Pesantren

Haul Ke-18 KH Masyhudi Asy’ari, Mengenang Sang Pendiri Pesantren Nurul Hidayah Pedurungan Semarang

Ahad, 11 Mei 2025 | 14:23 WIB

Haul Ke-18 KH Masyhudi Asy’ari, Mengenang Sang Pendiri Pesantren Nurul Hidayah Pedurungan Semarang

haul ke-18 KH Masyhudi Asy’ari di Ponpes Nurul Hidayah, Semarang. Ahad (11/5/2025)

Semarang, NU Online Jateng 

Ratusan jamaah memadati halaman Pondok Pesantren Nurul Hidayah, Pedurungan Lor, Kota Semarang, pada Ahad, (11/5/2025). Mereka hadir dalam rangkaian acara khataman Al-Qur’an dan haul ke-18 almaghfurlah KH Masyhudi Asy’ari, pendiri pesantren tersebut. 

 

 

KH Abdurrahim, Ketua Jamiyyatul Muballighin (JAMU) Kota Semarang, hadir menyampaikan mauidzah hasanah. Dalam tausiyahnya, dirinya mengajak hadirin untuk meneladani semangat perjuangan dan dedikasi Kiai Masyhudi dalam dakwah Islam dan pendidikan santri.

 

 

KH Masyhudi Asy’ari lahir di Demak. Sejak muda, ia sudah menunjukkan semangat menuntut ilmu. Menghabiskan tiga tahun mondok di Pesantren Pilang, lalu melanjutkan pendidikannya selama sembilan tahun di Pesantren Bandungsari, Ngaringan, Grobogan.

 

Tahun 1972, Kiai Masyhudi menikah dengan Nyai Hj Aminah, putri KH Zaeni bin KH Abu Naim, tokoh sepuh dari Penggaron Pedurungan. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai dua anak yakni, Hj Nur Aini dan KH In’amuzzahidin.

 

Awal kiprah dakwah KH Masyhudi Asy'ari dimulai dari masjid Baitun Naim di samping rumahnya. Dirinya rutin mengisi pengajian dengan diikuti 17 pemuda sekitar. Kegiatan ini kemudian diketahui oleh KH Muslih, Pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah. Melihat potensi dakwah yang besar, KH Muslih menyarankan agar Kiai Masyhudi mendirikan pesantren. Maka pada tahun 1980 berdirilah Pondok Pesantren Nurul Hidayah, dengan nama pemberian KH Muslih.

 

Sejak saat itu, pesantren terus berkembang pesat. Ratusan santri putra dan putri menimba ilmu di sana. KH Masyhudi Asy'ari wafat pada 9 Dzulqa’dah 1428 H atau bertepatan dengan 19 Desember 2007 M.

 

Kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan oleh putranya, KH In’amuzzahidin atau yang akrab disapa Gus In’am, bersama kakaknya. Gus In’am meneruskan perjuangan sang ayah dengan menghidupkan tradisi ngaji kitab kuning di pesantren. Gus In'am dikenal sebagai kiai muda yang mendalam ilmunya dan fasih dalam membaca berbagai kitab klasik.

 

Sejak tahun 2011, Gus In’am menginisiasi majlis pengajian setiap Selasa sore yang khusus membahas karya-karya KH Sholeh Darat, seperti Majmu’at al-Syariah al-Kafiyah lil Awam, Fasholatan, Lathaif at-Thaharah, hingga Manasik al-Hajj wal Umrah. Majelis ini terbuka untuk santri, mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum. Selain itu, pada Senin malam digelar pengajian kitab Taj al-‘Arus yang kini telah khatam dan akan dilanjutkan dengan kitab al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari.

 

Tak hanya itu, Gus In’am juga mengadakan mujahadah dan pembacaan Maulid Nabi setiap malam Selasa Kliwon, sebagai bentuk cinta kepada Rasulullah dan upaya memelihara tradisi spiritual pesantren.

 

“Majelis-majelis ini kami gelar agar syiar ilmu agama terus hidup, menjadi wasilah mendekatkan diri kepada Allah dan menguatkan jalinan keilmuan serta spiritualitas di tengah masyarakat,” tutur Gus In’am.

 

Haul ini bukan sekadar mengenang sosok KH Masyhudi Asy’ari, tetapi juga momentum merefleksikan warisan dakwah dan pendidikan yang terus hidup melalui para santri dan generasi penerusnya.

 

Kontributor: Arina