Indonesia Hadapi Tantangan Eliminasi Kusta, Butuh Dukungan Sosial dan Spiritual
Rabu, 9 Juli 2025 | 15:30 WIB
Bali, NU Online Jateng
Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam penanganan kusta. Sepanjang tahun 2023, tercatat sebanyak 14.376 kasus baru, meskipun terdapat penurunan sekitar 445 kasus dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai penyumbang 6 persen dari total kasus kusta secara global.
Distribusi kasus juga tidak merata secara gender, dengan 64,1 persen terjadi pada laki-laki dan 35,9 persen pada perempuan. Lebih memprihatinkan lagi, 5 persen kasus baru terjadi pada anak-anak, menunjukkan masih adanya transmisi aktif di kalangan populasi muda.
Hal tersebut disampaikan oleh pakar dermatologi dan venereologi, dr. Renni Yuniati, dalam presentasinya pada International Leprosy Congress (ILC) 2025 di Nusa Dua, Bali, yang berlangsung pada Senin-Rabu (7–9/07/2025). Dalam forum ilmiah bertaraf internasional ini, Renni memaparkan hasil risetnya yang bertajuk "Invisible Scars: The Silent Impact of Leprosy on Indonesian Quality of Life and Strategies for Eradication Through Adaptation."
“Yang lebih mengkhawatirkan, 5% dari kasus baru kusta di Indonesia terjadi pada anak-anak, mengindikasikan adanya transmisi berkelanjutan di kalangan populasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan edukasi masih perlu ditingkatkan secara signifikan,” ujarnya.
Renni yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Ketua Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Kudus, menyoroti hasil penelitian di Sumenep, Jawa Timur. Ia menyebutkan bahwa kualitas hidup pasien kusta menurun drastis, terutama dari aspek psikologis dan lingkungan.
"Kusta bukan hanya penyakit seribu wajah, tetapi juga tentang diskriminasi sosial dan stigma yang mendalam," ungkapnya. “Alih-alih mendapat dukungan emosional, pasien kusta cenderung dihindari atau diisolasi, padahal kusta dapat disembuhkan sepenuhnya dengan pengobatan yang tersedia,” imbuhnya.
Renni menjelaskan bagaimana dampak kehilangan sensasi akibat kusta dapat mengarah pada komplikasi berat seperti ulkus, amputasi, dan deformitas pada tangan maupun kaki. Kondisi tersebut menyebabkan penderita kehilangan kemandirian dalam aktivitas dasar sehari-hari.
"Kehilangan kemandirian ini menyebabkan perasaan frustrasi dan ketidakberdayaan, yang semakin memperburuk beban emosional dan psikologis," paparnya.
Pembelajaran dari Yordania: Model Zero Leprosy
Renni mengangkat kisah sukses Yordania yang menjadi negara pertama yang menerima verifikasi WHO untuk eliminasi kusta. Strategi Yordania yang melibatkan pemimpin agama dalam edukasi dan pengurangan stigma menjadi inspirasi bagi Indonesia.
"Pemimpin agama seperti imam, kyai, dan pastor dapat memainkan peran kunci dalam meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma seputar kusta dengan berbagi cerita seperti Nabi Ayyub untuk mendorong kasih sayang dan pemahaman," jelasnya.
Renni mengusulkan strategi adaptif yang relevan dengan konteks sosial budaya Indonesia, meliputi:
1. Pemberdayaan Pemuka Agama
- Melibatkan tokoh agama di berbagai jenjang pendidikan.
- Menyesuaikan pesan agar akurat dan menyentuh aspek spiritual.
- Menumbuhkan empati dan solidaritas terhadap OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta).
2. Pendekatan Komprehensif
- Promosi kesehatan berbasis masyarakat.
- Pemanfaatan media digital secara optimal.
- Kolaborasi multipihak, termasuk dengan komunitas OYPMK.
3. Kemoprofilaksis dan Surveilans
- Pencegahan penularan di lingkungan keluarga.
- Penguatan surveilans melalui tenaga kesehatan.
- Penerapan Post-Exposure Prophylaxis (PEP) dengan rifampisin dosis tunggal.
Menuju Zero Leprosy: Visi atau Mimpi?
Renni mengakui bahwa upaya menuju “Zero Leprosy” sebagaimana ditargetkan WHO tidak mudah dicapai karena masih tingginya stigma terhadap penderita.
"Dengan menyebarkan kesadaran, masyarakat dapat mulai melihat kusta sebagaimana adanya: kondisi medis yang dapat diobati dan tidak mendefinisikan orang yang menderitanya," tegasnya.
Ia juga menegaskan pentingnya sinergi dari berbagai pihak. Mulai dari komunitas, keluarga, tenaga medis, hingga tokoh agama dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan penuh dukungan terhadap pasien kusta.
"Mari kita bekerja sama untuk melawan stigma kusta," tutupnya dalam presentasi.
Sebagai informasi, International Leprosy Congress (ILC) 2025 diselenggarakan oleh KSMHI Perdoski bersama Kementerian Kesehatan RI dan Sasakawa Health Foundation. Kegiatan ini diikuti ratusan peserta dari berbagai negara, dengan peserta terbanyak berasal dari Brasil dan India.
Terpopuler
1
Makesta Award dan Porseni IPNU IPPNU Belik, Ajang Penguatan Karakter dan Budaya Pelajar NU
2
Rais 'Ali JATMAN: Pengurus NU Segera Ikuti Jejak Muassis dalam Bertarekat
3
Susunan Pengurus Imdadiyyah / Lajnah Idarah Aliyyah JATMAN Masa Khidmah 2025-2030
4
Pengurus Baru MWCNU Pekalongan Barat Dilantik, Siap Wujudkan Gedung Tiga Lantai Senilai Rp1,5 Miliar
5
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Pengurus PP JATMAN Masa Khidmah 2025-2030
6
ISNU dan LP Ma’arif Candimulyo Gelar Workshop AI untuk Tingkatkan Kapasitas Guru
Terkini
Lihat Semua