Taushiyah

Gus Nasrul: Banyak Penceramah Agama yang Justru Wajib Diceramahi

Senin, 17 Maret 2025 | 21:25 WIB

Gus Nasrul: Banyak Penceramah Agama yang Justru Wajib Diceramahi

Gus Nasrul dalam acara peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid Agung Baitul Makmur, Kabupaten Jepara, Sabtu (16/3/2025)

Jepara, NU Online Jateng -

Pakar Maqashid Syariah Indonesia, KH Nasrulloh Afandi, menyoroti fenomena maraknya penceramah agama di era digital. Menurutnya, banyak orang yang mengklaim diri sebagai juru dakwah, namun justru menyebarkan pemahaman yang keliru dan menyesatkan.

 

"Orang-orang seperti itu sebenarnya wajib diceramahi dan dinasihati," tegas kiai muda yang akrab disapa Gus Nasrul dalam acara peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid Agung Baitul Makmur, Kabupaten Jepara, Sabtu (16/3/2025).

 

Gus Nasrul mengutip pandangan Imam An-Nawawi dalam kitab Qomi’ at-Thugyan al-Madhumah Syu’ab al-Iman, bahwa ada dua cabang utama dalam keimanan yang saling berkaitan. Cabang ke-17 menekankan kewajiban mencari ilmu agama, sementara cabang ke-18 menitikberatkan pentingnya menyebarkan ilmu melalui dakwah dan tausiyah.

 

"Namun, saat ini banyak yang mengabaikan cabang iman ke-17. Mereka tidak serius belajar ilmu agama secara mendalam di pesantren, tetapi justru bersemangat menjadi penceramah dengan hanya modal kefasihan berbicara dan membangun citra di media sosial," ujar Wakil Ketua Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama MUI Pusat itu.

 

Penceramah Dadakan di Era Digital
Menurut Gus Nasrul, fenomena ini memprihatinkan karena banyak pihak yang tiba-tiba mengorbitkan diri sebagai penceramah tanpa latar belakang pendidikan agama yang memadai.

 

"Ada sarjana komunikasi, aktivis demonstrasi, bahkan orang yang hanya pandai bercerita tentang pewayangan Islam atau kisah Wali Songo, lalu mendeklarasikan diri sebagai ustaz, kiai, atau bahkan ‘Gus’ di media sosial. Padahal mereka tidak memiliki kapasitas keilmuan agama yang cukup," paparnya.

 

Ia juga mengungkapkan adanya praktik manipulasi identitas di kalangan penceramah dadakan tersebut. "Banyak yang mengaku dekat dengan para kiai atau mengklaim sebagai lulusan pesantren besar tertentu, padahal kenyataannya tidak demikian. Bahkan ada dosen dari jurusan non-agama yang ikut-ikutan menjadi penceramah instan," imbuhnya.

 

Gus Nasrul menegaskan bahwa orang-orang semacam ini sejatinya bukan juru dakwah, melainkan objek dakwah. "Mereka itu kekurangan ilmu agama dan wajib diceramahi," tegasnya.

 

Ia mengutip pandangan Imam Al-Ghazali tentang tipe orang yang berbahaya bagi umat. "Ada orang yang tidak berilmu, tetapi merasa dirinya paling tahu. Orang seperti ini hendaknya dijauhi, karena mereka sering merasa benar meski sesungguhnya tidak memahami apa-apa," jelasnya.

 

Dalam kesempatan tersebut, Pengasuh Pesantren Balekambang Jepara ini juga mengulas pentingnya evaluasi diri setelah menjalani ibadah di bulan Ramadan. 

 

Ia mengutip pendapat Imam Thahir Ibnu Asyur dalam kitab tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir, bahwa keberhasilan ibadah Ramadhan tercermin dari konsistensi amal saleh setelah bulan suci berakhir.

 

"Kalau setelah Ramadhan masih rajin salat tahajud, membaca Al-Qur'an, bersedekah, dan melakukan kebaikan lainnya, maka itulah tanda keberhasilan menumbuhkan keimanan dan ketakwaan," jelas Doktor Maqashid Syariah dari Universitas Al-Qarawiyyin Maroko tersebut.

 

Menurutnya, keberhasilan Ramadan bukan hanya diukur dari banyaknya ibadah selama bulan suci, tetapi dari keberlanjutan amal tersebut hingga datangnya Ramadan berikutnya.

 

"Jika setelah Ramadhan tetap istiqamah dalam kebaikan, maka itulah tanda orang yang sukses membentuk dirinya menjadi insan bertakwa," pungkas alumnus Pesantren Lirboyo Kediri dan Pesantren Sarang Rembang itu.