• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Rabu, 15 Mei 2024

Keislaman

Ketika Kiai Umar tidak Berkenan Duduk di Kursi Kiai

Ketika Kiai Umar tidak Berkenan Duduk di Kursi Kiai
KH Umar Abdul Mannan mencium tangan KH Ali Ma'sum. (Kisah lengkap foto ini: Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/91523/sikap-tawadhu-mbah-kiai-umar-abdul-mannan)
KH Umar Abdul Mannan mencium tangan KH Ali Ma'sum. (Kisah lengkap foto ini: Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/91523/sikap-tawadhu-mbah-kiai-umar-abdul-mannan)

Kiai Umar bin Abdul Manan merupakan kiai yang mempunyai sifat tawadhu’ luar biasa. Ia tidak banyak berbicara dalam menyampaikan dakwahnya. Namun Kiai Umar lebih banyak memberikan contoh sikap keluhuran akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

 

Suatu ketika Kiai Umar diundang dalam acara Haflah Khatmil Qur'an dan Haul di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Pesantren Krapyak merupakan almamater di mana Kiai Umar dibesarkan dan dididik oleh Kiai Muhammad Munawir, seorang guru besar al-Qur’an yang telah menelorkan puluhan ribu santri al-Qur’an se-Nusantara.

 

Di samping alumni yang sudah menjadi kiai besar, Kiai Umar merupakan teman dekat pengasuh Pesantren Krapyak, yakni Kiai Ali Maksum yang pernah menjadi Rais Aam 1981-1984. Atas kedekatan seperti ini, sangat wajar apabila Kiai Umar diundang dalam acara penting di Krapyak.

 

Saat mendatangi lokasi acara, karena satu dua hal, Kiai Umar datang agak terlambat. Setelah datang di tempat pengajian, ia melihat di atas meja terdapat tulisan ‘khusus kiai’ sebagai pertanda bahwa lokasi tersebut tidak boleh diduduki sembarang orang. Menurut pandangan Kiai Umar, ia sendiri bukan seorang ‘kiai’ yang dimaksud pada tulisan yang telah disediakan panitia. Ia pun akhirnya memilih duduk sedikit menjauh ke arah belakang.

 

Mendapati Kiai Umar yang duduk di belakang, seorang panitia mendatangi Kiai Umar sambil mempersilahkan menduduki kursi ‘kiai’ di depan. Dengan berbagai upaya, panitia gagal meminta Kiai Umar maju ke depan.

 

Tidak kekurangan ide, salah seorang panitia melapor kepada tuan rumah, Kiai Ali Maksum. Tidak kalah pintar dengan Kiai Umar yang mengelak maju ke depan, Kiai Ali yang biasa ‘gojlok-gojlokan’ dengan Kiai Umar ini langsung mengambil mic di tengah-tengah acara berlangsung.

 

Kiai Ali dengan lantang mengumumkan ‘Kiai Umar, Solo menawi ngaku sederek, katuran pinarak teng ngajeng’ (Kiai Umar, Solo jika mengaku saudara, mohon duduk ke depan).

 

Karena sudah diumumkan di depan para hadirin, Kiai Umar secara terpaksa menduduki ‘kursi kiai’ yang tersedia.

 

Kisah ini terjadi ketika Kiai Umar sudah masyhur sebagai kiai Pengasuh Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta sekaligus sudah masyhur menjadi kiai besar di tengah masyarakat, namun Kiai Umar memberikan teladan betapa Kiai Umar menjalankan petuah tawadhu’ yang sudah diketahui teorinya oleh siapa saja.

 

Cerita ini mirip dengan kisah Kiai Ahmad Muhammad, Pengasuh Pesantren Asrama Pendidikan Islam (API), Tegalrejo, Magelang. Konon, Kiai Muh tidak berkenan mendatangi undangan acara jika dalam surat undangan tertera tulisan ‘kepada K. Ahmad Muhammad’.  

 

Menurut Mbah Muh, ‘Ahmad Muhammad’ dengan ditambahi gelar ‘K’ yang berarti kiai pada surat undangan yang ia terima itu salah alamat. Karena ia merasa tidak kiai, sedangkan undangan yang dimaksud adalah ‘Ahmad Muhammad’ yang ‘kiai’. Berarti surat undangan tersebut salah alamat. Wallahu a’lam.

 

Cerita tentang Kiai Umar di atas diriwayatkan dari KH Agus Himawan. Kiai Agus berasal dari KH Abdul Muid Ahmad, Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta.

 

Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Semarang


Keislaman Terbaru