Media Sosial dan Kecemasan Finansial: Hikmah Sufi untuk Hidup Lebih Tenang
Kamis, 13 Maret 2025 | 18:00 WIB
Avika Afdiana Khumaedi
Kolomnis
Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga membentuk cara pandang seseorang terhadap kesuksesan dan kebahagiaan.
Sayangnya, arus informasi yang begitu masif sering kali membuat individu terjebak dalam perbandingan sosial yang tidak realistis, memicu kecemasan finansial, dan tekanan psikologis. Banyak orang merasa tertinggal karena tidak mampu memenuhi standar hidup yang ditampilkan di dunia maya, meskipun realitasnya sering kali berbeda.
Dalam menghadapi tantangan ini, tasawuf menawarkan perspektif yang menenangkan, dengan menekankan pentingnya qana'ah (merasa cukup), zuhud (tidak terikat pada dunia), dan tawakal (berserah diri kepada Allah). Dengan memahami ajaran ini, seseorang dapat membebaskan diri dari belenggu ambisi yang berlebihan dan menemukan ketenangan sejati dalam hidup.
Saat ini, banyak individu terdorong untuk membandingkan diri dengan kehidupan yang ditampilkan di media sosial. Fenomena Fear of Missing Out (FoMO) semakin memperparah situasi, menimbulkan ketakutan akan ketertinggalan dari tren atau gaya hidup tertentu. Akibatnya, banyak orang merasa perlu memenuhi standar sosial yang tinggi, bahkan jika harus mengambil risiko seperti berutang atau mengorbankan kebutuhan dasar. Hal ini dapat berujung pada ketidakpuasan, stres, serta tekanan psikologis yang berdampak buruk pada kesejahteraan mental.
Untuk menghadapi tantangan ini, tasawuf menawarkan sudut pandang yang menenangkan. Ajarannya menekankan pentingnya qana'ah (merasa cukup), zuhud (melepaskan ketergantungan pada dunia), dan tawakal (berserah diri kepada Allah) sebagai kunci ketenangan hidup. Tasawuf mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada banyaknya harta, melainkan pada ketenangan hati yang terbebas dari ambisi berlebihan. Di tengah arus materialisme yang begitu kuat, nilai-nilai ini menjadi solusi bagi mereka yang ingin melepaskan diri dari tekanan sosial dan menemukan kedamaian batin.
وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ (سورة الكهف، الآية 28)
Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini”
Ayat ini menegaskan pentingnya bersabar dan tetap teguh bersama orang-orang yang tulus beribadah kepada Allah, tanpa tergoda oleh gemerlap dunia. Dalam Tafsir Al-Wajiz karya Dr. Wahbah az-Zuhaili, dijelaskan bahwa ayat ini adalah bentuk peringatan bagi Nabi dan umat Islam agar tidak silau dengan kekayaan dan kedudukan, melainkan tetap memprioritaskan nilai-nilai ketakwaan dan kebersamaan dengan orang-orang yang hatinya senantiasa mengingat Allah.
Makna ayat ini sangat relevan dengan kehidupan modern, terutama dalam kaitannya dengan media sosial dan kecemasan finansial. Era digital sering kali membuat manusia terjebak dalam perbandingan dengan standar yang dibentuk oleh dunia maya, di mana kesuksesan materi dianggap sebagai ukuran utama kebahagiaan. Banyak orang mengalami tekanan psikologis karena merasa tertinggal dalam pencapaian duniawi, padahal kebahagiaan sejati tidak bergantung pada kemewahan dunia, melainkan pada ketenangan hati yang diperoleh melalui kedekatan dengan Allah.
Perspektif ini mengajarkan bahwa kebahagiaan bukanlah tentang memiliki lebih banyak, tetapi tentang mensyukuri dan merasa cukup dengan apa yang telah Allah berikan. Ayat ini menjadi pengingat agar kita tidak terperdaya oleh ilusi dunia maya, melainkan tetap berpegang teguh pada ketenangan batin yang lahir dari keimanan dan dzikir kepada-Nya.
Dalam kitab Dalīl al-Wā‘iẓ ilā Adillat al-Mawā‘iẓ, disebutkan bahwa salah satu penyakit hati yang dapat merusak ketenangan hidup adalah ketidakpuasan terhadap rezeki yang telah Allah berikan. Ketika seseorang kehilangan sikap qana'ah (merasa cukup), ia akan selalu merasa kurang, meskipun telah memiliki banyak harta.
اقْنَعْ بأيسرِ رِزقٍ أنت نائلُه ... واحذرْ ولا تتعرضْ للإراداتِ
فما صفَا البحرُ إلا وهو منتقصٌ ... ولا تعكَّرَ إلا في الزياداتِ
دليل الواعظ إلى أدلة المواعظ (موضوعات للخطب بأدلتها من القرآن الكريم والسنة الصحيحة). شحاتة محمد صقر. طبعه دَارُ الفُرْقَان للتُرَاث – البحيرة. ج:1، ص: 205.
Artinya: “Puaskanlah dirimu dengan rezeki yang paling sederhana yang kau peroleh,
Berhati-hatilah dan janganlah terlalu berambisi mengejar keinginan-keinginan.”
“Lihatlah, lautan tidak pernah menjadi jernih kecuali ketika airnya berkurang,
Dan ia tidak menjadi keruh kecuali ketika bertambah (meluap).”
Analogi air laut dalam teks tersebut sangat relevan dengan kondisi masyarakat modern, di mana banyak orang terus mengejar harta dan kesuksesan duniawi tanpa pernah merasa cukup. Ketidakpuasan ini semakin diperburuk oleh media sosial, yang membentuk pola pikir bahwa kebahagiaan bergantung pada pencapaian materi dan pengakuan sosial. Melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna di layar ponsel membuat banyak orang merasa bahwa apa yang mereka miliki belum cukup.
Fenomena ini melahirkan kecemasan finansial yang berakar pada perbandingan sosial yang tidak realistis. Padahal, seperti halnya air laut yang justru semakin menambah dahaga, mengejar dunia tanpa batas hanya akan memperbesar rasa haus akan kepuasan yang tak pernah benar-benar terpenuhi.
Maka tasawuf mengajarkan ketenangan sejati justru ditemukan dalam sikap qana'ah (merasa cukup) dengan apa yang telah Allah berikan. Ketika seseorang melepaskan ketergantungan pada validasi eksternal dan mulai mengarahkan hatinya kepada Allah, ia akan menemukan ketenangan yang tidak bisa diberikan oleh dunia. Oleh karena itu, kebahagiaan bukanlah tentang memiliki lebih banyak, tetapi tentang membebaskan diri dari belenggu ambisi yang tak berujung. Di tengah era media sosial yang penuh tekanan ini, kunci untuk hidup lebih tenang adalah dengan menata hati, menjaga dzikir, dan bersyukur atas nikmat yang ada, tanpa terjebak dalam ilusi dunia yang tak pernah berujung.
Terpopuler
1
Masjid di Jalur Mudik Diminta Buka 24 Jam, Dukung Pemudik dan Program Khataman Al-Qur’an Nasional
2
Baju Lebaran: Anjuran atau Hanya Tradisi?
3
LFNU Kabupaten Tegal Bersama Santri Verifikasi 19 Titik Arah Kiblat
4
Gus Nasrul: Banyak Penceramah Agama yang Justru Wajib Diceramahi
5
Pemprov Jateng Gandeng 44 Perguruan Tinggi Percepat Capaian Program Pembangunan
6
Pesan Gus Adib Lirboyo untuk Santri Safari Ramadan: Utamakan Akhlakul Karimah
Terkini
Lihat Semua