‘Khidmah NU: Menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan’, menjadi tema peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-95 Nahdlatul Ulama. Tema tersebut bisa menjadi visi satu tahun ke depan atas refleksi kerja organisasi dan kondisi sosial masyarakat tahun lalu. Menyemai nilai-nilai ahlussunnah wal jamaah sudah menjadi kewajiban warga NU sebagai ikhtiar dakwah demi berlangsungnya keseimbangan, keadilan, moderasi, dan toleransi. Selama 95 tahun, NU mampu mendakwahkan islam rahmatan lil alamin demi terjaganya ukhuwah islamiah, wathaniah, dan basyariah.
Salah satu model dakwah dan pendidikan masyarakat dengan lingkup dan pengaruh yang besar ialah pengajian. Bisa dalam bentuk pengajian di pesantren atau kiai-kiai kampung, pengajian akbar, dan pengajian yang bersifat lintas kultural, semisal di acara pemerintahan, komunitas lintas agama, dan lain sebagainya. Selain itu, kegiatan sosial masyarakat juga dapat menjadi sarana dakwah yang efektif.
Namun, model dakwah yang bersifat langsung seperti ini terhambat ketika Indonesia dilanda pandemi Covid-19 yang masuk di awal tahun 2020. Semua pekerjaan lumpuh dan hanya beberapa yang dapat bertahan dengan kebijakan Work from Home (WFH). Sekolah-sekolah juga menerapkan pembelajaran daring demi berjalannya proses kegiatan belajar mengajar. Hingga masuk lembaran baru, tepatnya di momen Harlah ke-95 ini, keadaan tidak kunjung berubah. Angka pasien Covid-19 terus bertambah dan kita tidak tahu sampai kapan pandemi ini berakhir. Wallahu’alam.
Husnudzon saya ialah kita semua punya antisipasi terhadap segala kemungkinan terburuk di masa pandemi ini sehingga nilai-nilai aswaja tetap tersebar dalam kondisi apapun. Satu tahun kemarin dapat menjadi refleksi bersama bahwa metode dakwah secara langsung tidak bisa dilakukan secara maksimal dan kerja-kerja organisasi pun terhambat terutama untuk tingkat cabang sampai ke ranting yang punya ranah juang di akar rumput. Semua bentuk kegiatan yang menimbulkan kerumunan orang tidak dapat dilakukan dan berimbas pada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pandemi dan Revolusi Digital
Masa pandemi ini, kemudian menjadi waktu yang tepat untuk melakukan revolusi dan perbaikan besar dalam tubuh organisasi. NU sudah berumur 95 tahun dan terbukti mampu beradaptasi dengan zaman walaupun mungkin ada yang terlambat. Kebijakan WFH memaksa setiap orang mampu mengoperasikan piranti lunak untuk pertemuan, multimedia, dan minimal melek terhadap teknologi. Tidak memandang latar belakang pendidikan, usia, status sosial, jabatan di NU, semua harus mampu beradaptasi dengan keadaan. Implikasinya setiap langkah kebijakan akan menjadi kebijaksanaan karena relevan dengan perkembangan zaman.
Pandemi ini juga dapat menjadi masa pencerahan sekaligus perenungan, dimana kita semua sadar bahwa penggunaan teknologi tidak bisa lepas dari kerja-kerja organisasi yang ada di struktural maupun kultural. Masyarakat di Indonesia sudah dimudahkan dengan teknologi praktis bernama gadget. Siapapun dapat mengakses informai melalui media sosial.
Empat tahun lalu muncul pertanyaan, mengapa di media sosial tidak banya ceramah dari kiai-kiai NU? Jika dibandingkan, ceramah dari kiai NU kurang dapat mengimbangi para ustadz yang mampu mengambil hati generasi milenial dan masyarakat urban perkotaan. Gerakan hijrah merupakan sebuah fenomena, yang kita sebagai warga NU harus banyak belajar mengenai itu.
Ada tokoh-tokoh NU yang berpengaruh di media sosial seperti Gus Mus, Gus Muwafiq, Gus Miftah, dan akhir-akhir ini ada Gus Baha yang menjadi idola semua kalangan. Di Instagram ada banyak akun santri yang membuat konten tentang kehidupan pesantren dan punya banyak pengikut. Di sisi lain, Nahdlatul Ulama yang mempunyai ratusan cabang dan ribuan ranting serta banom-banomnya minim sekali kemunculannya di media sosial. Muncul pun paling hanya sekadar membagikan pamflet pengajian umum. Mesakne.
Media sosial dapat menjadi media alternatif ketika syiar dakwah secara langsung tidak bisa dilakukan. Zaman akan terus bergerak dengan cepat dan NU punya SDM yang potensial yang sebagian sudah memulai berjuang menggunakan teknologi di media sosial. Maka perlu ada formula baru dalam internal organisasi, lembaga, dan banom-banomnya agar muncul kesadaran beradaptasi dengan zaman dan tidak terlambat lagi, dan lagi.
Bayangkan! iika setiap PCNU dan banom-banomnya punya akun media sosial atau channel Youtube yang berisi konten mengenai syiar agama dan informasi seputar daerahnya masing-masing. Selain itu, ceramah kiai-kiai kampung dipublikasikan, banom pemuda NU mempunyai konten sesuai dengan ranah kaderisasinya, warga NU yang kompeten di bidangnya pun dapat membagikan wawasan ilmunya ke masyarakat luas. Maka NU akan mempunyai pengaruh yang besar di dunia maya, tanpa bergantung dengan kondisi politik dan diviralkan oleh buzzer politik.
Tapi, bayangkan saja dulu. Bukankah harlah itu memang hanya membayangkan masa lalu dan masa depan?
Athar Fuadi, Warga NU Tumang Boyolali