• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 17 Mei 2024

Nasional

Pesan Damai Habib Hasan Al Jufri

Pesan Damai Habib Hasan Al Jufri
Penulis bersama Habib Hasan Al Jufri. (Foto: NU Online Jateng/Mahmud Yunus Mustofa)
Penulis bersama Habib Hasan Al Jufri. (Foto: NU Online Jateng/Mahmud Yunus Mustofa)

Berbincang secara langsung bersama seorang Habib mungkin hal biasa bagi para pejabat ataupun tokoh agama. Namun tidak bagi saya yang hanya santri biasa. Pengalaman ini terjadi pada tanggal 29 November 2020. Ketika itu saya diamanahi oleh seorang kerabat untuk menemani penceramah pada acara tasyakuran walimatul khitan puteranya, ternyata da’i yang memberi mauidloh khasanah adalah Habib Hasan bin Abdurrahman al-Jufri.

 

Rasa senang bercampur bangga menyelimuti hati saya kala itu karena bisa duduk berdampingan langsung bersama salah satu dzuriyah Nabi. Tentu saja kesempatan itu saya manfaatkan sebaik mungkin. Sembari mempersilahkan beliau mencicipi pasogatan yang sudah disiapkan, saya mencoba memecah kebekuan dengan melemparkan pertanyaan-pertanyaan ringan, mulai dari masalah agama, budaya dan politik tentunya. Hanyut dalam perbincangan akhirnya tibalah kami pada satu pembacaan tentang fenomena masyarakat Indonesia sekarang.

 

Penghujung tahun 2020 ini, beliau beranggapan bahwa masyarakat Indonesia sedang mendapatkan ujian lahir dan batin. Belum selesai berjuang melawan pandemi covid-19 yang melanda, masyarakat kita sudah dibenturkan dengan berbagai macam isu agama. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hal ini yang menjadikan masyarakat kita rentan untuk di permainkan emosinya. 

 

Keadan semacam ini menjadi virus yang juga tak kalah mematikan. Virus ini menjangkiti hati dan pikiran yang berdampak pada nalar berpikir masyarakat yang tertutup hijab kebencian. Lantas bagaimana solusinya? 

 

Ulama adalah Vaksin 
Menjawab pertanyaan saya, kemudian beliau melanjutkan. “Mas, ulama itu adalah vaksin nyata”. Mereka sudah teruji selama bertahun-tahun menjaga bangsa ini dari perpecahan. Sejarah panjang Indonesia menyebutkan bahwa modus utama menyerang bangsa ini adalah dengan menghilangkan rasa kepercayaan terhadap ulama. Karena para kelompok pemecah belah tersebut sadar betul jika ulama menjadi pondasi kokoh bangsa Indonesia. Jika kita ingin melepaskan diri dari masalah, maka mendekatah kepada ulama, karena ulama akan membawa kita lebih mendekat kepada Allah SWT dan Rasulnya, imbuhnya.

 

Masyarakat kita masih banyak yang larut dalam euforia tokoh khayalan. Kekaguman pada tokoh fiktif seperti yang ada di film misalnya Superman, Spiderman, Batman, dan superhero lainya menjadikan kita lupa akan tokoh yang nyata yaitu Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tidak banyak para orang tua yang menceritakan tentang kemuliaan Nabi sebagai seorang teladan, dan akhirnya generasi kita terjebak pada tokoh yang hanya sebatas imajinasi. Padahal, jika kita mendekat kepada ulama kita akan melihat dan mencontoh tindak tanduk Nabi.

 

Virus perpecahan yang sedang melanda masyarakat kita sejatinya adalah penyakit hati. Untuk membersihkanya kita harus berintrospeksi diri dan tidak hanya saling mengoreksi. Kembali kepada Allah SWT melalui riyadhah, dzikir, dan mujahadah adalah kunci utama, agar kita terhindar dari tipu daya setan dan iblis yang menjadi musuh nyata bagi manusia.

 

Menebar Pesan Damai
Melanjutkan hal tersebut, pentingnya menebarkan pesan kedamaian bagi masyarakat menjadi sebuah keharusan. Perilaku santun ala Nabi sejatinya sudah dimiliki masyarakat Indonesia, hanya saja hal ini sudah mulai tereduksi dan pada akhirnya terjadi krisis identitas dan jati diri. Budaya masyarakat Indonesia yang santun dan penuh cinta harus kembali di suarakan. Karena dengan itulah kedamaian akan kembali tercipta. 

 

Larut dalam perbincangan hangat, akhirnya saya meminta nasihat kepada beliau. Satu kalimat yang akan selalu saya ingat, “Jangan buat Kanjeng Nabi bersedih”. Kanjeng Nabi tidak pernah menginginkan umatnya untuk saling hujat dan saling membenci. Kebahagiaan terbesar Rasul adalah ketika melihat umatnya hidup rukun dan saling membantu. Satu hal yang harus dicontoh dari Rasul adalah pesan damai yang beliau sampaikan.

 

Laksana sebuah bangunan, masyarakat akan semakin kokoh jika satu sama lain saling menguatkan. Hati dan pikiran yang jernih sangat diperlukan, sehingga nilai-nilai Islam senantiasa menjadi nafas dalam kehidupan. Pada akhirnya bangunan masyarakat tersebut akan semakin kokoh. Pondasi dari semua itu adalah kepercayaan yang senantiasa dibangun agar masyarakat terhindar dari perpecahan.

 

Mengakhiri pembicaraan kami, sampailah beliau kepada kesimpulan bahwa krisis ekonomi akibat pademi memang menjadi problem saat ini. Namun, krisis identitas dan jati diri bangsa adalah penyakit yang juga tak bisa dilupakan. Kembali kepada ulama adalah solusi agar kita kembali mendekat kepada Allah SWT dan Rasulnya. Sehingga hati dan Pikiran kita akan tenang dan fokus untuk memberikan apa yang bisa kita upayakan untuk menjaga dan mebangun kewibawaan bangsa. 

 

Mahmud Yunus Mustofa, dosen UIN Walisongo Semarang dan Pengajar di PP An-Nahdliyah Banyuputih Batang
 


Nasional Terbaru