• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 2 Mei 2024

Regional

HARI SANTRI 2020

Gus Ubaid: Santri Harus Memperbanyak 'Ngopi' dan 'Dolan'

Gus Ubaid: Santri Harus Memperbanyak 'Ngopi' dan 'Dolan'
Gus Ubaid dan Gus Syukri Pemateri Diskusi Agama Kemanusiaan. (Foto: NU Online Jateng/Ahmad Faiz Rofii)
Gus Ubaid dan Gus Syukri Pemateri Diskusi Agama Kemanusiaan. (Foto: NU Online Jateng/Ahmad Faiz Rofii)

Semarang, NU Online Jateng

KH Ubaidullah Shodaqoh (Gus Ubaid), Rais PWNU Jawa Tengah, berpesan kepada para santri agar memperbanyak 'ngopi' dan 'dolan'. Menurutnya, ngopi bukan hanya duduk manis lalu pergi. Ngopi berarti kita berdialektika, membahas, mengkaji, saling sharing, kemudian ambil sisi positifnya. Kemudian kata dolan (berpergian) berarti kita harus selalu mencari sesuatu yang belum diketahui, termasuk dalam mencari ilmu pengetahuan Islam.

 

Hal itu disampaikan dalam acara Diskusi 'Agama Kemanusiaan' yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa dan Santri Buntet (Formasi) Cirebon-Semarang Jawa Barat, Jumat (23/10) di Rumah Pergerakan, Meteseh, Tembalang, Semarang, Jumat (23/10) lalu. Kegiatan itu untuk memperingati Hari Santri dan hari lahir forum alumni tersebut.

 

Dia mengatakan, agama Islam mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Islam juga tidak lepas dari nilai-nilai kemanusiaan. Ketika saat ini kita melihat perbedaan pandangan di kalangan tertentu, sebenarnya para ulama terdahulu pun demikian, sebab ini soal penafsiran.

 

"Dan penafsiran itu memang banyak, kita tinggal pilih saja qoul mana yang pas. Jika itu menyimpang tentu harus diluruskan. Namun yang harus dicatat adalah perbedaan itu bukan berarti perpecahan akan tetapi ini sebuah keniscayaan yang harus dilihat dari hakikat kemanusiaan itu sendiri. Tentu saling menghargai, menasihati, dan lain sebagainya," ungkapnya.

 

"Bukan malah menyampingkan nilai-nilai kemanusiaan yang akhirnya memicu konflik. Ini yang harus kita perhatikan. Sebab kemanusiaan itu intinya adalah cinta. Seseorang beragama harus dengan cinta dan tentu cinta tidak lepas dengan kemanusiaan," sambungnya.

 

Memberi Manfaat

Acara dibuka dengan pembacaan Tahlil dan Maulid Simtudduror oleh Grup Rebana Nurul Musthofa dan dilanjutkan sambutan dari Pembina Formasi KH Iman Fadilah. Fadlilah berharap acara ini dapat memberikan manfaat dan keberkahan tersendiri.

 

 "Jangan lupa meskipun kita hari ini predikatnya sebagai alumni pesantren sekaligus mahasiswa, tentu harus selalu maju dalam beraktivitas. Kembangkan potensi yang dimiliki dan jangan lupa selalu mendoakan para guru-guru kita terdahulu, itu kuncinya," jelasnya.

 

Diskusi yang dihadiri puluhan mahasiswa-alumni pesantren berlangsung cukup hangat. Diskusi ini menjadi ajang refleksi sejak maraknya isu Agama-Kemanusian yang sering kali berbeda pandangan dan gemar menyuarakan kebencian hingga menimbulkan perpecahan di kalangan umat, khususnya umat Islam.

 

"Atas dasar inilah Formasi sebagai organisasi berbasis pesantren yang bergerak di bidang sosial-keagamaan berupaya membentengi diri dengan menghadirkan para pembicara yang memang berkompeten dalam bidangnya. Semoga diskusi ini dapat menentukan sikap yang baik dan benar khususnya bagi para alumni pesantren dan para mahasiswa dalam melihat berbagai problematika di lingkungan sekitar," kata Ketua Formasi, Khoirul Anam, kepada NU Online Jateng, Senin (26/10).

 

Sementara itu Gus M Abdullah Syukri, Pengasuh Pesantren Buntet, bercerita tentang kisah Mbah Muqoyyim (Pendiri Pondok Buntet Pesantren Cirebon) yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan semasa hidupnya.

 

Dijelaskan, ia adalah Mufti Keraton Cirebon yang pada akhirnya keluar dan mengambil sikap untuk menentang Belanda. Keluarnya Mbah Muqoyyim itu bukan tanpa sebab. Ia keluar dengan alasan tidak setuju dengan perjanjian perdagangan yang ditawararkan VOC. Menurutnya perjanjian ini akan merugikan hingga menindas rakyat. Atas dasar itulah Mbah Muqoyyim keluar dari jabatan mufti, lalu membela wong cilik serta mendirikan pesantren pertama di Cirebon.

 

"Pembelaan terhadap wong cilik bukan hanya dilakukan oleh Mbah Muqoyyim. Sikap dan kedidgdayaanya diteruskan oleh para generasinya sampai ke Kiai Abbas dalam pertempuran Surabaya 1945," tegasnya.

 

Lebih lanjut ia mengatakan, perlu diketahui bahwa ketika kasus di Papua Tolikara tahun 2015 meledak, di sana konflik agama sangat kental. Terjadi pembakaran masjid, gereja, dan lainnya. Dalam hal ini Buntet Pesantren itu dulu menjadi tempat perkumpulan perwakilan dari segala penjuru. Para menteri, pejabat, dan tidak terkecuali para kiai-ulama membahas konfilk tersebut.

 

Kontributor: Ahmad Faiz Rofi'i

Editor: Hasan Fauzy

 

 


Regional Terbaru