia juga dikenal sebagai qoriah (Pembaca Al-Quran).

 

Rofiqoh pernah menjuari perlombaan MTQ tingkat Provinsi di Yogyakarta lalu beberapa tahun kemudian dia menjuarai di tingkat Jawa Tengah, tepatnya di Kota Semarang. Rofiqoh muncul pertama kali dalam acara keagamaan di Pekalongan. Pada tahun 1965, Rofiqoh berpindah di Jakarta dan menemukan pasangan hidupnya yaitu seorang wartawan yang bernama, Darto Wahab.

 

Lalu ia dilirik oleh Rustam dari RRI lalu membawanya ke dapur rekaman piringan hitam dan mengisi acara program kasidah di RRI dan tanpa iringan musik. Pada tahun 1970 lahirlah kasidah modern Rofiqoh menjalani rekaman bersama Orkes Bintang-Bintang Ilahi pimpinan Agus Sunaryo dan juga laris di pasaran di bawah pimpinan Agus Sunaryo.

 

Lagu-lagu yang dibawakannya terjual ribuan hingga ratusan ribu kopi. Hitsnya seperti ‘Hamawi Yaa Mismis’ atau ‘Ya Asmar Latin Tsani’ telah menjadi lagu klasik dalam genre kasidah yang terus direkam dan diperdengarkan hingga sekarang ini, lebih-lebih dalam versi daur ulangnya. Kesuksesannya masuk dapur rekaman dan sambutan penggemar yang luas saat itu juga menjadi pembuka jalan bagi kehadiran berbagai jenis kasidah. kasidah pop, kasidah dangdut, kasidah modern, dan lain-lain pada masa-masa berikutnya.  

 

Tahun 1966 didukung oleh grup musik Al-Fata (Pemuda) pimpinan A Rahmat, ia masuk dapur rekaman dan piringan hitamnya beredar ke penjuru Indonesia. Lagu-lagunya seperti Hamawi Yaa Mismis, Ya Asmar latin Sani, Ala ashfuri, dan Ya Nabi salam alaik kemudian dengan cepat menjadi populer. Apalagi lagu-lagu itu berulang-ulang disiarkan di RRI dan ia pun beberapa kali tampil di TVRI.  Tahun 1971, rekamannya telah muncul dalam bentuk kaset yang makin memudahkan orang untuk memperolehnya. Rofiqoh mencuat sebagai bintang dan menjadi semacam ‘Ummi Kultsum'-nya Indonesia saat itu.  

 

Dalam dua dekade awal karirnya, hampir setiap dua bulan ia mengeluarkan album rekaman terbarunya, baik berupa pembacaan Qur’an maupun lagu-lagu kasidah dan gambus. Tak ada catatan pasti berapa album yang telah ia telurkan hingga kini. Yang jelas, sampai tahun 1990-an ia masih mengeluarkan album baru, meski sebagian besar daur ulang lagu-lagu lamanya yang sukses.  

 

Ada tiga hal yang penting dicatat dengan kemunculan Rofiqoh saat itu. Pertama, ia menembus dominasi musik padang pasir yang sejak tahun 1930-an dikuasai oleh irama musik gaya Hadramaut dan dilakoni juga oleh para pemusik dan penyanyi keturunan Hadramaut seperti Syekh Albar (ayah penyanyi Ahmad Albar). Kedua, Rofiqoh menggugat persepsi kebanyakan kalangan kiai yang masih menganggap musik sebagai suatu yang haram, atau makruh, atau setidaknya lagi mubah saat itu. Ketiga-tiganya, langsung maupun tidak langsung, telah membuat perkembangan seni musik, termasuk yang dikonstruksi ‘islami’ sekalipun, menjadi demikian terbatas di kalangan masyarakat Islam. Kehadiran Rofiqoh pun awalnya sempat dipertanyakan, tetapi atas dukungan beberapa kiai dan tokoh berpengaruh, ia pun bisa melenggang. Ketiga, Rofiqoh menggoyang dan mengimbangi atmosfer kebudayaan saat itu yang didominasi kalangan Lekra dengan berbagai seni pertunjukan rakyatnya. Panggung-panggung pertunjukan di mana-mana saat itu lebih banyak diisi dan dibentuk oleh seniman-seniman yang berafiliasi atau setidaknya dekat dengan Lekra. 

 

Kemunculan Rofiqoh menjadi semacam interupsi atas kecenderungan itu. Tak heran kalau kemunculannya saat itu kerap diusung oleh Lesbumi (Lembaga Seni Budayawan Muslimin Indonesia) di bawah Partai NU. Lagu-lagunya sendiri menjadi semacam lagu wajib di dalam pertemuan-pertemuan atau pun rapat-rapat akbar yang digelar Partai NU. 

 

Di masa tuanya kini, Rofiqoh mengelola dan memimpin kelompok pengajian Ittihadul Ummahat (Persatuan Ibu-ibu) di kawasan kota legenda di Bekasi Timur, mengelola kelompok pengajian Romuna (akronim dari Rofiqoh, Munawwir, dan Munadzorah), dan Yayasan Gadi Fi Muna yang membawahi majlis taklim, taman kanak-kanan dan sejumlah kegiatan sosial. Dia menjadi muballighah dan aktivis sosial, satu persambungan saja dari kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan yang dijalani sebelumnya, baik sebagai qori’ah maupun penyanyi qasidah.   

 

Sumber: NU Online
Editor: M Ngisom Al-Barony


Sosok Terbaru