Perspektif Maqashid Syariah dalam Menilai Pernikahan Dini: Antara Manfaat dan Risiko
Ahad, 20 Oktober 2024 | 18:00 WIB
Dalam perkembangan hukum, kedewasaan dianggap sebagai faktor penting dalam membentuk keluarga yang stabil dan bahagia. Pria dianggap dewasa pada usia 25 tahun, sedangkan wanita pada usia 20 tahun, atau minimal 19 tahun untuk keduanya. Namun, batas usia dalam pernikahan ini bukanlah ukuran mutlak untuk menentukan kedewasaan seseorang, karena kedewasaan juga dipengaruhi oleh kondisi fisik dan mental individu.
Meskipun demikian, yang paling penting adalah calon suami istri harus matang secara fisik dan mental untuk mencapai tujuan pernikahan. Anak-anak di bawah usia 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, menurut UU Perkawinan belum dianggap dewasa secara jiwa dan raga. Meskipun beberapa anak mungkin terlihat dewasa karena lingkungan, secara biologis mereka belum sepenuhnya matang.
Dalam buku Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa pembatasan usia pernikahan bertujuan untuk mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Pembatasan ini penting karena berkaitan dengan kesiapan mental dan fisik, serta kemampuan berpikir dan bertindak dewasa, yang sangat diperlukan untuk membangun keluarga yang langgeng dan bahagia.
Selain itu, pembatasan usia juga dimaksudkan untuk mencegah perceraian dini, menghasilkan keturunan yang berkualitas, dan mengontrol pertumbuhan penduduk. Di sisi lain, pernikahan di usia dini, terutama bagi perempuan dan anak-anak, sering kali menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, pelecehan seksual, eksploitasi, dan perdagangan manusia.
Usia pernikahan sebenarnya dibatasi untuk mencegah pernikahan di bawah umur. Hal ini berkaitan dengan kesiapan fisik dan mental, serta kemampuan berpikir dan bertindak secara dewasa, yang sangat penting untuk membangun keluarga yang kokoh dan bahagia. Pembatasan usia ini juga bertujuan untuk mencegah perceraian dini, yang sering kali menghasilkan keturunan yang kurang berkualitas, serta membatasi laju pertumbuhan penduduk.
Dalam pandangan Islam, perempuan memiliki peran penting sebagai ibu yang membentuk generasi dan sumber daya manusia yang berkualitas. Seorang ibu harus mampu menjadi pendidik, pelindung, dan panutan bagi anak-anaknya, namun hal ini sulit dicapai jika ia tidak memiliki pengetahuan yang memadai. Oleh karena itu, menurut Khoiruddin Nasution, kewajiban perempuan untuk menuntut ilmu sangat penting agar mereka dapat memperkuat fondasi perubahan sosial ke arah yang lebih baik. (Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman, Tentang Wanita, (Yogyakarta: Tazzafa, 2002), H.230)
Pandangan Maqashid Syariah terhadap Pernikahan Dini
Saat ini, banyak remaja yang menikah sebelum usia 19 tahun, sering kali disebabkan oleh kehamilan di luar nikah. Bahkan, siswa SMP, SMA, dan SD sudah menjalani pernikahan. Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar siap menikah di usia yang begitu muda? Meskipun dalam beberapa budaya, pernikahan dini dianggap hal yang biasa dan tidak menjadi masalah. Dalam Islam, terdapat lima prinsip utama yang harus dilindungi: agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Baca Juga
Mahar Pernikahan dalam Islam
Walaupun Al-Qur'an tidak secara jelas menetapkan batas usia minimum untuk pernikahan, mazhab-mazhab fiqih membahas pernikahan dini melalui istilah "nikah al-shighar," yang merujuk pada pernikahan anak laki-laki atau perempuan yang belum mencapai usia baligh.
Pernikahan dini tidak boleh dilihat hanya dari satu tujuan, seperti mencegah zina. Ini juga menyangkut perlindungan jiwa (hifz al-nafs), harta (hifz al-mal), dan akal (hifz al-‘aql). Artinya, pernikahan dini tidak bisa dilakukan hanya untuk mencapai satu tujuan, sementara prinsip maqashid lainnya diabaikan. Perlu mempertimbangkan manfaat (maslahat) dan dampak buruk (mafsadat) secara menyeluruh sebelum memutuskan apakah pernikahan dini dapat dilakukan.
قال الإمام ابن قدامة المقدسي في "المغني" في بيان ما يترتب على النكاح من مصالح: يشتمل على تحصين الدِّين، وإحرازه، وتحصين المرأة، وحفظها، والقيام بها، وإيجاد النسل. (7/ 5، ط. مكتبة القاهرة)
Artinya” Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitab al-Mughni menjelaskan mengenai manfaat yang diperoleh dari pernikahan: "Pernikahan mencakup (beberapa manfaat), seperti menjaga agama, melindunginya, menjaga kehormatan perempuan, memeliharanya, memenuhi kebutuhannya, serta menghasilkan keturunan." (juz 7, halaman 5, cetakan Maktabah al-Qahira)
Menurut Imam Ibnu Qudamah, pernikahan bukan sekadar ikatan fisik atau emosional antara suami dan istri; lebih dari itu, pernikahan memiliki berbagai manfaat dan tujuan yang mulia dari segi agama, sosial, dan moral. Semua manfaat ini selaras dengan tujuan syariah (maqashid syariah), yaitu untuk menjaga agama, jiwa, kehormatan, keturunan, serta kesejahteraan keluarga.
Aspek dampak negatif (mafsadat) dan manfaat (maslahat) dalam pernikahan dini dapat dikaitkan dengan salah satu prinsip dalam pembentukan hukum Islam berikut:
درأ المفاسد على جلب المصالح
Artinya : “Menghilangkan mafsadah lebih didahulukan daripada mengambil manfaat”. (Muhammad Al-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Dar al-Qalam, Damaskus. H.205)
Fokus Hifz an-Nafs adalah menjaga keselamatan dan kehidupan manusia. Pasangan yang menikah di usia muda lebih rentan terhadap berbagai resiko negatif, seperti masalah kesehatan, ketidakmampuan mengelola rumah tangga, dan risiko terhadap keselamatan ibu dan anak. Beberapa potensi dampak negatif (mafsadah) dan manfaat (maslahat) dari pernikahan dini, misalnya:
Mafsadah (Kerugian)
Pada perempuan muda, panggul yang belum berkembang sempurna dapat menyebabkan komplikasi serius saat melahirkan, seperti kelahiran prematur atau bayi yang cacat. Ibu yang sangat muda juga memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang sudah matang secara fisik. Selain itu, pasangan yang menikah terlalu dini, terutama jika belum siap secara mental dan finansial, mungkin terpaksa melakukan tindakan ekstrim seperti aborsi tidak aman, yang bertentangan dengan prinsip hifz an-nafs.
Maslahah (Manfaat)
Pernikahan dini bisa membawa manfaat jika dilakukan dengan persiapan yang matang dan dukungan yang memadai. Dengan pengawasan yang baik, pernikahan dini dapat membantu menjaga moralitas dan mencegah tindakan yang merusak tatanan sosial.
Namun, secara keseluruhan, manfaat yang bisa diperoleh dari pernikahan dini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan potensi kerugian yang dapat terjadi, seperti risiko kesehatan, masalah emosional, dan kendala finansial, yang dapat membahayakan kehidupan, terutama bagi remaja yang belum siap menjalani kehidupan pernikahan.
Berdasarkan prinsip hifz an-nafs, Islam tidak menganjurkan pernikahan di usia terlalu muda jika pasangan belum siap secara fisik, mental, dan sosial. Sebaliknya, Islam mendorong pernikahan yang didasarkan pada kesiapan yang matang untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, stabil, dan terhindar dari berbagai risiko.