Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra

Tokoh

KH Saifuddin Zuhri Pahlawan yang Belum Dapat Gelar Pahlawan 

Prof KH Saifuddin Zuhri (jatim.nu.or.id)

Bangsa Indonesia memiliki hutang budi kepada KH Saifuddin Zuhri. Bersama para pahlawan pejuang kemerdekaan, santri kelahiran 1 Oktober 1919 di Sokaraja Tengah, Banyumas, Jawa Tengah itu menumpahkan seluruh kekuatan untuk kemerdekaan bangsa ini seperti yang kita rasakan saat ini. 

 

Namun perjuangan dan kiprahnya kurang -untuk tidak mengatakan tidak- dihargai, sekalipun hanya sekadar memberikan gelar pahlawan. Beliau pahlawan tanpa tanda jasa. 

 

Pada 2013 lalu, sejumlah tokoh Indonesia mengusulkan Prof KH Saifuddin Zuhri ditetapkannya gelar pahlawan nasional kepada Kementerian Sosial Republik Indonesia sebagai penghargaan atas dedikasi dan perjuangan dalam merebut dan mempertahankan NKRI. Namun usulan tersebut kurang mendapat respons hingga saat ini, sekalipun menterinya telah diganti kader Nahdlatul Ulama. 

 

KH Saifuddin Zuhri memang tidak mengharapkan apalagi butuh gelar pahlawan nasional. Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengabdi bukan untuk menaikkan gengsi dengan memperoleh gelar pahlawan. Kiai yang tutup usia pada 25 Februari 1986 itu berjuang mengusir penjajah sebagai pengamalan ajaran agama untuk mempertahankan tanah air tercinta (hubbul wathan minal iman). 

 

Namun generasi bangsa jangan sampai melupakan -lebih tepatnya tidak tahu- sejarah bangsanya sendiri. Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Proklamator dan Presiden RI Soekarno. Mungkin tak banyak yang tahu kiprah perjuangan KH Saifuddin Zuhri karena memang tak terungkap dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah. 

 

Jabatan sebagai Ketua Ansor Daerah Jawa Tengah Selatan dan Majelis Konsul NU Jawa Tengah, serta komandan Hizbullah Kedu melekat pada diri KH saifuddin Zuhri yang pernah melakukan perlawanan untuk mengusir Belanda yang ingin kembali mencaplok NKRI yang baru seumur jagung.

 

Perlawanan KH Saifuddin Zuhri oleh Belanda dianggap ancaman eksistensinya sehingga ditetapkan sebagai buron sejak tanggal 21 Desember 1948. Bersama dengan anak istrinya yang sedang hamil tua menyusuri tebing yang curam dan licin selama sebulan dengan melewati lebih dari 22 desa sebagai tempat berlindung dari Belanda.

 

Setelah berhasil mengusir penjajah dan kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kiprah KH Saifuddin Zuhri untuk bangsa Indonesia bukan lantas selesai, tapi babak awal untuk mengabdi secara lebih leluasa dan luas. Mantan Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu turut mengisi kemerdekaan dengan berkiprah di DPR RI hingga jabatan menteri pada era Presiden Soekarno. 

 

Banyak terobosan baru yang dilakukan menteri agama kesepuluh itu semasa menjabat dan hingga jabatan tersebut diganti salah satu putranya, Lukman Hakim Saifuddin di antaranya menginisiasi pendidikan agama di kalangan militer, kepolisian, dan lembaga pemasyarakatan (LP). Rintisan usaha ini nampaknya  sampai saat ini masih dilakukan oleh Kementerian Agama RI. Di perguruan tinggi, Profesor Luar Biasa IAIN Sunan Kalijaga tersebut mengembangkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di sembilan provinsi di Indonesia yang masing-masing memiliki cabang di kota/kabupaten.

 

Bagi warga NU, pada 1 Oktober ada momentum kelahiran salah seorang tokoh besar terkait dengan pergerakan organisasi. Ya, pada 1 Oktober 1919 lahir KH Saifuddin Zuhri di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah.   

 

KH Saifuddin Zuhri mengenal NU sejak kecil dimulai dari Nashihin NU, melihat dan mengamati langsung pergerakan para kiai di kampungnya yang kemudian menjadi pengurus NU. Kiai Saifuddin kemudian mengikuti jejak mereka dengan turut serta aktif di Gerakan Pemuda (GP) Ansor, menjadi pengurus Konsul NU Jawa tengah, hingga kemudian menjadi salah seorang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).     

 

Di masa perjuangan merebut kemerdekaan, Saifuddin aktif di kelaskaran, di samping menjadi jurnalis. Menurut Ensiklopedia NU, menjadi jurnalis telah dimulai sejak kecil. Sembari sekolah, nyambi menjadi wartawan dan koresponden dengan beberapa media.   

 

Tercatat menjadi koresponden surat kabar Pemandangan yang terbit di Jakarta. Di Solo, yang saat itu menjadi kota pusat pergerakan, ia banyak meliput peristiwa politik. Juga membantu surat kabar berbahasa Jawa Darmogandul serta Kantor Berita Antara.    

 

Selain ke koran-koran tersebut, tulisannya dikirim ke Berita Nahdlatoel Oelama yang waktu itu dikelola KH Mahfudz Siddiq di Surabaya dan Suara Ansor. Puncak karirnya dalam bidang jurnalistik, ketika memimpin Duta Masyarakat, koran yang diterbitkan Nahdlatul Ulama.    

 

Di antara karya tulis KH Saifuddin Zuhri adalah Palestina dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building (1965), KH Abdul Wahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972), Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974).   

 

Ada juga Berangkat dari Pesantren, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (1979), Kaleideskop Politik di Indonesia (3 jilid, 1981), Unsur Politik dalam Dakwah (1981), Secercah Dakwah (1983), dan Berangkat dari Pesantren (1987).   

 

KH Saifuddin Zuhri pernah menjadi Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Kerja III, Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora I, Kabinet Dwikora II, dan Kabinet Ampera I. Dan akhirnya wafat pada tanggal 25 Februari 1986 pada usia 66 tahun. 

 

Sumber: NU Online
 

Editor: M Ngisom Al-Barony

Artikel Terkait