Efisiensi ala Presiden Prabowo dan Efisiensi ala Nabi Yusuf
Sabtu, 22 Februari 2025 | 14:00 WIB
Mufid Rahmat
Kolomnis
Oleh: Mufid Rahmat
“Sungguh, pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya terdapat ayat (tanda kekuasaan Allah) bagi orang yang bertanya.” (QS Yusuf: 7)
Jagat Nusantara saat ini sedang ramai dengan narasi efisiensi yang digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Keriuhan ini semakin membahana ketika ada pihak yang turut memberikan respons dengan berbagai ekspresi demokrasi di Bumi Pertiwi.
Dalam beberapa hari terakhir, narasi efisiensi menjadi perbincangan hangat, dari perdesaan hingga perguruan tinggi. Dampaknya pun luar biasa, mulai dari isu pemutusan hubungan kerja (PHK), program yang dipersepsikan bakal mangkrak, hingga dana ratusan triliun yang dihimpun.
Melihat gebrakan Presiden Prabowo Subianto dalam hal efisiensi, saya teringat pada kisah nyata efisiensi yang dilakukan Nabi Yusuf pada zamannya. Saya tidak bermaksud membandingkan keduanya secara apple to apple, melainkan sekadar melihat dimensi manajemen dan investasi yang diterapkan.
Lantas, seperti apa efisiensi ala Presiden Prabowo Subianto dan seperti apa efisiensi ala Nabi Yusuf? Apakah ada korelasinya? Dan bagaimana probabilitas keberhasilannya?
Berawal dari Mimpi
Nabi Yusuf AS adalah seorang nabi Allah yang memiliki ilmu dan hikmah berbasis wahyu. Ia juga merupakan sebuah teks yang dapat diinterpretasikan dalam banyak konteks. Al-Qur’an, sebagai kalamullah yang diterima Nabi Muhammad SAW, mengisahkan kehidupan Nabi Yusuf AS secara utuh dan detail serta tetap relevan dengan peradaban modern. Umat Nabi Muhammad dapat mengambil i’tibar dari kisah tersebut dalam berbagai aspek kehidupan.
Keahliannya dalam menafsirkan mimpi diasah selama ia berada di dalam penjara akibat siasat perempuan cantik bernama Zulaikha. Kemampuan ini menjadi kunci pembebasannya dari penjara. Bermula dari keberhasilannya menakwilkan mimpi dua orang temannya di penjara, ia kemudian diminta untuk menafsirkan mimpi Raja Mesir, Al-Rayyan bin Walid.
Raja mengalami kegelisahan setelah bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus serta tujuh batang gandum hijau dan tujuh batang gandum kering (QS Yusuf: 43). Mimpi ini dirasa serius oleh sang raja, sementara para penasihat kerajaan dan kaum intelektual menganggapnya sekadar bunga tidur (adhghâts ahlâm).
Nabi Yusuf berkata, “Hendaklah kalian menanam selama tujuh tahun sebagaimana biasanya, lalu apa yang kalian panen biarkan tetap dalam batangnya, kecuali sedikit untuk dimakan. Setelah itu akan datang tujuh tahun paceklik yang sangat menyulitkan dan akan menghabiskan apa yang kalian simpan, kecuali sedikit untuk dijadikan bibit. Setelah itu akan datang tahun di mana hujan turun dan manusia mendapat pertolongan serta dapat memeras anggur.” (QS Yusuf: 47-49).
Dalam tafsir maqashidi, apa yang disampaikan Nabi Yusuf dapat diaktualisasikan dalam kehidupan modern. Saat rezeki melimpah atau mengalami surplus, seyogianya ada kesadaran untuk menabung atau berinvestasi demi menjaga ketahanan di masa mendatang. Sebaliknya, jika saat mengalami surplus justru bersikap boros dan konsumtif, maka itu adalah tindakan yang tidak bijak.
Begitu pula ketika terjadi defisit keuangan, tanpa diiringi kesadaran untuk melakukan penyesuaian (adjustment) pengeluaran, maka akan berpotensi menyebabkan krisis ekonomi. Dalam konteks negara, inflasi yang tidak terkendali serta defisit neraca keuangan dapat memicu kerawanan sosial, bahkan critical mass.
Nabi Yusuf memiliki kompetensi manajemen yang sangat baik. Saat rezeki melimpah (yabsuth ar-rizq), ia menerapkan strategi menabung dan investasi sebagai solusi. Sebaliknya, boros (isrâf wa tabdzîr) adalah tindakan yang tidak cerdas. Substansi dari takwil Nabi Yusuf dalam konteks modern adalah manajemen aset negara, membangun cadangan devisa, serta diversifikasi investasi.
Menariknya, Nabi Yusuf sendiri yang mengeksekusi takwil mimpi raja tersebut. Ia kemudian diangkat menjadi bendahara kerajaan yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan dan investasi.
Prediksi Nabi Yusuf pun terbukti benar. Musim paceklik berkepanjangan melanda, tetapi berkat manajemen yang ketat dan terkontrol, Mesir tetap memiliki ketahanan ekonomi yang kuat. Bahkan, mereka mampu menjaga stabilitas pangan dan keuangan serta memberikan bantuan kepada negara lain, termasuk Syam, tempat tinggal keluarga Nabi Ya’qub AS.
Bermula dari Makan Gratis
Jika kebijakan efisiensi Nabi Yusuf bermula dari mimpi raja, maka efisiensi yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto dapat dikatakan bermula dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan lembaga investasi Danantara. Program ini diproyeksikan memiliki kontribusi strategis dan konstruktif dalam mensejahterakan rakyat.
Pada tahun pertama pemerintahannya, Presiden Prabowo menargetkan efisiensi sebesar 44 miliar dolar AS atau sekitar Rp750 triliun. Dana tersebut dihimpun melalui tiga mekanisme:
1. Penghematan dari pos Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) sebesar Rp300 triliun.
2. Pemangkasan anggaran di seluruh kementerian dan lembaga (K/L) sesuai dengan Inpres Nomor 1 Tahun 2025. Penyisiran anggaran dilakukan hingga pada satuan belanja rinci.
3. Tambahan penerimaan yang disasar dari dividen BUMN, dengan target Rp300 triliun.
Presiden Prabowo menyatakan bahwa dana hasil efisiensi ini akan digunakan untuk membiayai 20 program strategis pemerintah yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Di antaranya investasi dalam industri hilir nikel, bauksit, tembaga, dan mineral penting lainnya yang akan menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Program MBG dan badan pengelola investasi Danantara juga mendapatkan porsi khusus, meskipun program serupa pernah ada sebelumnya.
Saya tidak tahu apakah kebijakan efisiensi Presiden Prabowo terinspirasi dari efisiensi ala Nabi Yusuf atau merupakan gagasannya sendiri. Namun yang jelas, efisiensi Nabi Yusuf telah terbukti sukses dan produktif, sedangkan efisiensi Presiden Prabowo masih berada dalam ranah probabilitas.
Terlepas dari itu, dalam pandangan subjektif saya, efisiensi yang dilakukan Presiden Prabowo merupakan elaborasi dari efisiensi ala Nabi Yusuf dalam konteks manajemen modern. Tidak ada salahnya jika Presiden Prabowo mengadopsi dan mengelaborasi lebih jauh prinsip-prinsip efisiensi ala Nabi Yusuf.
Hingga saat ini, masih banyak pemberian gaji, tunjangan, uang kehormatan, honor kegiatan, serta fasilitas mewah yang diterima pejabat negara, baik di pemerintahan pusat maupun daerah. Tradisi pengadaan mobil baru untuk pejabat baru, renovasi ruang kantor, hingga pembelian perabot baru masih menyerap anggaran dalam jumlah besar.
Selain itu, menjelang tutup tahun anggaran, sering kali terjadi tradisi menghabiskan anggaran APBN/APBD dengan berbagai kegiatan yang kurang produktif dan realistis. Banyak program seremonial non-esensial digelar di hotel berbintang dengan anggaran besar.
Presiden Prabowo perlu menyoroti permasalahan tersebut. Jika tertangani dengan baik, dapat dihimpun dana puluhan triliun rupiah. Tentunya, jika hal ini terwujud, Nabi Yusuf akan tersenyum melihat keseriusan Presiden Prabowo dalam menerapkan efisiensi.
Terpopuler
1
Novian Adijaya Terpilih Aklamasi sebagai Ketua PR GP Ansor Jatilaba Tegal
2
Lewat KOIN NU, PRNU Desa Cerih Jatinegara Tegal Bantu Syariah Santri Madin dan TPQ
3
PR Sukun Kudus Santuni 700 Yatim di Pati, Sinergi Kebaikan di Bulan Ramadhan
4
Masjid di Jalur Mudik Diminta Buka 24 Jam, Dukung Pemudik dan Program Khataman Al-Qur’an Nasional
5
Tarhim Ansor di Tegal: Menebar Dakwah, Meneguhkan Bakti kepada Orang Tua
6
PMII Komisariat Gusdur Demak Resmi Dilantik, Siap Bergerak Lebih Progresif
Terkini
Lihat Semua