Regional

Ketua LKNU Kudus Renni Yuniati, Jadi Pembicara ILC 2025 Bali, Paparkan Strategi Adaptif Atasi Dampak Kusta terhadap Kualitas Hidup

Rabu, 9 Juli 2025 | 16:15 WIB

Ketua LKNU Kudus Renni Yuniati, Jadi Pembicara ILC 2025 Bali, Paparkan Strategi Adaptif Atasi Dampak Kusta terhadap Kualitas Hidup

Ketua Lembaga Kesehatan (LK) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kudus Dr. dr. Renni Yuniati, Sp.D.V.E., Subsp.D.T., FINSDV, FAADV, M.H., saat jadi pembicara International Leprosy Congress (ILC) Bali 2025,

NU Online Jateng -

Ketua Lembaga Kesehatan (LK) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Kudus, Renni Yuniati, turut ambil bagian sebagai pembicara dalam perhelatan akbar International Leprosy Congress (ILC) 2025 yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Centre, Senin–Rabu (7–9/7/2025).

 

Dalam kongres internasional yang diikuti ratusan peserta dari berbagai negara itu, Renni tampil membawakan presentasi ilmiah bertajuk "Invisible Scars: The Silent Impact of Leprosy on Indonesian Quality of Life and Strategies for Eradication Through Adaptation". Ia mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengatasi kusta, serta menawarkan strategi inovatif berbasis pendekatan sosial, kultural, dan spiritual.

 

Indonesia Masih Hadapi Tranmisi Aktif Kusta

Mengawali paparannya, dokter spesialis dermatologi dan venereologi tersebut menyampaikan data terkini bahwa pada tahun 2023, Indonesia mencatat 14.376 kasus baru kusta. Angka ini mengalami sedikit penurunan sekitar 445 kasus dibandingkan tahun 2022. Namun demikian, Indonesia masih menyumbang sekitar 6% dari total kasus kusta global.

 

“Distribusi kasus masih timpang secara gender, dengan 64,1 persen dialami laki-laki dan 35,9 persen perempuan,” ungkap dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.

 

Yang lebih mengkhawatirkan, lanjutnya, adalah fakta bahwa sekitar 5 persen dari kasus baru terjadi pada anak-anak. Ini mengindikasikan adanya transmisi aktif yang masih berlangsung di komunitas, khususnya di kalangan usia muda.

 

“Ini menunjukkan bahwa edukasi dan upaya pencegahan harus diperkuat, khususnya dalam konteks keluarga dan masyarakat,” tegasnya.

 

Kusta Bukan Hanya Soal Medis, tapi Juga Sosial dan Psikologis 

Renni menekankan bahwa kusta bukan hanya masalah kesehatan fisik, tetapi juga berdampak besar pada aspek psikologis dan sosial pasien. Hal itu diperkuat melalui hasil riset lapangannya di wilayah Sumenep, Jawa Timur.

 

“Penelitian kami mengungkap bahwa kualitas hidup pasien kusta sangat terpengaruh, terutama dalam domain psikologis dan lingkungan. Pasien merasa diasingkan, kehilangan kemandirian, dan mengalami tekanan emosional yang berat,” ujarnya.

 

Menurutnya, kehilangan sensasi yang diakibatkan oleh kusta dapat menimbulkan komplikasi serius seperti ulkus kronis, amputasi, bahkan deformitas pada anggota tubuh. Ketidakmampuan menjalankan aktivitas dasar seperti makan, menulis, atau berjalan menyebabkan perasaan frustrasi dan tidak berdaya.

 

“Kusta adalah penyakit seribu wajah yang tidak hanya menimbulkan luka di kulit, tetapi juga luka batin akibat stigma dan diskriminasi,” tutur owner Muntira Skin Care tersebut.

 

Dalam forum ILC tersebut, Renni juga menyoroti strategi sukses dari Yordania yang telah mendapatkan verifikasi eliminasi kusta dari WHO. Kunci utamanya adalah pelibatan tokoh agama dalam kampanye edukasi dan pengurangan stigma di masyarakat.

 

“Pemuka agama seperti imam, kiai, hingga pastor memiliki peran strategis dalam membangun empati dan pemahaman masyarakat. Kisah-kisah inspiratif seperti perjuangan Nabi Ayyub bisa menjadi alat untuk menggugah kesadaran publik,” terangnya.

 

Menurut CEO Muntira Kosmeditama di Kudus ini, pendekatan berbasis spiritual mampu menyentuh aspek emosional masyarakat yang selama ini menjadi penghalang utama penerimaan terhadap pasien kusta.

 

Renni menawarkan tiga strategi adaptasi penanganan kusta di Indonesia yang relevan dengan konteks sosial dan budaya lokal.

 

1. Pemberdayaan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat

Strategi ini melibatkan pemimpin agama dalam penyampaian informasi berbasis empati melalui forum keagamaan dan pendidikan informal. Pesan-pesan yang dibawa dikemas dengan narasi keagamaan untuk menghilangkan stigma.

 

2. Pendekatan Komprehensif dan Kolaboratif

Strategi ini menggabungkan edukasi berbasis teknologi digital, keterlibatan komunitas, serta partisipasi aktif Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) dalam berbagi pengalaman. “Metode ini terbukti lebih menyentuh dan relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat,” jelasnya.

 

3. Kemoprofilaksis dan Surveilans Aktif

Pencegahan penularan dilakukan melalui pemberian obat profilaksis seperti rifampisin dosis tunggal bagi kontak erat pasien (PEP). Selain itu, surveilans berbasis tenaga kesehatan di tingkat desa harus diperkuat.

 

Renni juga menyambut baik strategi global WHO “Towards Zero Leprosy”, namun ia menekankan bahwa pencapaian target tersebut tidak mungkin tercapai tanpa penghapusan stigma di akar rumput.

 

“Stigma adalah penghalang terbesar. Kita harus mengubah cara pandang masyarakat bahwa kusta bisa disembuhkan, dan tidak menular setelah diobati,” tegasnya.

 

Seruan untuk Sinergi Multisektoral

Mengakhiri presentasinya, Renni mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dalam mendukung pasien kusta, mulai dari keluarga, tenaga medis, hingga tokoh agama.

 

“Komunitas perlu menciptakan ruang inklusif, keluarga memberi dukungan emosional, tenaga medis menyediakan layanan komprehensif, dan pemuka agama berperan dalam menurunkan stigma melalui pendekatan spiritual,” imbuhnya.

 

“Perjuangan melawan kusta adalah tanggung jawab bersama, bukan semata urusan medis, tapi perjuangan sosial yang membutuhkan sinergi lintas sektor,” pungkasnya.

 

Presentasi Renni Yuniati dalam ILC 2025 ini diharapkan menjadi kontribusi penting dalam upaya pengembangan strategi penanganan kusta yang lebih efektif di Indonesia dan negara-negara endemis lainnya.

 

Kegiatan ILC 2025 diselenggarakan oleh Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia (KSMHI) Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Sasakawa Health Foundation.