Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra

Opini

Sebuah Perenungan Saintifik: Membaca atau Dibaca Zaman?

Ilustrasi: Media Digital

Mengutip data digital tahun 2022 dari We Are Social, terdapat 96 persen masyarakat Indonesia dengan rentang usia 16 sampai 64 tahun yang menggunakan smartphone. Rata-rata mereka menghabiskan 8 jam 36 menit per hari menggunakan layanan internet dan 3 jam 17 menit menggunakan media sosial.

Dengan kecepatan download via ponsel rata-rata 15.82 Mbps, mengalami kenaikan 27,4 persen dari tahun kemarin, tak heran jika penggunaan akses internet beserta device-nya terus meningkat. Bisa kita jadikan kesepahaman bersama bahwa data tersebut dapat menjadi cermin diri maupun organisasi di dunia digital.

Dalam segi perangkat atau device, secara umum masyarakat sudah menggunakan smartphone minimal spek RAM 2 Gb. Mulai banyak yang mempunyai laptop atau komputer serta perangkat multimedia lain untuk menunjang aktivitas digital dalam organisasi. Artinya, kita sudah mempunyai sumber daya yang cukup untuk beradaptasi di dunia digital.

Mengingat kader IPNU-IPPNU dengan rentang usia 13 sampai 24 tahun ialah generasi pelajar produktif yang akan meneruskan marwah perjuangan NU di masa depan. Karakteristik Gen Z tentu berbeda dengan generasi sebelumnya.

Era Gen Z ialah era generasi internet di mana di usia 10 tahun sangat mungkin mereka sudah bisa mengakses internet. Maka ketika ingin meraba cerah atau suramnya masa depan, ya tinggal mengamati bagaimana Gen Z ini melangkah. Mampu beriringan dengan laju perubahan atau tidak. Mampu membaca zaman atau malah dibaca oleh zaman.

Membaca Zaman

Pada dasarnya setiap teknologi diciptakan untuk membantu memudahkan segala urusan manusia di dunia. Disrupsi teknologi seakan-akan mempersingkat aktifitas di beberapa sektor produksi. Kemampuan Artificial Intelligence (AI) dengan perlahan menggantikan sumber daya manusia.

Selain itu, AI mampu merangkum semua aktivitas yang dilakukan manusia di dunia maya. Sehingga manusia tidak perlu lagi repot-repot mencari satu per satu informasi yang dibutuhkan. AI akan menyediakan beberapa rekomendasi informasi sesuai dengan algoritma yang sudah terbentuk.

Potensi kehebatan teknologi mutakhir ini akan menjadi bilah pisau bermata dua. Kalau bicara mengenai dampak positif, saya rasa kita semua fasih untuk menjelaskannya. Lha wong, kita sudah merasakan manfaatnya kok. Saya pun merasa optimis jika melihat device masyarakat kita serta akses internet dapat dikatakan memadai untuk sekedar berbagi informasi di media sosial.

Pelayanan online seperti ojek online, toko online, dan beberapa layanan administrasi publik kini dapat dinikmati kemudahannya. Namun, jika melihat sumber daya masyarakat kita, butuh tarikan nafas panjang untuk menerima kenyataan.

Menurut Katadata tahun 2019, di kancah ASEAN rata-rata skor IQ Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah. Ditambah survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) dan di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) di tahun yang sama, Indonesia menempati peringkat literasi ke 62 dari 70 negara.

Kata UNESCO lebih menyakitkan, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada 1 dari 1000 orang yang gemar membaca. Maraknya peredaran berita hoaks dan miss-informasi sudah menjadi bukti betapa rendahnya kemampuan literasi masyarakat kita.

Di masa pandemi misalnya. Menurut data Kominfo, terdapat 6.322 sebaran hoaks mengenai Covid-19 dalam tentang waktu 23 Januari 2020 - 15 Agustus 2022. Tentu ini bukanlah angka yang kecil. Kita juga bisa berkaca pada pemilu 2014 dan 2019 di mana masyarakat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kelompok.

Antarsaudara, teman, tetangga bisa bermusuhan hanya karena satu misinformasi. Ketidakseimbangan antara device dan user tentu akan menimbulkan dampak yang jauh lebih buruk bagi Gen Z, yaitu kesehatan mental.

Hanya Ilusi

Nadiem Makariem dalam acara NU Tech akhir tahun kemarin berkata bahwa banyak orang melihat media sosial itu beneran. Padahal media sosial itu hanyalah ilusi dimana kita selalu menceritakan versi terbaik kita dan masyarakat menerima itu sebagai realita.

Hal itulah yang menyebabkan beberapa masalah kesehatan mental seperti depresi, anxiety, dan lain sebagainya. Kita cenderung mengeluarkan banyak energi untuk sekedar melihat postingan orang lain yang tidak kenal dengan kita, dan mengomentari berbagai hal di luar kemampuan kita.

Selain itu, banjir informasi di media sosial membuat Gen Z merasa kebingungan dan tidak percaya diri dalam memilih informasi yang ia butuhkan. Kesehatan mental bukan perkara remeh-temeh. Ketergantungan terhadap gawai menjadi tanda bahwa mental kita sedang tidak baik-baik saja.

Bukan hanya dialami Gen Z IPNU-IPPNU, Gen Y seperti Ansor dan Fatayat bisa jadi juga mengalami adiksi tidak bisa lepas dengan gawai. Coba saja amati, setiap forum resmi atau tidak resmi banyak yang main gawai walaupun hanya sekedar buka tutup WA memastikan ada pesan masuk atau tidak.

Padahal dia sudah tau jika ada pesan masuk pasti ada notifikasi, tetapi tetap saja tangan terasa gatal jika tidak membuka gawai. Selain itu, muncul kebiasaan menunda membalas pesan sehingga menumpuk dan pada akhirnya kebingungan merespon setiap pesan masuk.

Fenomena ini berbanding terbalik dengan guna teknologi informasi untuk memudahkan manusia berkomunikasi. Memang terlihat tidak masuk akal, tetapi beginilah keadaan mental kita. Artificial intelligence (AI) ibarat genangan air yang terus berusaha menyesuaikan bayangan manusianya. Bahkan AI bisa lebih jujur daripada usernya sendiri karena ia mampu merekam semua jejak digital yang pernah kita lakukan.

Algoritma media sosial membaca dan mengumpulkan setiap informasi aktifitas manusia dalam bentuk data digital. Diproses menjadi rekomendasi penting bagi siapa saja yang ingin menerka arah perubahan.

Bagi pelaku usaha, data digital sangat berguna untuk memetakan segmen pasar. Bagi pemerintahan tentu sangat berguna untuk efisiensi dan efektifitas kebijakan. Bagi setiap individu pun bisa digunakan untuk memilih platform atau layanan mana yang menyediakan kebutuhan.

Begitu pun organisasi, kebijakan based on data akan memangkas ketertinggalan kita terhadap teknologi. Jadi, seandainya mau merenung pun kita berdasar saintifik, bukan berdasar persepsi yang barangkali hanyalah ilusi.

Muhammad Athar Fuadi, Anggota Bidang Media PC GP Ansor Boyolali

Editor: Ajie Najmuddin

Artikel Terkait