• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 26 April 2024

Obituari

Almarhumah Nyai Hj Heni Maryam Maimoen Zubair Sosok Gemar Silaturahim

Almarhumah Nyai Hj Heni Maryam Maimoen Zubair Sosok Gemar Silaturahim
Almarhumah Ibu Nyai Hj Heni Maryam (kanan) (Foto: istimewa)
Almarhumah Ibu Nyai Hj Heni Maryam (kanan) (Foto: istimewa)

Kabar meninggalnya Ibu Nyai Hj Heni Maryam Syafa'athin istri almaghfurlah KH Maimoen Zubair pada Kamis (1/9/2022) sekitar jam 16.00 wib mengejutkan banyak pihak. Menurut salah satu putra Mbah Moen KH Taj Yasin Maimoen, Nyai Maryam sempat mengeluh sakit.


Putri KH Mustofa Bisri (Gus Mus) Ning Iyah mengungkapkan, terakhir kali almarhumah Nyai Heni Maryam berkunjung ke kediamannya di komplek Pesantren Raudlotut Thalibien Kelurahan Leteh, Rembang, pada satu bulan yang lalu. "Tanggal 28 Juli 2022 habis magrib, Bu Nyai Maimoen rawuh di Leteh. Intinya beliau ahli silaturahim, rajin nyambangi keluarga bahkan santri," ucap Ning Iyah.


Ning Iyah sendiri jika diturut berdasar dengan garis keluarganya almarhum KH Maimoen Zubair ada hubungan adik. "Mbah Moen manggil Abah (Gus Mus) Lik, berarti adik," terangnya.


Almarhumah Nyai Heni Maryam nama lengkapnya merupakan istri ketiga Mbah Moen berasal dari keterunan Mbah Sambu Lasem yang selalu menomersatukan amal soleh dan peduli dengan lingkungan. Nyai Maryam merupakan putri pertama dari Kiai Idris bin Kiai Umar bin Kiai Abdul Karim bin Ki Tawangsa bin Ahmad bin Muhammad bin Abdurrahman yang populer dengan sebutan Mbah Sambu Lasem.


Dikutip dari jateng.tribunnews.com, Mbah Maimoen Zubair dianugerahi 10 putra dari tiga kali pernikahannya. Almarhum menikah tiga kali karena istri pertama dan keduannya meninggal dunia. Istri pertama bernama Ibu Nyai Hj Fahima Baidhowi putri dari KH Baidhowi Lasem Rembang. Dari pernikahan dengan istri pertama dikaruniai dua putra dan satu putri, masing-masing:

1. KH Abdullah Ubab
2. KH Muhammad Najih (Gus Najih)
3. Ibu Nyai Hajah Shobihah (Neng Shobihah) yang menikah dengan KH Musthofa Aqil Siradj (adik kandung Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj)


Dari istri kedua Nyai Hj Mastiah, Mbah Moen dikaruniai 6 putra dan satu putri, masing-masing:
1. KH Majid Kamil (Gus Kamil)
2. KH Abdul Goffur (Gus Ghofur)
3. KH Abdul Rouf (Gus Rouf)
4. KH Muhammad Wafi ( Gus Wafi)
5. Ibu Nyai Hj Rodhiah (Neng Yah)
6. KH Taj Yasin (Gus Yasin)
7. KH Muhammad Idror (Gus Idror)


Setelah istri pertama dan kedua wafat lebih dulu, Mbah Moen kembali menikah dengan istri ketiganya yaitu Ibu Nyai Hj Heni Maryam Syafa'athin putri dari salah satu ulama dari Kabupaten Kudus. Dari pernikahan ini tidak dikaruniayai keturunan.





Silsilah


Ibu Nyai Hj Heni Maryam berasal dari keterunan Mbah Sambu Lasem yang selalu menomersatukan amal soleh dan peduli dengan lingkungan. NYai Maryam merupakan putri pertama dari Kiai Idris bin Kiai Umar bin Kiai Abdul Karim bin Ki Tawangsa bin Ahmad bin Muhammad bin Abdurrahman yang populer dengan sebutan Mbah Sambu Lasem.


Pendidikan


Saat masih kecil, Ibu Nyai Maryam menerima pendidikan di kampungnya cepu, di bawah asuhan ayah dan ibunya. Setelah itu mengaji kepadanya yang telah sekian lama berharap untuk dapat mendidiknya sejak kecil. Ibu Nyai Masthi’ah selain sebagai keponakan, beliau adalah sosok santri yang istimewa dan disanyangi. Setelah dirasa cukup menginjak usia remaja sang ayah mengantarkannya untuk mencari ilmu di luar daerah dan masuk ke  Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur sebuah daerah yang kala itu banyak memunculkan tokoh-tokoh ulama andal yang menguasai dalam segala bidang ilmu dan di antara yang termasyhur adalah KH Mahfudz at–Turmusy. Termas juga terkenal akan pesantren yang penuh tirakat, apalagi dengan kondisi penduduk sekitarnya yang makanan pokoknya singkong diolah sebagai menu pokok setiap hari hingga zakat fitrah yang dikeluarkan di bulan Ramadhan juga berupa singkong bukan padi atau beras.


Setelah tiga tahun lamanya menjalani kehidupan pesantren, hal serupa dialaminya lagi yaitu sebuah predikat sebagai santri kesayangan disandangnya, berkat kemampuannya menempatkan diri pada posisi sebagai wanita shalihah dan kegigihan cengkir (kencenge pikir) tak sedikit kawan-kawannya yang menilai Ibu Nyai Maryam adalah sosok wanita cerdas, gesit, lincah, pantang menyerah dan peduli pada sesama. Semua ini beliau miliki karena suatu tuntutan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bergantung pada orang lain dan harus mengurus adik-adiknya yang masih kecil.


Dari Termas inilah Ibu Nyai Maryam telah terbiasa dengan kemandiriannya, tirakat, makan makanan tiwul (makanan yang berbuat dari gaplek) selama tiga tahun begitu pula berbagai riyadhah serta perjuangan lain yang menjadikan seseorang dapat menahan diri dari melakukan perbuatan yang tidak terpujii dan bersikap arif dalam setiap situasi dan kondisi.


Sekembalinya dari Termas, setiap ada kesempatan thalabul ilmi tidak akan disia-siakannya. Kepopuleran KH Ma’shum Lasem yang alim dalam bidang Al-Qur’an dan tafsirnya menjadikan nurani Ibu Nyai Maryam terketuk untuk pergi belajar dan berkhidmah kepada ahlil ilmi.


Setiap hari belajar Al-Qur’an bersama ibu Nyai Nuriyah Ma’shum dan keilmuan lain juga beliau terima terlebih ilmu haliyah (tingkah laku) banyak beliau peroleh melalui tata cara mendidik dan segala bentuk keseharian yang dipenuhi dengan nuansa keilmuan. Segala bimbingan dan perintah dijalani dengan penuh tawadhu dan selalu mengambil hikmah untuk bekal kembali ke kampung halaman yang kala itu masih hangat-hangatnya faham komunisme dan bertekad kelak ilmu yang diperoleh akan ditularkan kepada putra-putrinya demi mengibarkan bendera Islam.


Rumah Tangga


Kecintaannya terhadap lingkungan dan berbagai disiplin ilmu membuat setiap mata meneropong, tak mengherankan juga dalam masa mudanya, banyak laki-laki yang datang kepada Kyai Idris untuk meminangnya. Tetapi yang mendapat kebahagiaan untuk meminangnya adalah KH. Abdul Qodir dari Kudus.


Kiai Idris adalah orang yang mahir dalam bidang Al-Qur’an. Suatu hal yang wajar bahwa Kiai Idris menerima KH Abdul Qodir sebagai menantunnya setelah melalui proses yang sangat selektif. Dikisahkan Kiai Idris sebelum menerima menantu terlebih dahulu menguji sendiri akan keahlian dalam bidang al-qur’an yang dimiliki oleh KH Abdul Qodir. Di kemudian hari akad nikah mengikuti sunah Rasul dilaksanakan dengan khidmat.


Perjalanan hidup tak ubahnya alam semesta yang terus tidak ada sesuatu di dunia ini yang tetap pada tempatnya. Bumi bergerak mengitari matahari, bulan bergerak mengitari bumi, bahkan mungkin matahari pun bergerak mengitari planet lain yang lebih besar. Semua berjalan menurut kekuasaan dan kehendak Allah SWT yang Maha Bijaksana. Senada dengan itu mahligai rumah tangga bahagia yang telah dibina, bersamaan dengan kehamilan yang kedua, Allah berkehendak lain, suami tercintanya KH Abdul Qodir wafat. Memang inilah sunnatullah yang harus dijalani Ibu Nyai Mryam dengan ikhlas dan tabah.


Semasa menjanda, dengan kondisi hamil ternyata tidak sampai mengurangi rasa cinta dan kepeduliannya pada lingkungan, semangat juang untuk syi’ar Islam semakin berkobar, dalam benaknya selalu berfikir dan merenung bagaimana caranya Islam dapat tampak ramai di bumi Cepu, mengingat faham komunis masih dominan dan harus dicarikan jalan keluar sehingga setiap ada kesempatan yang berbau syiar Islam, Ibu Nyai Maryam selalu eksis dan eksistensinya pun begitu nampak dengan bergelutnya beliau pada organisasi yang menunjang aktifitasnya. Sebagai contoh ikut meramaikan perlombaan qiroah Al-Qur’an se-Kabupaten Blora yang pulang dengan acungan jempol, senyuman manis karena berhasil meraih juara satu tingkat kabupaten, kemudian dengan berjalannya waktu yang sarat akan perjuangan sebuah majlis taklim mulai dari anak-anak hingga para ibu telah dirintisnya.





Diperistri Kiai Maimoen Zubair


Meskipun kegiatan di luar rumah begitu padat, perhatiannya pada akik-adiknya seakan tak pernah surut. Mengais rizki untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga dilaluinya dengan perjuangan. Sementara status janda tidak sampai menumbuhkan rasa pesimisme dalam dirinya. Dan tanpa disadari segala upaya dan aktifitas yang telah dijalaninya ternyata menarik simpati setiap insan. Banyak yang ingin meminang beliau, tapi belum ada yang diterima karena trauma akan kegagalan rumah tangga. Hingga akhirnya datang pinangan dari Putra KH Zubair dari Sarang Rembang bernama KH Maimoen Zubair yang tertarik akan jiwa juang dan kemuliaan hatinya. Maka datanglah Kiai Maimoen ke kediaman Kiai Idris untuk meminang putrinya.


Bagai dayung bersambut, maksud KH Maimoen Zubair ini langsung diterima dengan senang hati oleh Kiai Idris, karena sudah diketahui akan kealimannya. Di samping juga sebagai guru dari saudara Ibu Nyai Maryam yaitu Kiai Taftazani yang waktu itu mondok di Sarang, selain itu sebelumnya Kiai Idris sempat sowan kepada Mbah KH Hamid Pasuruan yang bertujuan untuk mengutarakan problem rumah tangga putrinya. Beliau didawuhi oleh KH Hamid dan sebelum sempat mengutarakan maksud kedatangannya “pulang sana! Mau diambil oleh wali tertutup kok malah ke sini”.


Dampingi Mbah Moen Berpulang


Nyai Heni Maryam adalah salah satu sosok yang ikut mendampingi almaghfurlah KH Maimoen Zubair saat pergi haji bersama beberapa santrinya. Dikisahkan, Nyai Maryam menjelang wafatnya Mbah Moen masih mendampingi almarhum sejak jam 03.00 pagi waktu Makkah saat Kiai Maimoen dibawa ke RS. Jam 04.00 pagi, saat Ibu Nyai Maryam menunggu di luar ruang rawat, tiba-tiba Kota Makkah diguyur hujan. Kemudian ada kabar Mbah Moen wafat pada pukul  04.17.


Penulis: M Ngisom Al-Barony


Obituari Terbaru