• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Selasa, 23 April 2024

Nasional

PORSENI NU

Pesantren Al-Muayyad Solo Jadi Asrama Kontingen Porseni NU

Pesantren Al-Muayyad Solo Jadi Asrama Kontingen Porseni NU
Komplek Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Solo (Foto: Istimewa)
Komplek Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Solo (Foto: Istimewa)

Solo, NU Online Jateng
Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Nahdlatul Ulama (NU) yang akan berlangsung di Soloraya tanggal 15-21 Januari 2023 yang diikuti oleh kontingen perwakilan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) se-Indonesia memerlukan tempat menginap selama acara berlangsung.


Selain Asrama Haji Donohudan (AHD) Boyolali, panitia telah menunjuk Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Universitas Islam negeri (UIN) Raden Mas Said untuk menjadi tempat menginap.


Pesantren Al-Muayyad adalah salah satu pondok Al-Qur'an tertua di Solo yang dirintis tahun 1930 olen KH Abdul Mannan bersama KH Ahmad Shofawi dan Prof KH Moh Adnan. Pesantren di kawasan Pasar Kliwon itu ditata sistemnya ke arah sistem madrasah tahun 1937 oleh KH Ahmad Umar Abdul Mannan. Pembelajaran Al-Qur'an itu kemudian sistem madrasah dilengkapi dengan Madrasah Diniyah (1939), MTs dan SMP (1970), MA (1974), dan SMA (1992) dalam lingkungan pesantren.


Pesantren ini berlokasi di Surakarta yang merupakan sentra perdagangan batik dan produk tekstil lainnya, pendidikan, budaya Jawa, tempat kelahiran tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi pergerakan nasional. Secara geografis merupakan kawasan perlintasan antarkota penting di Jawa. Sejarah modernnya dimulai sejak perpindahan Kraton Kartasura ke desa Sala yang kemudian menjadi Surakarta pada tahun 1745.


Sebagai Pesantren Al-Qur'an tertua di Surakarta, Al­Muayyad terpanggil untuk menguatkan dan mengembangkan diri berangkat dalam kearifan masa silam untuk menjangkau kejayaan masa depan dengan konsep tarbiyah yang utuh. Mempertimbangkan pengalaman Surakarta yang direkam Al-Muayyad sejak masa rintisannya, maka Al­Muayyad memandang bahwa pendidikan bagi generasi muda muslim haruslah memenuhi 4 (empat) kriteria kecakapan:

  1. Kecakapan Al-Qur'an sebagai dasar utama ajaran agama Islam.
  2. Kecakapan keilmuan baik ilmu-ilmu yang langsung untuk mendalami ajaran agama dari kitab-kitab kuning beserta ilmu penunjangnya maupun untuk mencerdaskan kehidupan (sains).
  3. Kecakapan humaniora yang memampukan santri untuk hidup secara arif melalui bahasa, sastra, tarikh, dan kebudayaan.
  4. Kecakapan transformatif yang menguatkan bakat para santri untuk kreatif mengalihgunakan ilmu ke dalam praktek kehidupan sehari-hari yang bermartabat.


Semula merupakan pesantren dengan corak tasawuf, pesantren dengan kegiatan utama latihan pengamalan syari’at Islam dan belum melakukan pendalaman ilmu-ilmu agama secara teratur. Titik beratnya melatih para santri dengan perilaku keagamaan, pengajian yang diselenggarakan berkisar pada akhlak.


Cita-cita untuk menyebarluaskan agama Islam sudah tertanam sejak Simbah KH Abdul Mannan masih nyantri pada Kiai Amad di Kadirejo, Karanganom, Klaten bersama KH Ahmad Shofawi.


Nama kecil Simbah KH Abdul Mannan adalah Tarlim, sebagaimana diberikan oleh ayahandanya Kiai Chasan Hadi seorang Demang di Glesungrejo, Baturetno, Wonogiri. Setelah diterima nyantri di Kadirejo diganti oleh Kiai Ahmad menjadi Buchori. Dan usai menunaikan ibadah haji tahun 1926 menjadi Abdul Mannan.


Tarlim kecil 8 tahun, berangkat ke pondok berjalan kaki dari kediaman orang tuanya, menempuh jarak tak kurang dari 108 km di Kadirejo, Karanganom, Klaten. Setibanya di pondok dihadang oleh Kiai Ahmad di gerbang dan langsung ditempatkan di bekas kandang ayam. Lewat tiga hari baru dipanggil Kiai untuk diminta kejelasan maksud kedatangannya. Karena untuk nyantri, sang Kiai memberikan syarat agar Tarlim, yang baru delapan tahun ini, membangun sumur, bak mandi, dan kamar mandi sendirian tanpa bantuan seorangpun. Tugas mulia tetapi sangat berat itu diselesaikannya dalam waktu 18 bulan. Setelah semua selesai, baru diizinkan mengikuti pengajian Kiai Ahmad.


Selama nyantri, Tarlim yang menjadi Buchori selalu mengisi bak mandi kiai yang dibangunnya sendiri. Tiap dini hari sebelum subuh, bak mandi diisi penuh, perlahan-lahan, tanpa suara, tanpa sepengetahuan orang lain. Bak yang sudah penuh tetap diisi sampai airnya menyebar sebagaimana air yang tumpah dari bak, memberikan manfaat yang menyejukkan kepada sesama.


Di pondok itulah tumbuh persahabatan antara Tarlim dengan Ahmad Shofawi, santri putra hartawan shaleh. Keduanya memiliki cita-cita tinggi. Dan keduanya juga dikenal wirai (cermat dan hati-hati menjalankan syariat), suka riyadlah (prihatin demi cita-cita luhur) serta taat kepada guru dan kiai.


Buchori remaja bercita-cita menjadi hafidh Qur’an dan menyebarluaskan ilmu agama Islam ke masyarakat. Idaman menjadi penghafal Al-Qur'an tidak bisa terwujud. Hal ini disyaratkan oleh Kiai Ahmad saat menenangkan Buchori yang menangis mengikuti semaan Al-Qur'an yang menampilkan remaja hafidh Qur’an berusia 11 tahun. Isyarat Kiai Ahmad, kelak anak keturunannyalah yang mampu mewujudkan cita-cita itu. Dan benar, tiga putra dan tiga putrinya berhasil menjadi hafidh dan hafidhah, lima di antaranya ketika beliau masih hidup. Sementara KH Ahmad Shofawi memiliki tiga cita-cita; yaitu berkediaman di dekat (mangku) masjid, menunaikan ibadah haji dengan kapal berbendera Islam, dan memiliki anak-anak yang mangku (mengasuh) pesantren. 


Ketiga cita-cita itu tercapai. Bahkan Kiai Sofawi mampu membangun Masjid Tegalsari di kampung Tegalsari Kelurahan Bumi, Kecamatan Laweyan, Surakarta tahun 1928 dengan arsitektur dan bahan lain yang amat tinggi nilainya. Arsitek masjid itu adalah KHR Prof Mohamad Adnan yang juga pendiri PTAIN yang kini menjadi UIN. Masjid yang seluruh lantainya marmer itu dibangun dengan modal sisa ongkos naik haji yang diberikan kepadanya kepada tiga ulama dua tahun sebelumnya, yaitu KH Abdul Mannan. Dua tokoh terakhir ini adalah putra menantu KH Ahmad Shofawi.


K.H. Ahmad Shofawi menunaikan ibadah haji dengan kapal yang dicarter oleh Pakistan, dan berbendera Islam. Kaitannya dengan cita-cita yang kedua, akhirnya putra beliau, K.H. Abdul Rozaq Shofawi menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad menggantikan pamandanya (pakde) K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan yang wafat tahun 1980 dibantu oleh kedua adik beliau, K.H. Abdul Mu’id Ahmad dan H. Muhammad Idris Shofawi. Sementara putri bungsu beliau, Nyai H. Siti Maimunah Baidlowi, mendampingi suaminya mengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin di Brabo, Tanggungharjo, Grobogan.


Dalam generasi pertama ini ilmu-ilmu agama yang dikaji masih tingkat dasar dan belum teratur, karena para santrinya masih terbatas pada kerabat dekat dan karyawan Perusahaan Batik “Kurma” milik K.H. Ahmad Shofawi. Pada masa ini para kiai pendukungnya antara lain Kiai Dasuki, Kiai Hanbali, K.H. Ahmad Asy’ari, K.H. Ahmad Shofawi sendiri, dan Damanhuri (seorang pengelana dari Cilacap). Kiai Damanhuri inilah yang memberikan isyarat, saat KH Ahmad Umar Abdul Mannan masih nyantri di pondok-pondok pesantren, bahwa kelak Mangkuyudan akan menjadi pesantren besar. (*)


Penulis: M Ngisom Al-Barony


Nasional Terbaru