• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 18 Mei 2024

Fragmen

Membongkar Fakta Sejarah Hari Pahlawan dan Resolusi Jihad (1)

Membongkar Fakta Sejarah Hari Pahlawan dan Resolusi Jihad (1)
foto: ilustrasi (bone.go.id)
foto: ilustrasi (bone.go.id)

Banyak orang yang tidak paham fakta adanya fatwa resolusi jihad 22 Oktober 1945 karena tidak ditulis dalam buku sejarah di sekolah. Ada apa sebenarnya? Sejarah pertempuran 10 November, awalnya tidak ada yang mau mengakui fatwa & resolusi jihad itu pernah ada. Tulisanya Prof Ruslan Abdul Gani, yang ikut terlibat, resolusi jihad disebut tidak pernah ada. 

 

Bung Tomo yang pidato teriak-teriak, dalam bukunya juga tidak pernah menyebutkan bahwa fatwa & resolusi jihad pernah ada. Laporan tulisan mayor Jendral Sungkono juga tidak menyebut pernah ada fatwa dan resolusi jihad. 

 

Karena itu banyak orang menganggap fatwa dan resolusi jihad itu hanya dongeng dan ceritanya orang NU saja. “Di antara elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan pesantren khususnya NU,”. 

 

Itu kesimpulan seminar nasional di perguruan tinggi negeri besar di Jakarta tentang perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia pada tahun 2014. Bahkan dengan sinis salah seorang menyatakan, “Organisasi PKI, itu saja pernah berjasa. Karena pernah melakukan pemberontakan tahun 1926 melawan Belanda. NU tidak pernah,”. 

 

Aneh, pandangan ini juga pernah dianut oleh tokoh-tokoh LIPI. Gus Dur juga mengkonfirmasi kalau sejarah ulama dan kiai memang sudah lama ingin dilenyapkan. Tahun 1990 ada peringatan 45 tahun pertempuran 10 November. Yang jadi pahlawan besar dalam pertempuran 10 November diumumkan dari golongan itu.

 

Yakni orang terpelajar yang berpendidikan tinggi. Nama-nama mereka muncul tersebar di televisi, koran, dan majalah. “Itu ceritanya, 10 November yang berjasa itu harusnya Kiai Hasyim Asy'ari dan poro kiai. Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?”. Itu komentar Nyai Sholihah, ibu Gus Dur.

 

Dari situlah Gus Dur diminta untuk klarifikasi. Lalu Gus Dur klarifikasi, menemui tokoh-tokoh tua & senior di kalangan kelompok sosialis, mengenai 10 November. Sambil ketawa-ketawa mereka menjawab, “Yang namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang Gus. Bahwa sejarah sudah mencatat, orang bodoh itu makanannya orang pintar,”.

 

 “Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan wong pinter. Itu biasa Gus,” katanya kepada Gus Dur. Gus dur marah betul dibegitukan. Sampai tahun 90-an NU masih dianggap bodoh mereka. Tahun 91, Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran anak muda NU. 

 

Anak-anak santri dilatih mengenal analisis sosial (ansos) dan teori sosial, filsafat, sejarah, geopolitik, dan geostrategi. Semua diajari. Supaya tidak lagi dianggap bodoh. Dan kemudian berkembang hingga kini. “Saya termasuk yang ikut pertama kali kaderisasi itu. karena itu agak faham,” kata KH Agus Sunyoto.

 

Saat penulis sejarah Indonesia menyatakan fatwa dan resolusi jihad tidak ada, KH Agus Sunyoto menemukan tulisan sejarawan Amerika, Frederik Anderson. Dalam tulisanya tentang penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1942 sampai 1945, ia menulis begini:

 

22 Oktober 1945 pernah ada resolusi jihad yg dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya. Tanggal 27 Oktober, Koran Kedaulatan Rakyat juga memuat lengkap resolusi jihad. Koran Suara Masyarakat di Jakarta, juga memuat resolusi jihad.

 

Peristiwa ini ada, sekalipun wong Indonesia tidak mau menulisnya, karena menganggap NU yang mengeluarkan fatwa sebagai golongan lapisan bawah. Sejarah dikebiri. Dokumen-dokumen lama yang sebagian besar berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, dan sebagainya, dibongkar.

 

Patahlah semua anutan doktor sejarah yang menyatakan NU tidak punya peran apa-apa terhadap kemerdekaan. Ketika Indonesia pertama kali merdeka 1945, kita gak punya tentara.  Baru dua bulan kemudian ada tentara. Agustus, September, lalu pada 5 Oktober dibentuk tentara keamanan rakyat (TKR). Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah tentara TKR di Jawa saja. 

 

Ternyata, TKR di Jawa ada 10 divisi. 1 divisi isinya 10.000 prajurit. Terdiri atas 3 resimen dan 15 batalyon. Artinya TKR jumlahnya ada 100.000 pasukan. Itu TKR pertama. Yang nanti menjadi TNI. Dan komandan divisi pertama TKR itu bernama Kolonel KH Sam’un, Pengasuh Pesantren di Banten. Komandan divisi ketiga masih kiai, yakni kolonel KH Arwiji Kartawinata (Tasikmalaya). Sampai tingkat resimen kiai juga yang memimpin.

 

Fakta, resimen 17 dipimpin oleh Letnan Kolonel KH Iskandar Idris. Resimen 8 dipimpin Letnan Kolonel KH Yunus Anis. Di batalyon pun banyak komandan kiai. Komandan batalyon TKR Malang misalnya, dipimpin Mayor KH Iskandar Sulaiman yang saat itu menjabat Rais Syuriyah NU Kabupaten Malang. Ini dokumen arsip nasional, ada Sekretariat Negara dan TNI.

 

Tapi semua data itu tidak ada di buku bacaan anak SD/SMP/SMA. Seolah tidak ada peran kiai. KH Hasyim Asy'ari yang ditetapkan pahlawan oleh Bung Karno pun tidak ditulis. Jadi jasa para kiai dan santri memang dulu disingkirkan betul dari sejarah berdirinya Republik Indonesia ini. 

 

Waktu itu, Indonesia baru berdiri. Tidak ada duit untuk bayar tentara. Hanya poro kiai dengan santri-santri yang menjadi tentara dan mau berjuang sebagai militer tanpa bayaran. Hanya poro kiai dengan tentara-tentara Hizbulloh yang mau korban nyawa tanpa dibayar. Sampai sekarang pun, NU masih punya tentara swasta namanya Banser, ya gak dibayar.  

 

Tentara itu baru menerima bayaran pada tahun 1950. Selama 45 sampai perjuangan di tahun 50-an itu, tidak ada tentara yang dibayar negara. Kalau mau mikir, 10 November Surabaya adalah peristiwa paling aneh dalam sejarah. Kenapa? Kok bisa ada pertempuran besar yg terjadi setelah perang dunia selesai 15 Agustus.

 

Sebelum pertempuran 10 November, ternyata ada perang 4 hari di Surabaya. Tanggal 26, 27, 28, 29 oktober 1945. 

 

KH. Agus Sunyoto saat menghadiri bedah buku "Fatwa dan Resolusi Jihad" di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, 3 November 2017.


Fragmen Terbaru