• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Fragmen

SEJARAH NU PEKALONGAN

Kiai Amir bin Idris, Mustasyar Pertama NU Cabang Pekalongan (Bagian 2)

Kiai Amir bin Idris, Mustasyar Pertama NU Cabang Pekalongan (Bagian 2)
Makam Kiai Amir bin Idris di Banyurip Pekalongan Selatan, Jateng (Foto: NU Online Jateng/Ajie Najmuddin)
Makam Kiai Amir bin Idris di Banyurip Pekalongan Selatan, Jateng (Foto: NU Online Jateng/Ajie Najmuddin)


Pada artikel sebelumnya, dijelaskan bahwa NU Cabang Pekalongan resmi berdiri pada tanggal 9 Rabi’ul Awwal 1347 H atau bertepatan dengan 25 Agustus 1928. Perwakilan dari Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama’ (HBNO/ kini disebut PBNU) KH Abdul Wahab Chasbullah turut menyaksikan proses pendiriannya beserta sejumlah rombongan kiai lainnya.

 

Baca juga: Di Bulan Maulud, NU Cabang Pekalongan Didirikan (1)

 

Setelah diresmikan, kemudian disusun pula kepengurusan NU Cabang Pekalongan periode pertama, yang dinahkodai Rais Syuriyah Kiai Abbas dari Medelan dan Haji Ambari Ismail dari Pesindon sebagai presiden atau ketua tanfidziah. Satu nama penting yang juga tertulis dalam susunan kepengurusan tersebut, yakni Kiai Amir Banyurip.

 

Kiai Amir didaulat menjadi satu-satunya mustasyar, yang bisa dimaknai sebagai penasihat atau tokoh yang disepuhkan. Kiai Amir memang begitu disegani oleh para ulama di Pekalongan. Selain karena kealimannya, ia juga memegang sejumlah sanad keilmuan yang didapatkan langsung dari para ulama kenamaan di masa itu, seperti Kiai Sholeh Darat dan Syech Machfud Termas.

 

Kiai Amir bin Kiai Idris yang berasal dari daerah Lumpur, Limbangan, Losari, Brebes, merupakan santri sekaligus menantu dari Kiai Soleh Darat Semarang. Ia kemudian boyong dan menetap di daerah Simbang Kulon. Di sana ia juga mendirikan sebuah pesantren. Para santri yang pernah mengaji kepada Kiai Amir antara lain Kiai Mahrus Ali Lirboyo, Kiai Ali Maksum Krapyak, Kiai Yasin Mbareng, Kiai Muhammadun Pati, dan lain-lain.

 

Pada saat NU berdiri di tahun 1926, tercatat Kiai Amir ikut termasuk di jajaran kepengurusan periode pertama, sebagai a’wan syuriyah. Dalam jejaring ulama Nusantara di masa itu, Kiai Amir selain pernah menjadi santri Kiai Sholeh Darat, juga pernah mengaji kepada Syekh Machfud Termas kala ia menimba ilmu di Makkah.

 

Kiai Amir mendalami ilmu di Makkah. Beliau menjadi seorang yang rajin dalam mendalami ilmu. Untuk membiayai kehidupannya, beliau menjadi juru masak teman-temannya karena kedua orang tua tidak mampu memberi uang kepada beliau. Beliau tidak mempunyai kitab, beliau meminjam kitab dari teman-temannya, akan tetapi semua itu tidak menjadikan beliau kehilangan semangat dalam mencari ilmu.

 

Di antara guru-guru Kiai Amir di Makkah adalah Kiai Mahfudh Termas, Kiai As’ad Tegal, Kiai Abbas Brebes, Kiai Masduki Cirebon, dan Kiai Nahrowi Banyumas. Semuanya adalah ulama-ulama Indonesia yang mukim di Makkah.

 

Tentu saja semua itu tidak terlepas dari pengajaran dasar yang ditanamkan pada dada Kiai Amir yang diperoleh dari Ibu Nyai Soimah dan Kiai Idris yang susah payah menjual sebidang tanah untuk memberangkatkan Kiai Amir ke Mekkah.

 

Muhammad Amir adalah nama kecil dari KH Amir Idris yang merupakan putra dari pasangan KH Idris dan Nyai Soimah. Lahir di Desa Mundu, Cirebon pada tahun 1294 H/1875 M. Semenjak kecil Amir mengaji kepada sang ibunda, yaitu Nyai Soimah. 
 
Setelah cukup lama di Makkah, beliau disuruh pulang ke tanah air untuk dinikahkan dengan Nyai Sukainah puteri Kyai Usman Gedongan Indrapura Cirebon. Dari pernikahannya dengan Nyai Sukainah tidak dikaruniai keturunan dan berakhir dengan perceraian secara baik-baik.

 

Beliau menikah untuk kedua kali dengan puteri Kiai Sholeh Darat Semarang yang bernama RA Zahro (janda dari Kiai Raden Dahlan Termas). Pernikahan ini dilaksanakan di Makkah atas perintah Kiai Sholeh Darat dan Syekh Mahfudh Termas. Dari pernikahan dengan Nyai RA Zahro, beliau dikaruniai seorang puteri bernama Siti Aisyah.

 

Setelah pulang dari Makkah Kyai Amir diminta oleh Kiai Sholeh Darat untuk membantu mengasuh Pesantren Darat Semarang, bekas peninggalan Kiai Murtadlo. Cukup lama Kiai Amir bermukim di Darat Semarang, hingga ia dan keluarga pindah ke Pekalongan.

 

Kiai Amir wafat pada hari Selasa tanggal 8 Rabiul Akhir 1357 H atau bertepatan dengan 7 Juni 1938 M. Jenazah Kiai Amir dimakamkan di Kompleks Pemakaman di Banyurip Ageng.

 

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: M Ngisom Al-Barony


Fragmen Terbaru