• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 20 Mei 2024

Opini

Kemunculan Kembali Padasan Eyang di Depan Rumah 

Kemunculan Kembali Padasan Eyang di Depan Rumah 
Ilustrasi: siraman-wonosari.desa.id
Ilustrasi: siraman-wonosari.desa.id

Waktu saya kecil, tahun 1980-an, di desa, masih menjumpai tradisi keluhuran. Begitu pun di Pesantren, setali tiga uang, memiliki tradisi yang saling beriringan. Tradisi desa sama dengan tradisi pesantren. Pesantren dan desa saling sinergi, saling mengisi. Antara desa dengan pesantren saling memberi dan berbagi. Tampak indah dan penuh berkah.


Di rumah-rumah kuno di desa, sering kita jumpai padasan yang berada di luar. Padasan merupakan tempayan yang diberi lubang pancuran, biasanya dibuat tempat air wudlu. Biasanya, keberadaan padasan di samping bagian depan. Kalau tidak, keberadaannya di samping rumah bagian belakang, persis di pojokan. Berada di atas tumpukan bata merah yang ditata ala kadarnya.


Keberadaan padasan di luar rumah adalah simbol kesegaran, simbol kebersihan, sekaligus simbol kesehatan. Sekarang ini, keberadaan padasan di depan rumah sudah sangat jarang kita temukan. Hilangnya simbol tradisi ini, bagian dari lemahnya kesadaran manusia. Bukan saja kesadaran kelompok keluarga, namun kesadaran diri yang sudah lemah terhadap tradisi yang dahulu ada.
Seharusnya segala perkara yang berkaitan dengan kebersihan, juga kesehatan lebih diutamakan. Namun karena umumnya manusia memang tempat lalai dan lupa, nyaris soal kebersihan juga kesehatan terkadang luput dari perhatian. Maka dari itu, Allah mengingatkan seluruh umat manusia.


Sekarang ini, kita diingatkan kembali dengan persoalan sepele tapi mendasar. Persoalan sederhana tapi mengena. Iya, hanya soal mencuci anggota badan yakni tangan. Soal thaharah atau bersuci. Tentu ini sangat remeh-temeh sekali.
Banyaknya padasan dadakan mulai dari ember, galon, dan sebagainya, saat ini harus diakui sebagai berkah dari pendemi Covid-19. Pendemi, memaksa setiap manusia, untuk sadar dengan simbol keluhuran warisan eyang bernama padasan.
Sekarang ini kita bisa menyaksikan banyak rumah yang kembali ada padasannya walau pun dengan tampilan lain yang tampak lebih modern. Mulai dari instansi-instansi pemerintah, swasta maupun pertokoan seperti dipaksa menyediakan padasan sebagai tempat cuci tangan. Semua direset kembali pada zaman dahulu. Kembali memaknai simbol masa lalu.


Padahal bersuci adalah persoalan yang sudah dibiasakan sejak eyang buyut kita sejak dahulu kala melalui keberadaan padasan. Tradisi yang telah lama hilang digerus keangkuhan zaman itu, kini muncul kembali. 
Untuk sehat, ternyata sangat mudah. Kita hanya diingatkan dengan persoalan sederhana yaitu mencuci tangan saja. Begitulah cara Allah mengingatkan manusia dengan simpel dan sederhana. Sangat sederhana.
Tradisi dahulu, bagian dari pitutur(ajaran) eyang, sebelum masuk rumah, sebelum masuk gedung, mesti melakukan penyucian diri. Tradisi bersuci, mencuci anggota diri, minimal tangan dan kaki.


Rasanya akan berbeda, ketika masuk rumah atau gedung, dalam keadaan bersih badannya, jiwa-jiwa akan  lebih terasa tenang dan hati merasa nyaman. Selain itu, jika kita dalam keadaan bersih, akan kuat kontrol kesadaran jiwa dan pikirannya. Mencuci diri sebagai ikhtiar melepas sengkala yang nempel di badan dari dunia luar.
Indonesia, memiliki kekuatan yang tidak bisa dilawan negara manapun, yaitu kekuatan santri dan pesantren. Santri dalam lingkungan pesantren telah membangun tradisi sederhana ini. Tradisi untuk sehat, tradisi untuk kuat sudah tertanam sangat dalam pada diri santri.


Di pesantren, bersuci menjadi pelajaran dasar yang penting. Oleh sebab itu, paling tidak, pelajaran tersebut dapat menjadi modal Indonesia memiliki generasi sehat, generasi kuat. Modal besar bagi Indonesia untuk sehat dengan cara sederhana.
Beginilah realitasnya, pesantren memiliki kontribusi sinergi untuk membangun negeri. Begitu pula padasan, memiliki peran strategis dalam kehidupan. Sekaligus memiliki nilai tradisi yang syarat berarti yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Tidak muluk-muluk kiranya, Indonesia mampu menjadi negara yang kuat, karena santrinya sehat. Wallahu a’lam.

M. Sa'dullah
Staf Pengajar di PP. Ath-Tohiriyah, Sekretaris PC LBM NU Kab. Banyumas dan CEO Samawi


Opini Terbaru