Keislaman

Tahiyyatul Masjid Saat Khatib Naik Mimbar: Sunnah atau Mengganggu?

Jumat, 1 Agustus 2025 | 14:00 WIB

Tahiyyatul Masjid Saat Khatib Naik Mimbar: Sunnah atau Mengganggu?

Ilustrasi Khatab khutbah Jumat (Istimewa)

Hari Jumat memiliki keistimewaan tersendiri dalam ajaran Islam. Selain sebagai hari raya mingguan umat Islam, hari Jumat juga diisi dengan ibadah khusus seperti khutbah dan shalat berjamaah dua rakaat. Salah satu masalah fikih yang menarik dan sering menjadi perbincangan adalah apakah seseorang yang datang ke masjid ketika khatib sudah mulai berkhutbah tetap disyariatkan untuk melaksanakan shalat Tahiyyatul Masjid, ataukah harus langsung duduk dan mendengarkan khutbah?


Pertanyaan ini memunculkan dua dalil syar‘i yang tampak bertentangan secara lahiriah. Namun, melalui pendekatan ushul fikih yang dikenal dengan "al-jam’u baina dalilain" (mengompromikan dua dalil), para ulama berhasil menemukan jalan tengah yang adil dan harmonis.


Dua dalil yang tampak bertentangan


Pertama: Sabda Rasulullah ﷺ


إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ: أَنْصِتْ، وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ.


Artinya: “Jika engkau berkata kepada temanmu pada hari Jumat: ‘Diamlah!’, sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia." (HR. Bukhari no. 934, Muslim no. 851)


Hadis ini menunjukkan larangan keras untuk berbicara ketika khutbah berlangsung, bahkan untuk ucapan yang mengandung perintah kebaikan seperti "diamlah".


Kedua: Sabda Rasulullah ﷺ


عَنْ جَابِرٍ قَالَ: جَاءَ سُلَيْكٌ الغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ: "يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا." ثُمَّ قَالَ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا."


Artinya : Dari Jabir, beliau berkata: Sulaik al-Ghathafani datang pada hari Jumat sementara Rasulullah ﷺ sedang berkhutbah, lalu ia langsung duduk. Maka Nabi ﷺ bersabda: "Wahai Sulaik, berdirilah dan shalatlah dua rakaat, dan ringankanlah dalam keduanya." Kemudian beliau bersabda: "Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jumat sementara imam sedang berkhutbah, maka shalatlah dua rakaat, dan ringankanlah dalam keduanya." (HR. Bukhari no. 930, Muslim no. 875)


Hadis ini menunjukkan bahwa shalat dua rakaat Tahiyyatul Masjid tetap diperintahkan, bahkan ketika khutbah sudah berlangsung.


Metoda Ushul Fikih: Al-Jam’u Baina Dalilain


Dalam ushul fikih, ketika ditemukan dua dalil yang tampak bertentangan maka langkah pertama yang dilakukan para ulama adalah al-jam’u (mengompromikan), bukan langsung men-tarjih (menguatkan salah satu) atau menasakh (menghapus salah satu).


Dalam sebuah kaidah ushul fikih disebutkan:


الجَمْعُ بَيْنَ الدَّلِيْلَيْنِ أَوْلَى مِنَ التَرْجِيْحِ أَوْ النَّسْخِ.


“Mengompromikan dua dalil lebih utama daripada memilih salah satu atau menghapus salah satunya.”


Imam Nawawi memberikan keterangan bahwa shalat tahiyyatul masjid tetap disunnahkan sebagai bentuk penghormatan kepada masjid. Namun, diringankan rakaatnya dan segera diam menyimak khutbah.


وَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ جُمِعَ بَيْنَ حَدِيثِ: (اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ)، وَبَيْنَ أَمْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسُلَيْكٍ، فَيُقَالُ: السُّنَّةُ أَنْ يُصَلِّيَ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ وَيُخَفِّفَهَا.


Artinya: "Jika seseorang masuk masjid ketika imam sedang berkhutbah, maka kompromikan antara hadis (larangan mengganggu dengan duduk) dan (perintah Nabi kepada Sulaik). Maka, shalat Tahiyyatul Masjid tetap disunnahkan namun diringankan rakaatnya." (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, jilid 4 hlm 514)


Kesimpulannya adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap masjid maka shalat Tahiyyatul Masjid tetap disyariatkan bagi orang yang masuk masjid meski khutbah sudah dimulai. Namun, rakaatnya harus diringankan, dan setelah selesai agar segera diam dan menyimak khutbah.


Al-jam’u baina dalilaini (mengompromikan dua dalil)  menunjukkan keluasan syariat dan kebijaksanaan metode para ulama dalam menjaga keseimbangan antara adab masjid dan kewajiban mendengarkan khutbah. Wallohu a’lam.


Penulis: Fahmi Burhanuddin (Alumni Ponpes An-Nawawi Berjan & STAI Imam Syafi’i Cianjur)