Keislaman

Maulid Nabi, Momentum Syukur dan Cinta Rasulullah

Rabu, 27 Agustus 2025 | 13:00 WIB

Maulid Nabi, Momentum Syukur dan Cinta Rasulullah

Maulid Nabi

Setiap tahun umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, sebuah momentum yang penuh dengan cinta, shalawat, dan pengingat pada teladan agung beliau. Namun, masih sering muncul pertanyaan: “Apakah Maulid Nabi sama dengan haul? Bukankah haul juga memperingati wafatnya seseorang?”


Pertanyaan ini wajar, sebab haul biasanya dihubungkan dengan mengenang wafatnya seorang ulama, wali, atau orang saleh. Tetapi, Maulid Nabi berbeda secara hakikat dan tujuan.


Kata maulid berasal dari bahasa Arab al-mawlid (المولد) yang berarti “kelahiran.” Maka, peringatan Maulid Nabi hakikatnya adalah merayakan kelahiran dan hadirnya rahmat terbesar bagi alam semesta.


Allah berfirman:


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ


“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)


Dengan demikian, Maulid adalah ungkapan syukur atas lahirnya Nabi Muhammad SAW. Sementara haul berfokus pada peringatan wafat seseorang dan doa untuk almarhum, Maulid justru menyoroti kelahiran Nabi, cahaya risalah, dan keberkahan hidup beliau yang terus menerangi umat.


Salah satu alasan umat merayakan Maulid adalah menghidupkan kembali nilai-nilai egaliter yang diajarkan Nabi SAW. Beliau tidak membeda-bedakan umat berdasarkan status sosial, warna kulit, atau kedudukan. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah ketakwaan.


Rasulullah SAW bersabda:


إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ


“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim no.2654)


Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di Madinah ada seorang perempuan tua berkulit hitam bernama Ummu Mihjan, yang kesehariannya bertugas membersihkan masjid Nabi.


Suatu hari Ummu Mihjan wafat di malam hari. Para sahabat enggan membangunkan Rasulullah karena khawatir mengganggunya. Mereka langsung menshalati dan menguburkannya.


Ketika pagi datang, Rasulullah SAW menanyakan Ummu Mihjan. Para sahabat berkata bahwa beliau telah wafat dan dimakamkan malam itu. Nabi SAW pun bersabda:


أَفَلَا آذَنْتُمُونِي؟ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهَا


“Mengapa kalian tidak memberitahuku? Tunjukkan padaku kuburnya!” (HR. Bukhari no. 438 dan Muslim no.956)


Kemudian Nabi mendatangi makam Ummu Mihjan dan menshalatinya kembali. 
Kisah ini menegaskan bahwa Nabi tidak membeda-bedakan antara tokoh besar atau rakyat kecil, orang kaya atau miskin, Arab atau bukan Arab. Semua umat beliau istimewa di mata Rasulullah.


Dari sini jelas bahwa Maulid Nabi bukanlah haul. Haul memperingati wafat seseorang dengan doa, sedangkan Maulid adalah perayaan lahirnya sang rahmat bagi seluruh alam, Nabi Muhammad SAW.


Dengan memperingati Maulid, kita bukan hanya mengenang sejarah, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai universal yang beliau ajarkan kesetaraan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap semua manusia, sebagaimana diteladankan Nabi kepada Ummu Mihjan.


Maka, merayakan Maulid adalah wujud cinta sekaligus syukur, bahwa Allah telah menghadiahkan kita sosok yang membawa cahaya, yang tidak membedakan umatnya, dan selalu menjadi rahmat bagi seluruh semesta.


Penulis : Fahmi Burhanuddin (Alumni Ponpes An-Nawawi Berjan & STAI Imam Syafi’i Cianjur)