Semarang, NU Online Jateng
Ustadz Pesantren Darul Falah Besongo, Ngaliyan, Kota Semarang Ahmad Tajuddin Arafat mengatakan, suatu pekerjaan bisa bernilai ibadah. Bahkan bisa melebihi ibadah-ibadah sunnah apabila didasari dengan niat baik serta dilakukan sesuai syariat.
“Semua pekerjaan bisa dikategorikan sebagai ibadah selama mengandung nilai kebaikan. Bila sudah mengandung nilai kebaikan, maka bisa disebut dengan amal shaleh,” ujarnya.
Hal itu disampaikan saat Ngaji Sanadan kitab Minahus Saniyah yang bertempat di Masjid Roudlotul Jannah, Perumahan Bank Niaga, Ngaliyan, Kota Semarang, Sabtu (1/4/2023) lalu.
Disampaikan, Allah SWT lebih memuliakan orang awam yang mau bekerja dibandingkan dengan orang yang mengaku ahli ibadah namun mengharap sedekah atau pemberian orang lain.
“Nabi Muhammad tidak pernah memerintahkan para sahabat untuk menganggur, bahkan ketika nabi akan hijrah ke Madinah di mana Ali bin Abi Thalib menggantikan tempat tidur Rasulullah. Alasan kenapa Ali diperintahkan menggantikan tempat tidur nabi bukan sekadar untuk tidur, tetapi untuk mengurusi mu`amalah yang ada di Kota Makkah,” ucap Tajuddin yang juga Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.
Dikatakan, dalam bekerja seseorang diharap untuk tidak menggantungkan dirinya pada pekerjaannya. Jadikanlah pekerjaan tersebut sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tetap bertasbih ketika bekerja.
”Ketika pekerjaan ini diisi dengan nilai-nilai ibadah, maka dia akan memiliki nilai disisi Allah SWT. Jangan batasi ibadah hanya sebatas shalat, zakat, dan puasa saja. Karena selama masih dalam urusan pekerjaan yang disyariatkan, maka tetap bisa menjadi jalan menuju Allah,” paparnya.
Dijelaskan, nabi tidak pernah mengharapkan pemberian dari siapa pun bahkan dalam kondisi yang membutuhkan sekalipun. Dalam sebuah cerita dikatakan, ketika nabi diberi hadiah kurma oleh orang Yahudi, nabi membalas pemberian tersebut dengan memberikan perhiasan kepada orang Yahudi tersebut.
Hal ini dilakukan sebagai rasa terimakasih dan tidak berharapnya nabi pada pemberian orang lain. ”Orang yang makan dengan hasil usahanya sendiri, walaupun itu makruh lebih baik dari pada orang yang makan menggunakan agamanya,” jelasnya.
Disampaikan, maksud dari orang yang makan menggunakan agamanya, yaitu orang yang menjadikan agamanya untuk mendapat pemberian orang lain, seperti orang alim yang mengandalkan ceramahnya untuk mendapat upah. ”Agama harganya mahal, jangan dibeli dengan hal receh (dunia),” pungkasnya.
Pengirim: Raif Al-Abrar
Terpopuler
1
Abu Sampah Disulap Jadi Paving, Inovasi Hijau LPBI NU dan Banser Trangkil
2
Khutbah Jumat: Pelajaran Yang Tersirat Dalam Ibadah Haji
3
Semarak Harlah ke-75, Fatayat NU Wonogiri Gali Potensi Kader dengan Semangat Kartini
4
Kasus Pneumonia Jamaah Haji Meningkat, dr Alek Jusran Imbau Jaga Kesehatan
5
Muslimat NU DIY Gelar Bakti Sosial dan Pasar Murah Guna Ringankan Beban Masyarakat
6
Gelorakan Dakwah Lewat Tulisan, NU Online Kumpulkan Jurnalis Muda Nahdliyin se-Jateng dan DIY
Terkini
Lihat Semua