• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

Perbedaan antara Ibadah dengan Hal yang Bernilai Ibadah

Perbedaan antara Ibadah dengan Hal yang Bernilai Ibadah
Fot: Ilustrasi (eltanwer.com)
Fot: Ilustrasi (eltanwer.com)


Banyak orang yang masih rancu membedakan antara ‘ibadah’ dengan ‘hal yang bernilai ibadah’. Kerancuan ini seringkali mengakibatkan perdebatan panjang yang tak perlu. Bahkan tidak sedikit kejadian karena disebabkan ketidakmampuan membedakan antara mana yang ‘ibadah’ dengan mana yang ‘hal yang bernilai ibadah’ menyebabkan seorang muslim menjatuhkan vonis secara serampangan kepada amaliyah muslim yang lain.

 

Sebelumnya saya sudah menulis tentang perbedaan ibadah dan 'adah (adat istiadat)  

 

Baca juga: Cara Membedakan antara Ibadah dengan Adat

 

Sebagai lanjutannya, kini saya akan menjelaskan secara lebih luas cara membedakan antara ‘ibadah’ dengan ‘seluruh hal selain ibadah’, baik itu menjadi adat istiadat atau bukan. Ukuran yang paling mudah untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah adalah ada tidaknya syarat dan rukun yang ditentukan secara agama dalam hal selain ‘muamalah’. 

 

Apabila suatu tindakan selain muamalah mempunyai syarat atau rukun sehingga dari keduanya bisa ditentukan hukum sah atau tidak sah secara agama, maka berarti tindakan itu adalah ibadah. Apabila tidak ada syarat dan atau rukun yang sedemikian, maka sama sekali bukan ibadah. Yang non-ibadah ini kemudian terbagi menjadi dua; adakalanya punya nilai ibadah dan adakalanya tak punya nilai ibadah, tergantung niat dan caranya. 

 

Contoh: Pertama, shalat, puasa, dan haji adalah ibadah sebab mempunyai syarat dan rukun yang jelas. Dengan dipenuhinya syarat dan rukun itulah, ibadah ini bisa dinilai sah atau tidaknya walaupun semua ibadah ini dilakukan tidak ikhlas karena Allah (bercampur dengan riya), selama syarat dan rukunnya terpenuhi maka tetap dianggap sah.
 

Kedua, memberi pinjaman, menolong orang, bekerja mencari nafkah keluarga, menulis buku, berorasi, dan sebagainya adalah bukan ibadah sebab tak ada syarat dan rukunnya sebagaimana di atas, namun semua ini akan bernilai ibadah apabila dilakukan karena Allah, tidak riya, dan mengharap ridha-Nya. Apabila tidak dilakukan dengan maksud demikian, maka semua tindakan ini hanya akan menjadi tindakan biasa yang tidak mempunyai nilai ibadah, sebab tidak ada syarat dan rukunnya. Maka tindakan semacam ini tak ada kaitannya dengan hukum sah atau tidak sah, yang ada hanyalah berpahala atau tidak berpahala.

 

Jadi, ibadah selalu berkaitan dengan hukum sah atau tidak sah secara agama. Sah berarti secara fiqih telah dianggap terselesaikan (nufudz) dan tidak sah berarti secara fikih belum dianggap terselesaikan sehingga tidak dihitung keberadaannya. 

 

Apabila suatu tindakan non-muamalah tidak berkaitan dengan sah dan tidak sah secara agama, maka itu bukan ibadah sehingga jangan disebut ibadah. Hal ini supaya tidak rancu. Penyebutan hal non-ibadah sebagai ibadah dalam istilah keseharian hanyalah metafora atau kiasan saja, bukan hakikat.

 

Sekarang kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut secara tepat. Pertama, apakah tahlilan adalah ibadah? Bukan, sebab tidak ada syarat dan rukunnya. Semua unsur dan pemilihan waktunya bukan syarat ataupun rukun melainkan hanya kebiasaan. Oleh karena itu, tidak ada ceritanya suatu tahlilan dianggap sah atau tidak sah, apapun bacaannya dan kapanpun dilakukan.

 

Kedua, apakah peringatan maulid Nabi adalah ibadah? Bukan, sebab tak ada syarat dan rukunnya. Semua unsur di dalamnya berikut pemilihan waktunya bukan syarat ataupun rukun melainkan hanya kebiasaan. Karena itulah tak ada ceritanya suatu peringatan maulid Nabi dianggap sah atau tidak sah, apapun ragamnya. Hanya saja soal ini perlu diperhatikan jangan sampai ada unsur-unsur yang tak layak bagi kemuliaan nabi, apalagi unsur yang haram seperti bercampurnya lelaki dan perempuan.

 

Ketiga, apakah berkunjung, berdiam atau berkumpul di kuburan orang shalih adalah ibadah? Bukan, sebab tak ada syarat dan rukunnya. Kalau misalnya orang yang berkumpul itu mengobrol atau berfoto, maka bagi mereka hukum obrolan dan foto  yaitu mubah. Apabila orang yang berkumpul itu membaca Al-Qur'an, maka bagi mereka hukum membaca Al-Qur'an yaitu sunnah. Kalau mereka berniat menyembah orang yang dikubur, maka bagi mereka adalah hukum menyembah orang yang ada di kubur itu sendiri yaitu syirik (haram). Demikian seterusnya bisa dikiaskan sendiri. Namun bagaimanapun yang namanya berkunjung, berdiam atau berkumpulnya itu sendiri adalah bukan ibadah sehingga hukumnya tidak boleh digeneralisir serampangan seolah itu adalah ibadah.

 

Keempat, apakah upacara bendera adalah ibadah? Bukan, sebab tak ada syarat dan rukunnya secara agama. Semua syarat dan rukun dalam upacara ditentukan berdasarkan kesepakatan yang dibuat manusia bukan sebagai aturan agama. Ini sama seperti syarat punya SIM untuk menyetir, kewajiban masuk tepat waktu ketika bekerja dan aturan-aturan lain yang bukan ditetapkan secara agama. Yang seperti ini bukanlah ibadah. Hormat bendera, berdiri tegap dan seluruh sikap dalam upacara hanyalah simbol dan bukan dalam rangka menyembah apapun selain Allah. Ini berbeda jauh dengan siulan dan tepuk tangannya kaum musyrikin jahiliyah yang memang dilakukan dalam rangka beribadah/shalat di sekitar Baitullah yang dipenuhi berhala (lihat al-Anfal: 35). Jangan sampai rancu menyamakan antara sikap hormat bendera dengan sikap bersiul dan bertepuk tangannya orang musyrik.

 

Kelima, apakah pernikahan itu ibadah? Bukan, sebab syarat dan rukunnya berkaitan dengan muamalah atau akad antara dua orang. Yang seperti ini adalah hubungan antar sesama makhluk, bukan ibadah antara makhluk dan Tuhan. Hanya saja pernikahan bisa punya nilai ibadah yang sangat besar.

 

Dengan ini kita harus jeli menentukan dan menjawab apakah suatu hal itu ibadah atau bukan. Salah menjawab akan berkonsekuensi adanya kerancuan dan perdebatan yang tak perlu soal bid'ah atau syirik. Sebagaimana sudah disepakati, bid'ah hanya berlaku dalam hal ibadah saja. 

 

Adapun dalam hal non-ibadah tidak berlaku status bid'ah walaupun hal yang non-ibadah tadi mempunyai nilai ibadah yang berupa pahala. Ketika suatu hal bukan termasuk ibadah, maka keberadaannya tidak bisa dituntut dengan dalil nash Al-Qur'an dan as-Sunnah sebagaimana keberadaan ibadah. 

 

Jadi, sangat tidak relevan kalau membandingkan antara tahlilan atau maulidan dengan shalat, makin tidak relevan lagi ketika menuntut adanya dalil terperinci tentangnya sebagaimana shalat punya dalil terperinci yang spesifik berisi detail-detail pengerjaannya.

 

Demikian pula harapan akan adanya manfaat dan ketakutan akan adanya mudharat dari suatu makhluk bukan berarti selalu menandakan adanya kesyirikan sebab keduanya bukan ibadah. 

 

Orang yang bekerja pada seorang juragan mengharapkan manfaat dari juragan itu dan biasanya merasa takut terhadapnya. Tapi karena bekerja bukanlah ibadah, meskipun dalam prakteknya ada unsur ketundukan kepada atasan, maka tidak bisa disebut sebagai tindakan syirik. Demikian juga orang yang mengharap kebaikan dari istrinya dan takut istrinya marah-marah bukan termasuk orang yang syirik. Sebab itulah takut poligami jangan diartikan sebagai kesyirikan.
 

 

Hal yang sama berlaku ketika seseorang bertawasul atau mengharap berkah dengan berdoa kepada Allah di tempat orang saleh dikuburkan (seperti yang dilakukan oleh Imam Syafi'i dan banyak imam lainnya), ini bukan kesyirikan sebab pemilihan tempat tertentu bukanlah sebuah ibadah. Selama tempat itu suci, maka tidak menjadi larangan berdoa kepada Allah, membaca Al-Qur'an atau shalat sunnah di atasnya. Adapun kalau berdoa dan menyembah kepada selain Allah di manapun tetap haram dan dosa besar, tak perlu menunggu dia berada di kuburan. 

 

Bedakan juga antara tabarrukan berupa ‘ngaji’ di kuburan orang saleh sebagaimana dipraktikkan para ulama besar yang tak mempunyai syarat dan rukun itu dengan praktek pemberian sesajen yang kesemuanya punya syarat dan rukun tertentu, misalnya harus terdiri dari bahan-bahan tertentu, dilakukan di tempat dan waktu tertentu dengan ritual tertentu serta bisa dinilai sah atau tidaknya. Karena adanya unsur-unsur ini, maka pemberian sesajen dengan segala bentuknya adalah masuk kategori ibadah kepada selain Allah atau syirik besar.

 

Apabila segala hal yang mempunyai nilai ibadah (pahala) dipaksa untuk disebut sebagai ibadah, maka semua tindakan yang tak haram bisa jadi ibadah. Bersenggama (jima’) dengan istri bisa disebut ibadah sebab itu nafkah batin, makan-mimum bisa disebut ibadah sebab itu adalah perantara untuk mampu beribadah, dan semua hal bisa jadi ibadah. Ini semua penyebutan yang tidak tepat sebab punya konsekuensi menjadi bid'ah semua apabila detailnya tidak sama persis dengan yang dilakukan atau diakui oleh Rasul. Yang tepat adalah semuanya bukan ibadah tetapi punya nilai ibadah bila dilakukan dengan cara yang baik dan tujuan baik pula.

 

Ada suatu hadits tentang topik ini yang juga kerap disalahpahami, yakni:

 

الدُّعَاءُ مُخُّ العِبَادَةِ 

 

"Doa adalah inti ibadah". (HR Turmudzi).

 

Hadits di atas yang secara sanad lemah itu sering disalahartikan bahwa keberadaan doa berarti menunjukkan bahwa suatu tindakan adalah ibadah. Berkumpul di kuburan orang shalih dianggap ibadah karena biasanya ada doanya, tahlilan dianggap ibadah karena ada doanya, dan seterusnya. Ini salah dan terbalik. 

 

Dengan mengabaikan status dha'if hadits tersebut, maksudnya adalah setiap ibadah mempunyai unsur inti berupa doa atau harapan kepada Allah. Shalat, puasa, haji, dan seluruh ibadah lainnya mempunyai unsur doa kepada Allah agar mendapat ridha-Nya. 

 

Jangan sampai pengertian ini dibalik menjadi seluruh hal yang punya unsur doa berarti ibadah. Hampir seluruh tulisan saya di FB selalu diakhiri dengan doa "semoga bermanfaat", meski demikian menulis di FB tetaplah bukanlah ibadah. Demikian juga makan, minum, tidur, berkendara, masuk toilet, dan lain-lain bukanlah ibadah meskipun diawali dan diakhiri dengan doa. Itu semua adalah hal yang bisa bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat dan cara yang baik, tapi  bukan ibadah itu sendiri. Bedakan ini!.

 

Semoga bermanfaat.

 

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur


Keislaman Terbaru