
Pelantikan PWNU Jateng di Auditorium Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Kota Semarang pada Sabtu (3/8/2024) (Foto:NUOJateng/Rauyan)
Semarang, NU Online Jateng
Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini memiliki tantangan dan medan perkhidmatan yang berbeda dengan masa kemarin, juga pada masa awal kelahirannya. Hal yang dihadapi NU sekarang ini sangat kompleks dan dinamis. Tentunya dibutuhkan strategi jitu dan leadership yang sesuai dengan kebutuhan, agar benar-benar bisa merawat jagat dan membangun peradaban yang berkemajuan, serta mendampingi umat untuk memenangi masa depan melalui program kerja yang dilaksanakan.
Baca Juga
PWNU Jateng dan Kepemimpinan Visioner
Kepengurusan hasil Konferensi wilayah (Konferwil) PWNU Jateng, yang diselenggarakan 6 Maret 2024, telah dilantik oleh PBNU, Sabtu, 3 Agustus 2024, di Unissula, Semarang.
Mereka yang terpilih mendampingi mandataris, KH Abdul Ghaffar Rozin, didominasi kalangan muda. Paling tidak, mereka mewakili tiga elemen penting, yaitu kiai, akademisi, dan aktivis. Ada pula yang memiliki latar belakang keduanya atau bahkan ketiganya sekaligus. Sebagiannya sudah merampungkan studi doktoral, bahkan mencapai pangkat akademik tertinggi sebagai guru besar, sebagian lainnya memiliki darah kepesantrenan dan ke-NU-an yang sangat kental, baik dari keturunan maupun keilmuan.
Tidak hanya itu, para pengurus ini juga memiliki disiplin ilmu yang beragam, keislaman dan umum, kekayaan khazanah klasik dan kontemporer. Pun mereka juga ditunjang dengan pengalaman profesional dari yang tampak dari riwayat kerja maupun organisasi yang cukup.
Apakah figur, sosok dan konfigurasi seperti itu yang dibutuhkan PWNU Jateng sekarang untuk menjawab tantangan dan dinamika lokal dan nasional? Apakah mereka akan meringankan beban KH Abdul Ghaffar Rozi pada level tanfidziyah, yang secara organisatoris akan melaksanakan tugas dari Syuriyah dan PBNU, hingga menunaikan visi misinya?
Tantangan masa sekarang
Secara demografis, NU mengalami pertumbuhan yang dinamis dan signifikan. Itu menjadi modal sosial yang potensial untuk diolah menjadi modal kapital yang strategis. Pertumbuhan yang signifikan itu tentunya dibarengi dengan berbagai konsekuensi logis seiring dengan dinamika sosial dan keagamaan yang juga berkembang dinamis pula.
Dalam konteks sosial, NU menghadapi perubahan generasi yang dibarengi dengan karakteristik generasi baru. Pola pikir tradisional ormas keagamaan, dikotomi Aswaja, Syi'ah, Salafi-Wahabi menjadi perspektif mainstream. Hal itu sangat mungkin tidak terjadi bagi generasi milenial. Itu artinya tradisi lama yang dianggap baik dan harus dilestarikan, seperti ziarah kubur, maulid nabi, tahlil dan sebagainya, berpotensi dianggap tidak memiliki relevansi bagi mereka.
Di bidang ideologi, NU menghadapi kompetisi ideologi internal Islam dan non-Islam. Di berbagai strata terjadi pertarungan antara ideologi Aswaja an-Nahdliyyah dengan Islam transnasional, seperti Wahabi, Salafi, Ikhwanul muslimin, Hizbut Tahrir, Syi'ah dan sejenisnya. Dalam gerakan dakwahnya, mereka cenderung mendistorsi kemapanan Aswaja an-Nahdliyyah, bahkan bersikap diametral secara atraktif-agitatif.
Dalam mengusung ideologinya, mereka selain membawa "power" dan "koper". Tidak sedikit warga, bahkan (oknum) tokoh NU yang terseret dalam jaringan pengelolaan bantuan dana dari Timur Tengah untuk membangun dan merehabilitasi masjid dan infrastruktur milik NU, setidaknya milik orang NU.
Sementara itu, pada waktu bersamaan, NU menghadapi tantangan dari non-Islam, seperti liberalisme, komunisme, materialisme, sekulerisme, hedonisme, islamophobia dan sejenisnya. Hal-hal tersebut memiliki relevansi yang dinamis, bahkan laten.
PWNU Jateng masa khidmah 2024-2029 perlu memiliki strategi, solusi dan mitigasinya, agar NU Jateng terselamatkan dari tantangan tersebut sekaligus memenangi pertempuran dengan mereka. Tidak kalah pentingnya adalah membuat generasi milenial tertarik kepada NU, sehingga tidak terjadi gap generation atau terputus generasi.
Gerakan Islam transnasional masih akan terus berkembang luas di masyarakat Indonesia. Mereka akan terus menggerogoti basis-basis gerakan Islam lokal. Diakui atau tidak, basis-basis Muhammadiyah perkotaan telah digerogoti jamaah Ikhwan dan Hizbut Tahrir. Demikian pula jamaah tabligh menggerogoti NU perkotaan dan sebagainya. Pada saat yang sama, Salafi mengambil jamaah NU puritan dengan pendekatan pesantren, madrasah, dan sebagainya.
Tugas PWNU Jateng adalah mempertegas posisi Aswaja sebagai arus utama ideologi umat Islam sekaligus inspirasi bagi terwujudnya Indonesia yang sejahtera. Demikian pula di bidang kesehatan, pendidikan dan pendanaan, NU rasanya perlu mengejar ketertinggalannya dengan saudara tua. Dalam konteks Jawa, NU Jateng perlu menaikkan levelnya setara dengan NU Jatim yang relatif lebih baik.
Kepemimpinan muda
Sebagaimana disebutkan di atas, figur pengurus baru PWNU Jawa Tengah didominasi usia muda, sosok pengasuh pondok pesantren, akademisi, dan aktivis. Intinya mereka masuk katagori darah biru NU atau yang populer disebut gawagis (para Gus).
Publik tentunya akan melihat apakah gawagis memiliki pola kepemimpinan yang dibutuhkan Nahdliyyin Jawa Tengah sekarang ini? Apakah mereka dengan status dan predikatnya mampu mengukir prestasi, mampu menjadi khodimul umah (pelayan umat ) dan menjadi pengentas masalah? Atau justru menjadi pemimpin yang elitis, yang minta dilayani dan menjadi beban jam'iyyah?
Banyak teori dan definisi kepemimpinan (leadership). Dalam konteks akademik, pemimpin itu dilahirkan atau bawaan masih menjadi perdebatan. Juga apakah setting pendidikan dan nasab memiliki korelasi signifikan terhadap kepemimpinan masih menjadi produk akademik. Namun bisa jadi dalam sebuah organisasi ada pemimpin yang out of the box atau beyond leadership.
Di lingkungan pondok pesantren, posisi Gus sangat terhormat, disegani dan cenderung dilayani. Mereka dipersiapkan sebagai naib al syuyukh (generasi penerus), sebagai putra mahkota kepemimpinan pondok pesantren. Sementara itu NU adalah pondok pesantren besar dan pondok pesantren adalah NU kecil.
Apakah mereka akan mencerminkan kepemimpinan seperti itu, yang mengandalkan relasi patron klien?
Tidak mesti demikian. Mereka paham bahwa ciri-ciri pemimpin yang baik adalah yang peduli, sukarela, produktif dan menyelesaikan masalah. Mereka tentunya memiliki pemahaman, bahwa telah terjadi perubahan paradigma di NU, pemimpin yang dibutuhkan sekarang ini yang mau melayani, yang menjadi contoh dan yang proaktif, bukan yang minta dilayani, menunggu dan cuek (passive permisif).
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai bukti, keberhasilan kepemimpinan seorang Gus, seorang putra mahkota dan seorang berdarah biru memimpin NU. Padahal, saat itu belum diberlakukan secara ketat kaderisasi, mulai dari level PD - PKNU, PMKNU sampai AKNNU. Sekarang ini semua pengurus harus memiliki sertifikat kaderisasi.
Pengurus PWNU Jateng masa khidmah 2024-2029 mengemban amanah yang tidak sederhana. Minimal ada dua kemungkinan, jika mampu membuktikan bahwa para gawagis benar kompeten, berintegritas, visioner, bertanggung jawab dan berprestasi memimpin jam'iyyah yang dikendalikan para ulama, maka ke depan, ciri figur yang dimiliki gawagis akan menjadi magnet besar dalam setiap suksesi kepemimpinan NU. Sebaliknya, jika biasa biasa saja, bahkan tidak berprestasi, maka Nahdliyyin akan memilih kader atau tokoh yang tidak darah biru, tidak bergelar tinggi dan tidak memiliki pondok pesantren, tetapi memiliki kompetensi, dedikasi, peduli, melayani dan berprestasi.
Oleh karena itu, Gus Rozin sebagai Ketua PWNU Jawa Tengah ini mengusung motto Berkhidmat Bermartabat Membangun Peradaban. Hal ini penting sebagai pengingat bagi segenap pengurus untuk tulus dalam melayani umat. Bermartabat menjadi kunci dalam perkhidmatan kepengurusan ini.
Tentunya semua berharap, PWNU Jateng sekarang ini mampu mengukir prestasi, membuat sejajar dengan PWNU Jatim dan mampu mendampingi umat menghadapi tantangan ideologi, lokal dan transnasional.
Mufid Rahmat, Ketua PW GP Ansor Jateng 2002-2007 dan penulis buku "Semua Akan NU pada Waktunya" (LKiS: 2021)